Oleh: Indrian Koto
Kita tandai awal tahun 2023 ini dengan isu yang lebih menyentuh seluruh lapisan masyarakat: penculikan anak. Catat, ini setahun lebih sedikit dari masa pemilu besar yang akan kita selenggarakan pertama kali. Besar karena dalam satu periode kita akan memilih anggota DPRD, DPR, DPD hingga presiden dalams atu waktu. Kita tahu, kehebohan politik tidak pernah berhenti sejak periode kedua presiden Jokowi dan menemukan titik puncaknya di tahun 2022 kemarin. Mulai dari deklarasi capres, lobby-lobby politik, dan semacam itu. Medsos kita riuh dengan prestasi dan betapa dekatnya kita dengan Tokoh A, atau sekaligus betapa buruknya si A jika dia dipercaya jadi pemimpin. Harusnya yang kita pilih nanti adalah si B karena si B orang baik, berprestsi dan semacamnya, atau jangan pilih B karena dia punya banyak dosa. Begitu-begitu terus.
Di tengah-tengah situasi mendekati tahun 2023 yang diramalkan akan buram bagi banyak orang, penculikan anak muncul sebagai isu utama. Persebarannya tentu lewat group whatapp. Mulai dari pencurian organ serta berita dan video yang kadang tidak berhubungan terkait kasus penculikan anak di tempat tertentu marak disebarkan. Tujuannya tentu memancing ketegangan para orangtua terkait anak-anak mereka.
Media lalu membantu kecemasan massal ini untuk terus naik menjadi iau besar. Tentu saja, ini satu dari sejumlah isu terdekat yang melibatkan hampir seluruh manusia. Siapa yang mau anak, cucu, ponakan, adik, anak temannya diculik? Di beberapa daerah kemudian muncul berita upaya penculikan yang tercium begitu kuat dan menjadi headline. Ada yang terduga penculik yang tertangkap, ada yang anak diduga akan diculik, serta berita-berita kehilangan anak bertebaran di media sosial. Apa yang dikejar dengan ini semua sebenarnya?
Yang paling menyebalkan dari itu semua adalah pernyataan sikap dari sejumlah pihak. Dinas pendidikan lewat lembaganya dis ejumlah daerah menyampaikan kewaspadaan orangtua: berhati-hati, jemput anak sesuai waktu, dan aturan-aturan standar lainnya yang memang selalu harus dan tetap dilakukan orang tua dan guru dalam setiap kondisi. Tidak tanggung-tanggung, di beberapa daerah kita melihat ada selebaran kepolisian yang isinya lebih-kurang sama: hati-hati dan mari kita tingkatkan kewaspadaan. Pihak kepolisian sudah menyatakan bahwa selebaran tersebut adalah hoax, namun tidak bisa langsung memutus mata rantai kecemasan yang Sudha terjadi.
Kita tahu, dari banyaknya sebaran informasi soal kasus penculikan anak, tidak semua berita dan gambar yang disebarkan itu valid dan benar alias hoax. Sejumlah pesan berantai lebih pada rangkaian surat kaleng seperti isu tsunami, lalu setiap orang merasa wajib membagikan jika tidak mau celaka. Persebaran berita itu tidak jarang adalah pengulangan berita dalam kasus yang berbeda. Banyak kejanggalan baik dari konten, waktu peristiwa, keterhubungan gambar/video dengan narasi, serta tempat kejadian perkara. Itu menjadi tidak penting karena yang disasar dari ini semua adalah ketakutan bersama. Apalagi jika lembaga negara lewat sejumlah perangkatnya terkesan lambat menangani kehebohan yang terjadi.
Dalam situasi semacam ini, kita akan merasa betapa kita demikian ditinggalkan dalam kesibukan pejabat dan politisi kita. Betapa negara bahkan tidak mampu mengurusi maling anak dan berusaha meyakinkan public bahwa itu semata hoax belaka dan isu yang sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu. Polisi tentu tidak bisa mengawasi orang yang mungkin saja menyamar jadi penjual lato-lato, pengamen, pengemis, atau sebagainya. Apakah jumlah mereka lebih banyak dari polisi? Apa mereka lebih gesit dan terorganisir lebih baik dari polisi? Apakah ada bekingan jika itu sungguh-sungguh ada?
Narasi yang disebarkan tentu saja selain membuat ketakutan meningkat, ia sekaligus membuat kita saling curiga dan berjaga-jaga. Chaos bisa terjadi sewaktu-waktu. Kita merasa tidak dijaga siapa-siapa. Mau tidak percaya, kasusnya ada, mau percaya begitu saja banyak pernyataan menyebutkan sejumlah kasus adalah hoax.
Kejadian-kejadian semacam it uterus bergulir menjelang peristiwa-peristiwa besar yang hanya diketahui sejumlah elite. Dan selalu ada yang menikmati momen seperti ini. Tidak jarang pernyataan sejumlah kasus muncul untuk menutup kasus lain atau yang akan muncul. Drama itu tampak demikian nyata di depan mata. Penembakan polisi yang kasusnya berjalan seperti sebuah drama, kematian seseorang akibat keracunan, penangkapan sejumlah public figur karena narkoba, itu semua dianggap sebagai pengalihan isu belaka. Kita jadi bisa berasumsi bahwa betapa banyak stok kasus yang tersedia untuk membungkam sejumlah hal penting lainnya. Apakah isu soal kepindahan ibukota negara bisa sedikit teralihkan, atau betapa misalnya persiapan undang-undang yang akan menjerat para buruh atau perempuan sedang bergulir.
Semua orang menjadi bisa menduga dan bertanya-tanya. Apakah penculikan anak adalah kasus yang bisa disamakan dengan isu gelombang WNA asal Tiongkok? Apakah ini sama dengan tiba-tiba satu kota penuh dengan orang gila dan tunawisma menjelang peristiwa penting tertentu? Apakah ini tidak ada kaitannya dengan 2024?
Jika ini ada, betapa kita benar-benar tidak bisa berharap pada negara. Jangankan untuk urusan nasionalisme, mengurus penculikan saja negara seolah tak berdaya sehingga beban dan tanggung jawab keamanan dikembalikan kepada kita. Kalau sudah begini hidup di zaman apa kita dan akan seperti apa situasi yang diinginkan?
Diakui atau tidak kriminalitas selalu terjadi. Ketidaknyamanan yang menyangkut urusan bermasyarakat merupakan tanggung jawab negara dan perangkat instansinya. Kita kadang kehilangan cara dan ragu mengadukan kasus kehilangan HP atau laptop atau motor ke pihak berwajib. Indikasi ini menunjukan betapa lemahnya hukum bagi kejahatan tertentu dan betapa pentingnya masalah hukum lainnya.
Yang mengulang-ulang dan memakai isu ini untuk kepentingan apa pun, semoga dia kehilangan lebih dari apa yang ingin ia raih. Dan kewaspadaan tentu harus terus kita tingkatkan. Kecemasan akan tahun yang buram semoga tidak dimulai dari rasa tidak percaya, hoax dan sejumlah kejahatan yang tampak terbiarkan.