DEMIKIANLAH, hasil “pertahunan” di kampung dapat memenuhi kebutuhan dasar tiap keluarga untuk setahun lamanya atau sampai masa panen berikutnya. Perhitungan itu pas, jarang meleset, kecuali kalau terjadi hal-hal di luar dugaan, seperti kemarau panjang atau serbuan hama wereng alias pianggang. Tapi itu jarang, dan jika terjadi, maka orang akan ramai berkeluh-kesah,”Ah, sulit hidup sekarang, terpaksa kita membeli beras!” Itu artinya, membeli beras bukan hanya berat, tapi juga menyatakan keadaan yang benar-benar gawat.
Bisa pula perhitungan melesat karena ada saja satu-dua keluarga yang terpaksa menjual padinya, misalnya kebutuhan mendadak anak masuk sekolah atau ada yang sakit. Itu juga akan memunculkan rasa yang sama berat, bahwa menjual padi sama tak mengenakkannya dengan membeli beras. Untuk menunjukkan betapa beratnya perjuangan menyekolahkan anak misalnya, ada saja orang menyebut, ”Untuk menyekolahkan si anak, sampai menjual padi orang tuanya, dan sekarang mereka hidup membeli beras!” Tapi itu masih untung karena menyangkut hal-ihwal pendidikan.
Apapun, dulu, menjual padi dan akhirnya membeli beras seolah “pantangan” yang tak boleh dilanggar. Meskipun banyak di antara warga yang juga berprofesi sebagai pelaut, atau profesi lainnya, namun biasanya mereka tetap punya sawah atau disewa untuk digarap, yang membuatnya, sekalipun nelayan, bisa ikut “bertahun”. Itu sebaik-baik rezeki, bisa bertahun sambil terus ke laut; biaya bisa diupah dari uang hasil melaut, dan hasil pertahunan nanti dapat disimpan untuk kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Tak ada lagi yang lebih enak hidup begini, Sanak.
Apa yang saya ceritakan ini tentu saja berbau nostalgia. Masa lalu yang mungkin akan dianggap klangenan karena penduduk sekarang sudah banyak, lahan makin habis untuk perumahan dan profesi orang kampung juga kian beragam. Akan tetapi jika dipikir-pikir, ungkapan “membeli beras” itu saya kira tetap relevan sebagai keluhan yang memberatkan, terutama di kalangan petani atau warga kebanyakan. Bagi yang berprofesi/berstatus ASN seperti guru atau perawat, mohon dimaknai secara simbolik. Setidaknya, saya masih sering mendengar ungkapan itu untuk menunjukkan keadaan diri yang hidup susah. Beberapa kali pulang kampung, atau berkontak dengan kawan-kawan, saya masih mendengar ungkapan itu sebagai saudara kembar kesusahan.“Susah sekarang, Dal, apa-apa mahal,” sebut mereka, sebagai misal. Sampai di sini masih datar, sebab hal itu memang langsung dapat dirasakan di mana-mana. Klimaksnya, jika sudah sampai pada ungkapan,”Beras harus pula dibeli” maka akan terasa benar pahitnya hidup.
Bagaimana kita memaknai ini sekarang? Apakah hanya cukup dianggap sebagai klangenan? Tidakkah kita bisa bertolak dari sini untuk merumuskan keadaan? Bahwa daerah kita sejatinya adalah daerah agraris, dengan sawah dan ladang, di antara laut luas membentang; sebagian besar petani penggarap, di samping sejumlah profesi lain; tapi bagaimana keadaan lahan-lahan pertanian itu kini?Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Selatan 2016, luas lahan sawah di Pessel mencapai 30.710,0 hk. Disebutkan pula bahwa lahan sawah di daerah ini merupakan lahan sawah irigasi yang ditanami padi sampai tiga kali setahun. Dalam Tabel 2 tentang Luas Lahan Sawah Irigasi Menurut Kecamatan (2016: 14), di Kecamatan Sutera terdapat sawah terluas yang ditanami padi tiga kali setahun, yakni 1400 ha. Sisanya, 98,0 hk ditanami dua kali setahun. Di dalam tabel tersebut penanaman padi sekali setahun kosong atau tidak ada.
Kalau tabel tersebut merujuk kawasan “mudiak” Surantiah seperti Koto Nan Tigo, mungkin benar sebab Irigasi Batang Surantih yang diresmikan Ir. Sutami sekitar tahun 70-an lalu memang memadai. Tapi di Taratak-Lansano, tempat yang saya ceritakan dalam tulisan ini, turun ke sawah lebih sering sekali setahun, hanya sesekali saja bisa dua kali setahun. Itu karena kendala pengairan. Irigasi tidak mencukupi. Belakangan dibangun irigasi Timbulun, namun masih belum banyak membawa perubahan.Jelas irigasi masih jadi kendala. Program embung yang pernah dibangun cukup banyak di sekitar Sutera, apakah benar-benar membawa untung atau justru membendung mata air menjadi mati suri? Di beberapa titik saya temui ada embung yang terbengkalai, atau dibiarkan tak berfungsi. Sebagian petani mengeluh itu tak banyak membantu atau justru merusak siklus pengairan yang sudah ada.
Di sisi lain, ada fenomena baru yang terus berulang sekarang. Seusai panen, orang memutuskan menjual padinya sebanyak-banyaknya, bahkan sampai tandas. Itu untuk berbagai kebutuhan yang kian bertambah dan biaya hidup yang terus meninggi. Tentu saja menjual padi saat panen raya membuat harga turun bahkan anjlok. Akibatnya bukan untung yang didapat, tapi buntung berkali lipat. Padi habis, uang terpakai, dan beras harus pula dibeli. Apakah ada pihak terkait seperti Bulog atau Dinas Pertanian yang mencoba mengatasi ini, dengan tawaran program yang nyata?
Saya juga bertemu orang yang punya niat untuk ikut “bertahun”, tapi keluarganya tak punya sawah warisan. Biasanya orang seperti ini bisa menyewa (manyasiah) sawah orang, seperti masa dulu hal yang jamak begitu. Tapi persoalannya, kata anak muda itu, sebut saja Rikal Sikumbang,”Orang yang punya sawah kini minta sasiah di muko.”Artinya, kalau ingin menyasiah sawah, maka sewanya harus dibayar di muka (bayar dulu) dan itu juga dengan nilai yang sudah sangat tinggi. Dulu, sasiah boleh dibayar belakangan, setelah panen. Nah, siapakah yang bisa memfasilitasi hasrat anak muda seperti ini? Apakah pemerintah setempat, mulai bupati, camat atau wali nagari, punya program pemodalan bagi mereka yang ingin menyasih sawah misalnya?Jika jawaban untuk pertanyaan sederhana ini saja belum tersedia, sampai kapan pun ungkapan “membeli beras” akan jadi cermin buram keadaan. Ibarat pepatah,”Beban berat singguluang batu.”
Raudal Tanjung Banua, sastrawan asal Pesisir Selatan, tinggal di Yogyakarta
Halaman : 1 2