Gerakan nonkooperatif yang diusung PERMI menyebabkan Ilyas Yakub harus berhadapan langsung dengan pemerintah Belanda. Kala itu Ilyas Yakub dianggap menyebarkan kebencian.
PERMI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibekukan. Tokoh-tokohnya pun ditangkap.
Diasingkan ke Bouven Digul
Ilyas Yakub bersama dua temannya yakni Mukhtar Luthfi dan Jalaludin Thaib ditangkap dan dipenjarakan. Setelah sembilan bulan di Penjara Muaro Padang, ia diasingkan ke Bouven Digul, Papua, pada 1934-1944.
Selama di Digul, Ilyas Yakub yang didampingi sang istri, Tinur, sering sakit-sakitan. Pada masa awal penjajahan Jepang di Indonesia, kondisi para tahanan Digul kian memprihatinkan.
Mereka dipindahkan ke pedalaman Papua, yakni di Kali Bina Wantaka, kemudian diasingkan ke Australia.
Pada Oktober 1945, ketika berlabuh di Tanjung Priok, Ilyas Yakub kembali ditahan dan diasingkan. Selama sembilan bulan, dia dan istrinya berpindah-pindah, antara lain ke Kupang, Serawak, Brunei Darussalam, dan Labuhan, Singapura.
Tahun 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, masa tahanan Ilyas Yakub berakhir. Dia kembali bergabung dengan kaum republik. Ilyas juga bergerak pada masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1948-1949).
Tahun itu juga, Ilyas Yakub menjabat ketua DPR Sumatera Tengah. Kemudian, dia terpilih lagi sebagai anggota DPRD wakil Masyumi dan merangkap sebagai penasihat Gubernur Sumatera Tengah bidang politik dan agama.
Ilyas Yakub meninggal dunia pada 2 Agustus 1958 pada usia 55 tahun dan dimakamkan di Koto Berapak, Bayang, Pesisir Selatan.
Atas jasa-jasanya, nama Ilyas Ya’kub diabadikan sebagai nama jalan utama dan gedung olahraga di ibukota Pesisir Selatan, Painan.
Selain itu, pemerintah setempat juga membangun sebuah patung Ilyas Yakub di perempatan jalan saat memasuki Painan dari kota Padang.