Kemana aku harus melangkah, jejakmu samar-samar ku ikuti. Terangilah kasih, lentera cintamu itu. Agar ku tak jatuh dalam kegelapan (syair lagu).
Darah seni dan politik DR Bucky Wibawa Karya Guna S.Pd, M.Si yang populer dengan nama Bucky Wikagu serta pernah menulis syair lagu berjudul Lentera Cinta seperti di atas yang dinyanyikan Nicky Astria tahun 1987, sepertinya simetris dengan kondisi kekinian Republik ini.
Kini di negeri ini aras selaksa berguncang di tengah gempita “karut marut” polemik soal berdemokrasi yang hampir menyentuh titik nadir “distrust”. Di waktu bersamaan kekayaan intelektualitas bangsa ini seolah mengalami kemerosotan pula bila ditinjau dari aspek revolusi mental, karena yang terjadi sebaliknya degradasi mental.
Hari-hari kita disuguhi degelan politik “hamis”, tragisnya pemeran utamanya malah para aktor intelektual yang semestinya menjadi teladan.
Degelan yang mereka mainkan tak ubahnya seperti peran pemain billiard yang professional yang dibidik bola 1, tetapi “goal” sesungguhnya bola 3. Begitulah hebatnya sang pemain professional. Drama politik dan orkestra panggung sandiwara yang mereka mainkan penuh dengan peran berpura-pura.
Kemasan orkestra politik oleh pecundang kelompok oligarki dilakukan secara “apik” dengan melafazkan narasi yang humanis untuk menyakinkan publik seolah-olah mereka hadir dalam kehidupan publik, pada hal sedang memainkan peran berpura-pura untuk mencapai “goal”.
Menelisik peran tersebut bila dikorelasikan dengan keteladanan berbasis faktualitas, tantangan kebangsaan saat ini diantaranya adalah berkurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa.
Hal ini dapat kita tengarai sebagian dari sikap dan perilaku pemimpin bangsa telah memicu kegaduhan. Sikap dan perilaku mereka secara komunikasi verbal banyak “blunder” dan “ambivalen”.
Keteladanan sebagian kepimimpinan bangsa ditinjau teori prilaku sangat dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan kelompok untuk bisa langgeng bertahan pada tahta kekuasaan, walaupun harus menentang arus dan tidak populer di mata publik.
Perubahan perilaku sebagian kepemimpinan bangsa ini membuat “aras” keteladanan berguncang dan meluluhlantakan nilai-nilai moralitas dan estetika keteladanan.
Celakanya, peranggai itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki intelektual secara pendidikan, pengetahuan dan pengalaman yang semestinya memberi contoh keteladanan yang baik.
Lalu apa yang membuat terjadinya degradasi keteladanan sebagian kepemimpinan bangsa ini?. Sulit memang untuk merangkai narasi jawabannya, tetapi dalam perspektif teori kepentingan dapat diduga sedang menikmati “gurihnya” kenikmatan jabatan, sehingga rasionalitas, integritas dan idealitas “tersungkur” dan “tenggelam” di dasar lautan kepentingan.
Kurangnya keteladanan dari sikap dan prilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa yang seharusnya memberikan contoh teladan, apakah ini sebagai sindiran syair lagu yang mengungkapkan, kemana aku harus melangkah, jejakmu samar-sama ku ikuti.
Semua kita bisa beralibi dan menyampaikan pendapat, ungkapan syair dialinea pertama, yang sepertinya searah dengan potret krisis keteladanan yang terjadi saat ini, yang menimpa sebagian pimimpin dan tokoh bangsa.
Terangilah kasih lantera cintamu itu, agar ku tak jatuh dalam kegelapan. Narasi syair ini, menunjukkan ungkapan harapan besar kepada sebagian pemimpin dan tokoh bangsa lainnya atau kepada kita semua untuk membimbing dan memandu harapan yang didambakan oleh orang-orang berharap untuk dipimpin agar tidak terjatuh dalam kegelapan.
Kegelisahan yang dirasakan oleh publik soal keteladanan, hanya bisa dijawab oleh para pemimpin dan tokoh bangsa yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, karena yang dipimpin memerlukan contoh sikap dan prilaku keteladanan dari pemimpin di setiap level, baik pemimpin formal dan pemimpin non formal.
Tetapi kita tidak boleh patah arang, dalam kondisi apapun, kita harus optimis menatap masa depan yang lebih baik, sekalipun jurang terjal, gelombang besar dan gunung tinggi, Insya Allah dengan ikhtiar dan doa khusyuk pasti dapat dicapai. Ingat kisah Nabi Musa ketika dikepung pasukan fira’un secara logika tidak mungkin Musa selamat, tetapi karena ikhtiar dan kekuatan doa, Allah SWT Tuhan Maha Kuasa, dengan sekejap pasukan Fira’un luluh lantak ditelan bumi. Spirit ini mesti menjadi “Big Power” oleh kita, bahwa perubahan untuk mendapatkan yang terbaik sungguh memerlukan perjuangan dan kesabaran. Teruslah melangkah dengan langkah kecil menjadi langkah besar, yakinlah “kebaikan” tidak akan pernah ketukar dengan “kejahilan”.
Dengan harapan habis gelap timbullah terang.,Wallahu A’lam, waktu yang akan menjawab semua itu.