BESOKNYA aku bertemu Rikal Sikumbang, sahabat selapik-seketiduranku dulu. Dalam perjumpaan yang hangat, kusampaikan maksudku untuk mengundang Pirin Bana. Bukan kebetulan, karena aku dan Rikal adalah pengagum berat Pirin Bana. Bahkan kami pernah berkeinginan merekam Grup Rabab Tigo Selo—formasi Pirin Bana jika membawakan raun sabalik—kemudian mengemasnya dalam vcd sederhana. Raun sabalik adalah lagu berbalas pantun antara perabab, tukang gendang dan seorang atau lebih penyanyi (biasanya perempuan), sebelum kaba didendangkan.
Ini pasti menarik, pikir kami dulu. Sebagai seorang tukang foto keliling—lalu berkembang jadi jasa perekam video—Rikal memang senang mendokumentasikan pertunjukan rakyat di daerahku. Tapi niat untuk mengemas Grup Tigo Selo tak pernah kesampaian. Sampai aku memutuskan merantau ke Jawa.
Kini kuutarakan niatku pada Rikal. Lama ia terdiam. Barulah ketika kusentuh bahunya, ia berkata setengah gumam,”Sudah tak ada Pirin Bana.”
Inilah soalnya. “Ya, kudengar ia lama tak bakaba. Kukira hanya alasan anak-anak supaya aku memilih orgen tunggal.”
Rikal lalu bercerita bahwa Pirin Bana tak muncul lagi di gelanggang setelah ditegur oleh “orang pemerintah”. Itu terjadi justru ketika Pirin diutus untuk mewakili daerahku dalam Festival Seni Tradisi di Taman Budaya, Padang, dua tahun lalu. Dalam siaran panitia jelas-jelas disebutkan supaya Madin alias Pirin Bana membawakan cerita rakyat daerah kami. “Kaba daerah kita,” kata orang kabupaten ringkas. Rikal bisa menirukannya karena ia disewa untuk mendokumentasikan kegiatan tahunan itu.
Hal yang sama diminta kepada pemain randai, di mana mereka akan memainkan Curito Rambun Pamenan. Hanya pemain asyik lukah atau lukah gilo yang tak dapat pesanan serupa, karena toh mereka akan bermain sebagaimana lazimnya: lukah atau bubu ikan didandani, diberi pakaian, dibacai jampi-jampi, lalu si lukah bergoyang, kian lama kian liar seperti kerasukan. Tak seorang pun kuat menahannya, kecuali sang pawang yang mengendalikan permainan dengan lecutan lidi tujuh helai. Pemain randai sebenarnya juga tak perlu dipesankan, karena Grup Sampan Pokong terbiasa bekerja sama dengan orang kabupaten. Jadi permintaan itu lebih tertuju pada Pirin Bana.
“Masih kusimpan rekaman Madin malam itu, mari kita putar,” kata Rikal.
***
KETIKA menonton “Insiden Taman Budaya” (demikian Rikal melabeli rekamannya), aku merasa betapa luar biasanya kaba Pirin Bana. Muka orang kabupaten kami, termasuk petinggi propinsi, dibuat merah. Betapa tidak. Ia ceritakan Jalan Kambang-Muarolabuh atau Kambura yang terbengkalai di daerahku. Jalan itu menghubungkan pantai barat Sumatera dengan Solok Selatan di balik Bukit Barisan. Karena memintas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), pembangunannya tertunda terus, meskipun masyarakat punya alasan kuat menuntut penyelesaiannya. Salah satunya kekhawatiran akan tsunami. Tapi tak mempan mengusik pihak yang merasa berhak. Siapa mereka? Dalam beberapa pantunnya, Pirin menyinggung soal itu (sebagaimana kutranskrip):
Oi, entah udang entahnya lintah
Sembunyi di balik batu
Entah undang-undang entah pemerintah, oi
Sembunyi-sembunyi di jalan Kambang-Muarolabuh
Oi, tinggi bukitnya Marapalam
Sebelit tumbuh batang palem
Tinggi bakti kami pada alam, oi
Sakit dituduh main tebang orang LSM
Oi, lunyah lumpur buatlah bata
Dibeli ‘nak orang Balai Selasa
Sejak campur tangan Bank Dunia, oi
Katanya TNKS dunia punya, nasib kami entah di mana
Pirin pun bercerita tentang sebuah keluarga di Batangkapas yang terpaksa makan tanah karena tak sanggup membeli beras. Juga soal harga gambir yang dimainkan toke India, sementara pemerintah sibuk mengurusi kebun sawit milik pengusaha.
Tak tahan dikuliti, pejabat kabupaten memerintahkan stafnya menghentikan Pirin Bana. Dibantu menejer panggung, staf itu bekerja cekatan. Mereka mengerjai tata suara; mikrofon di depan Pirin sengaja dimatikan, lalu pembawa acara mencoba mengubah fokus. Bersamaan dengan itu, dua orang lain mengangkat Pirin seolah bagian dari pertunjukan. Secepatnya pula pemain asyik lukah didorong ke panggung, seperti sedang memvisualkan salah satu adegan dari kaba “Kambura Bank Dunia dan Batangkapas Makan Tanah” yang dibawakan Pirin. Aha, cara yang licin! Orang-orang bertepuk tangan, sebab menganggap itu rabab gaya baru—memadukan kesenian dan permainan rakyat.
Pulangnya, kata Rikal (ini tak ada dalam rekaman), Madin jadi sasaran sumpah-seranah orang kabupaten. Tapi ia dengan rasa tak bersalah menjawab,”Awak diminta membawakan cerita rakyat, ya itulah cerita rakyat daerah kita.”
“Kenapa bukan Gombang atau Jibun? Apa angkau merasa pantas jadi anggota dewan sehingga membawa-bawa nasib rakyat? Angkau hanya tukang dendang, camkan!” koordinator rombongan meradang. Rikal yang berada satu mobil dengan mereka geleng-geleng kepala. Bukankah memang itu nafas cerita Madin dari gelanggang ke gelanggang?
Benar, jika boleh kubandingkan, Pirin Bana punya keunggulan tersendiri dibanding Pirin Gadang atau Pirin Ketek. Walaupun sama-sama diminati, tapi keramaian gelanggang memang terasa lain jika Pirin Bana terkabar akan meramaikan suatu helat. Bukan hanya semata soal gelanggang yang ramai, melainkan nafas gelanggang yang terasa dekat dari jangkauan. Setelah kupikir sekarang, satu hal yang membuat Pirin Bana disukai adalah cerita-ceritanya sangat berbeda dengan kaba yang dibawakan perabab lain.
Lazimnya perabab membawakan kaba atau cerita rakyat klasik. Cerita paling digemari adalah percintaan Puti Andam Dewi dan Nan Gombang Patuanan yang tempat kejadiannya disebut “negeri lengang sunyi”—entah bagaimana identik dengan daerahku. Ada pula cerita gubahan baru yang populer, seperti Larek di Rantau, Merantau ke Jambi dan Cinto di Ranah Lansek Manih. Tapi hanya berhenti sebagai kaba, sebagai cerita.
Pirin Bana lain. Ia benar-benar membawa kisah kekinian: pukat di pantai tak mengena, harga gambir terjun bebas, jalan raya rusak binasa, sawah-sawah kering tiada irigasi. Orang-orang merasa cocok karena mengisahkan hidup mereka sehari-hari. Tak jarang Pirin Bana menyebut nama orang kampung, kemudian diseret ke dalam cerita dan pantun-pantunnya yang ranum. Penonton seperti melihat, katakanlah, Kudun atau si Banun—tetangga mereka—memerankan lakon hidup yang nyata.
Sayang, sejak peristiwa di Padang itu, kata Rikal, Madin berkali-kali didatangi orang kabupaten, boleh jadi bersamaan dengan tekanan orang propinsi. Tak lama setelahnya, Madin menghilang dari gelanggang.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya