Sebelum menggunakan rupiah, Indonesia menggunakan mata uang yang bernama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Mata uang ini digunakan sepanjang tahun 1945-1949. Di Sumbar ORI disebut ORI Lengayang. Saat itu ORI Lengayang digunakan untuk membiayai perang melawan gempuran Belanda.
Mata uang ini dicetak di Kotopulai, Nagari Kambang Timur, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan. Secara topografis Koto Pulai berada di tengah kawasan hutan dan berhubungan langsung dengan hutan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Daerah ini berjarak sekitar 18 kilometer dari pusat Kecamatan Lengayang.
Dulunya daerah ini sangat sulit dijangkau sehingga strategis untuk dijadikan daerah basis pertahanan perang. Namun saat ini akses jalan ke kampung ini cukup mudah dilalui sebab ruas jalan sudah tersentuh aspal hotmix.
Saat ini kondisi rumah bergonjong tua ini terlihat seperti tidak terawat lagi. Bangunannya memiliki ukuran 10 meter persegi yang ditupang 20 penyangga tiang kayu di sekitaran lingkungan rumah warga di daerah itu.
Dari cerita yang didapat, rumah tua bergonjong ini merupakan salah satu tempat percetakan uang yang bernama Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) dengan nilai tukar Rp25 dan Rp50 kala itu.
Dilansir dari Jawa pos, ORI Lengayang dicetak pertama kali pada Desember 1948 di rumah H Tinta, di Kampung Kotobaru menjelang pasar atau Balai Kamis. Rumah bekas percetakan uang ini merupakan bangunan perumahan untuk tempat tinggal yang dihuni sejak zaman belanda dan jepang. Bangunan ini didirikan sekitar tahun 1800-an.
Sewaktu perjuangan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945-1950, bangunan ini dijadikan sebagai tempat mencetak uang yang hanya berlaku untuk Kabupaten Pesisir Kerinci (Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Kerinci). Tidak hanya percetakan uang saja, rumah ini juga menjadi tempat pengungsian dari penjajah ketika itu. Apalagi, untuk menyelamatkan diri dari tawanan Belanda.
Anggota percetakan uang Lengayang ini berjumlah 20 orang. Ke-20 orang ini juga tergabung dalam Tentara Pelajar (TP) yang bermarkas di Kampung Akad, Nagari Kambang Induk. Selama mencetak uang, mereka cukup mengalami kesulitan yakni keterbatasan kertas dan cat. Kedua bahan ini sering putus. Untuk pengganti cat dipakai pensil kopieh. Sementara untuk mendapatkan dawatnya, direndam ujungnya ke dalam air panas, lalu dituliskan. Sedangkan pengganti cat lainnya adalah gincu warna merah.
Kala itu uang ini dikatakan sebagai nilai tukar untuk membiayai para pejuang guna mempertahankan daerah dari jajahan Belanda.
Karena Kampung Koto Pulai sudah menjadi bagian sejarah, maka pada 2004 lalu dibangunlah tugu perjuangan di daerah tersebut. Tepatnya di gerbang menjelang memasuki kampung itu yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Pasar Kambang.
Saat ini rumah bekas tempat percetakan uang dan bekas kantor Bupati Pesisir Selatan Kerinci ini, dijadikan masyarakat sebagai tempat mengaji. Tidak ada dokumen dan peralatan lain yang tersisa di rumah ini, kecuali ruangan kosong dan tikar anak-anak mengaji.
Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow