Pada usia 10 tahun, HAKA dibawa oleh pamannya, Haji Abdussamad (alias Haji Jala), menuju Tarusan, Painan. Tujuannya tak lain adalah agar HAKA dapat menimba ilmu agama lebih mendalam.
Mereka tiba di sebuah dusun bernama Sibalantai yang dimungkinkan merupakan Barung-Barung Balantai di Pesisir Selatan.
Di Sibalantai itu, HAKA belajar Al-Qur’an kepada dua orang ulama ternama pada masanya, yaitu Tuanku Haji Hud dan Tuanku Fakih Samnun. HAKA belajar dengan tekun hingga tamat.
Karena tidak terwarisinya sejarah dengan baik sehingga tidak diketahui dengan pasti dimana surau dan makam kedua ulama yang menjadi guru dari ayah Buya Hamka tersebut.
Selama berada di sana, Haji Jala senantiasa memantau perkembangan keilmuan keponakannya, memastikan bahwa HAKA mendapatkan pendidikan terbaik. Setelah setahun menimba ilmu, HAKA pun kembali ke kampung halamannya di Sungai Batang Maninjau.
Sepulangnya dari Pesisir Selatan, HAKA melanjutkan belajar menulis huruf Arab kepada Adam, anak Tuanku Said. Tak berselang lama, ia mengikuti ayahnya ke Kapas Kanji untuk memperluas wawasan agama.
Perjalanan ilmu HAKA tidak berhenti di Pesisir Selatan. Kelak, ia menjadi ulama terkemuka dan mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.
Pada tahun 1926, Universitas Al-Azhar di Kairo menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa kepadanya. Kiprahnya dalam menyebarkan ajaran Islam membuatnya dikenal luas sebagai Haji Rasul, Inyik Doktor, atau Inyik Deer.