Di sebuah desa yang tenang bernama Desa Pasia Santan, angin selalu membawa harapan baru setiap pagi, dan matahari terbit dengan janji kehangatan yang abadi.
Di desa ini, Pak Hendra, seorang pria dengan hati emas dan tekad baja, telah lama memimpin dengan adil dan bijaksana. Namun, kepemimpinan yang lurus tak selalu dihargai oleh semua.
Di antara kerumunan, ada Pak Anwar, seorang pria paruh baya dengan lidah sefasih ular, yang merasakan ambisi menggelora dalam dadanya.
“Rakyat desa Pasia Santan,” seru Pak Anwar pada suatu malam dalam sebuah rapat warga.
“Bukankah kita telah terlalu lama berada di bawah bayang-bayang Pak Hendra? Bukankah sudah saatnya kita bangkit dari ketertindasan yang tak kasat mata ini?” Suaranya menggema, membawa serta keraguan ke dalam hati mereka yang mendengarnya.
Dengan kecakapannya, Pak Anwar berhasil menghidupkan kembali ketidakpuasan yang sempat terpendam. “Aku berjanji, akan ada perubahan. Transparansi. Pembangunan yang nyata. Kesejahteraan bagi kita semua!” janjinya, yang bagaikan angin segar mengusik tenang air telaga.
Pemilihan kepala desa berikutnya tiba, dan dengan mudah Pak Anwar memenangkan hati rakyat. Pak Hendra, dengan bijak dan tenang, menerima kekalahan.
“Mungkin memang sudah saatnya mereka belajar melalui jalan mereka sendiri,” gumamnya kepada dirinya sendiri.
Awal masa jabatan Pak Anwar dipenuhi dengan keceriaan dan janji-janji manis. Ia menggelar pertemuan, pesta, dan acara-acara yang meriah. Namun, perlahan, topeng itu mulai retak.
Kebijakan-kebijakan yang diambil Pak Anwar ternyata hanya menguntungkan dirinya dan kelompok kecilnya. Pembangunan yang dijanjikan hanyalah angan-angan yang tak pernah terwujud.
“Mengapa jalan desa ini tak kunjung diperbaiki, Pak Kades?” tanya seorang warga, mengarungi jalan yang berlumpur setelah hujan.
“Sabarlah, pembangunan butuh waktu,” jawab Pak Anwar, sambil tersenyum manis. Namun senyuman itu tak mampu menutupi kenyataan yang semakin hari semakin jelas: dana desa lebih banyak mengalir ke kantong pribadi Pak Anwar dan kroni-kroninya.
Selain itu, Pak Anwar mulai memotong gaji bawahannya dengan dalih untuk mendanai proyek-proyek ambisiusnya.
“Ini demi kemajuan desa kita,” katanya dalam rapat dengan para bawahannya. Namun, proyek-proyek tersebut, seperti pembangunan gedung serbaguna mewah dan jalan khusus menuju rumah pribadinya, ternyata lebih untuk kepentingan Pak Anwar sendiri.
Klik selanjutnya untuk membaca halaman berikutnya...
Halaman : 1 2 Selanjutnya