Masjid Al-Imam Koto Baru, Masjid yang Penuh Makna Filosofis

Kamis, 12 Maret 2020 - 08:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(Masjid Al-Imam Koto Baru, Pessel. Foto: Facebook)
 
Masjid al-Imam Koto baru merupakan salah satu cagar budaya tak bergerak di Kabupaten Pesisir Selatan yang ditetapkan oleh Balai Pelestarian Balai Budaya Sumatra Barat (Sumbar).

Baca juga: Rumah Percetakan Uang di Lengayang, Uang untuk biayai Perang Melawan Belanda

 

Masjid ini berdiri megah disamping Pasar Koto Baru Nagari Kambang Pesisir Selatan. Masjid Al-Imam Koto Baru memiliki nuansa perpaduan 3 budaya yaitu Islam, Kolonial dan Eropa. Masjid ini didirikan dengan konstruksi beton yang memperlihatkan arsitektur eropa yang memperlihatkan adanya tiang-tiang besar dan lengkungan – lengkungan khas eropa.

 

ADVERTISEMENT

space kosong

SCROLL TO RESUME CONTENT

Baca juga: Makam Tuanku Berdarah Putih, Peninggalan Sejarah Kerajaan Indrapura

Mengutip dari laman kebudayaan.kemendikbud.go.id, Masjid ini digagas pendiriannya oleh Udin Sutan Nangkodo, H. Zainuddin (bendahara), H. Sani (ulama), dan Dt Rajo Pendapatan. Selain menggagas, mereka juga melaksanakan pembangunan. Pembangunan masjid direncanakan tahun 1921, dan baru berdiri tahun 1922 dengan nama Masjid Batu.
 
Sedangkan bila dikutip dari akun Facebook “Bugerwan buger” sebagaimana yang tertulis di laman beritaminang.com, Masjid Al-Imam Koto Baru dibangun di tahun 1924 – 1926 oleh Rajo Adat Nagari/Pimpinan Kepala Nagari Kambang Oemar Sutan Bagindo Rajo Bukit yang saat itu menjabat selaku pimpinan adat (sama dengan KAN saat ini) di Nagari Kambang.

Baca juga: Kompleks Makam Sultan Perhimpunan Alam, Cagar Budaya Peninggalan Nenek Moyang di Pesisir Selatan

 

Akan tetapi, menurut informasi masyarakat, Masjid ini dibangun pada tahun 1924 bersamaan dengan lahir dan berkembangnya Nagari Kambang. Elemen pada bangunan masjid ini memiliki nilai falsafah bagi masyarakat Kambang.
 
Untuk mencapai lokasi masjid cukup mudah, karena situs tidak jauh dari jalan raya, ke lokasi dapat menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Berjarak kurang lebih 45 km dari Painan, maka butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai ke lokasi ini bila dari Painan.

Baca juga: Dilarang Puti Reno Kapeh, Sutan Pamenan Tetap Saja Menyabung Ayam dengan Bujang Jibun

 

Denah bangunan masjid berbentuk bujur sangkar. Ruang utama di bagian tengah tidak terdapat dinding pembatas, sehingga merupakan ruangan yang terbuka. Di sisi barat terdapat mihrab, sedangkan di bagian kanan dan kiri bangunan terdapat ruangan samping yang membentuk selasar. Selasar di bagian timur seolah-olah menjadi lorong karena tertutup oleh bangunan tambahan berupa bangunan tempat berwudhu.
 
Lantai ruangan utama menggunakan keramik Belanda. Terdapat tiga motif keramik, yaitu warna hitam, biru, dan coklat. Pada bagian tengah umumnya menggunakan keramik warna biru, bagian belakang warna hitam, dan bagian belakang mihrab menggunakan warna coklat. 

Baca juga: Tari Kain, Visualisasi Silek Dari Pesisir Selatan

 

Dinding terbuat dari bata lepas berukuran relatif tebal, sekitar 30 cm. Dinding masih asli belum pernah diganti sejak semula dengan cat berwarna putih. Perubahan pada bagian dinding terutama pada sisi dalam yang diberi tambahan keramik pada bagian bawah setinggi 1 meter. 
 
Sedangkan atapnya berupa seng tumpang lima yang melambangkan bahwa Nagari Kambang memiliki lima buah masjid adat, yaitu yaitu Masjid Kampung Akat, Masjid Lubuk Sarik, Masjid Koto Baru (Al-Imam) yang sekarang, Masjid Tampunik, dan Masjid Koto Kandis. Sementara itu gelung di dalam masjid yang berjumlah 9 yang berada diantara tonggak yang berjumlah 10 disebut sebagai Koto Sambilan. Koto nan Sambilan adalah kampung-kampung yang berdekatan dengan Masajik Limo atau kampung-kampiung yang ada pada waktu didirikannya nagari Kambang. Kampung itu adalah Kampung Akat, Lubuak Syariak, Koto Marapak, Nyiur Gading, Koto Baru, Medan Baiak, Ky Kalek, Tampuniak,  dan Koto Baririk.

Baca juga: Markas Tentara Pelajar di Lengayang, Bukti Fisik Perjuangan Pemuda Mengusir Penjajah

 

Masjid mempunyai ruang utama, yang di dalamnya terdapat 5 buah tiang. Masing-masing tiang berbentuk segi 8, bagian bawah segi 4, dan bagian atas segi 4 bertrap. Masing-masing tiang sudah dilapis dengan papan yang dibuat membentuk segi delapan. Di bagian barat laut terdapat mihrab, dengan ambang pintu berbentuk lengkung 3 buah.  Plafon ruang utama terbuat dari papan lambrisering. Untuk masuk ke ruang utama terdapat 2 buah pintu di bagian depan 2, dan pintu di kiri kanan ruangan masing-masing 1 buah. Pada ruang utama terdapat jendela, masing-masing 4 buah di kiri kanan ruangan, dan 3 buah jendela di bagian depan. Jendela pernah dirubah menjadi jendela kaca nako dan dapat dilihat sampai sekarang. Di dalam tiang beton terdapat besi H. Dan pada dinding ada besi L, tampak waktu menukar atap seng. Setiap bantuk arsitektur pada masjid ini mempunyai arti filosofi: safaat, hakikat, dan makrifat. Pintu dan jendela sudah mengalami pergantian. Hanya jendela di samping kanan dan kiri bagian mihrab yang agaknya masih merupakan jendela yang asli dengan daun jendela berbentuk jalusi dari kayu. 

Baca juga: Potensi Wisata di Pesisir Selatan

 

Selain itu, Masjid ini banyak memiliki perlambangan ataupun simbol keagamaan pada bagian bangunannya hal tersebut dantaranya adalah dinding masjid yang melambangkan Ikek Ampek. Ikek Ampek adalah nagari Kambang yang didirikan pada zaman dahulu, karena suku-suku yang mendiami daerah ini sudah cuku 4 suku, sebagai syarat berdirinya sebuah nagari. Tonggak Macu yang dikelilingi oleh 8 buah tonggak yang berada di ruangan masjid , 8 tonggak yang mengeliingi tonggak macu melambangkan Adat dan Syarak, 4 orang Ikek memegang Adat dan 4 orang Imam memegang Syarak. Perlambangan ini disebut sebagai Payung Sekaki atau merupakan pimpinan tertinggi dalam nagari, yaitu pucuk bulek adat dan pucuk bulek syarak (Rajo Adat dan Rajo Syarak) Istilah adatnya  “Adat Bapucuak Bulek, Syarak Bapayuang Panji” . Mereka membawahi Ikek Ampek (Penghulu, Manti, Dubalang, Malin), dan Imam nan Barampek (Imam, Katik, Bila, Labai).

Baca juga: Dendang Membara Pirin Bana

 
Tiang yang berderet di depan dekat mihrab sebanyak 14 buah yang melambangkan jumlah penghulu yang berjumlah 14 orang yang berasal dari 4 suku, yaitu suku Kampai Tangah, suku Panai, suku Tigolareh, dan suku Malayu. Hal ini merupakan sandi dari keempat buah Ikek Suku. Untuk tonggak-tonggak yang terdapat di luar masjid, yaitu tonggak gandeng 2, 3 dan 6 dengan jumlah total 50 tonggak disebut sebagai niniak mamak nan limo puluah, melambangkan jumlah gelar ninik mamak atau mamak kaum yang ada di Nagari Kambang pada waktu itu.

Baca juga: Badampiang, Keunikan Prosesi Pernikahan di Surantih

 

Bagian lainnya yang memiliki makna adalah tiang yang mengapit jenjang berdirinya khatib dan langit-langit masjid. Kedua tiang yang mengapit jenjang tempat khatib berdiri disebut sebagai Haluan dan Bandaro. Haluan tan Balaik Bukik adalah perlambangan niniak mamak yang bertugas sebagai juru bicara antara payung sekaki dengan Ikek Ampek dan sebaliknya. Bandaro di Kmapuang Dalam adalah seorang ninik mamak yang bertugas mengurus dan menimpan kekayaan nagari. Sementara itu, 3 bidang langit-langit gobah kecil pada mighrab tempat khatib berkhotbah disebut sebagai Kampuang Dalam di Nagari Kambang, yaitu Kampung dalam Medan Baik, Kampung Dalam Bilik Dalam Sumbaru dan Kmapung Dalam Lubuak Sariak.

Baca juga: Keunikan Doa Selamat dalam Prosesi “Manjalang Mintuwo” di Surantih

 
Masjid baru difungsikan tahun 1935 untuk shalat Jumat. Alasannya adalah untuk menghimpun masyarakat untuk menimbun halaman masjid dengan memakai ember. Tanah timbunan diambil dari lapangan yang ada didekat masjid ini. Bangunan Masjid berbentuk empat tingkat (puncak nan ampek), filosofinya melambangkan Alim ulama, Cerdik pandai, Ninik mamak dan Wali Nagari. Tahun 1942 beranda depan diperbaiki karena gempa. Arsitek padang yang mengerjakan bangunan ini. Filosofi tiang yang berjumlah 5 buah: rukun Islam. Jendela melambangkan rakaat shalat.

Baca juga: Parang Pisang, Budaya Khas Masyarakat Surantih


Hal istimewa yang dimiliki oleh Masjid Al-Imam Koto Baru adalah Masjid ini masih menyimpan beberapa kitab Kuno “Kitab Kuning”. Kitab ini berjumlah puluhan dengan kondisi sebagian sudah lapuk dan dimakan rayap. Kitab kuning ini ditulis menggunakan tulisan arab gundul dan berbahasa arab. Belum diketahui secara lengkap isi dari kitab ini, namun pada dasarnya berisi tentang ajaran agama Islam.

Baca juga: Keunikan yang Ada di Surantih

 
Secara umum masjid ini masih terjaga keasliannya. Tidak ada perubahan berarti pada bangunan masjid, hanya penambahan jendela dengan alasan udara di dalam masjid yang cukup panas. Lantai masjid juga masih asli dengan marmer kuno

Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Adat Istiadat Perkawinan di Pesisir Selatan
Kenapa Kawin Sasuku Dilarang di Minangkabau?
Pirin Asmara dan Anugerah Kebudayaan
Pelangi, Nomenklatur Nama Nagari Pelangai
Kacaunya Organisasi Adat di Minangkabau Karena Politikus
Bolehkah Harato Pusako Tinggi Dimiliki dan Dijual oleh Laki-laki Bila Suatu Kaum Tidak Ada Lagi Perempuan?
Rumah Percetakan Oeang RI : Ditinggalkan atau Meninggalkan
Kapal Karam di Ampiang Parak, Peninggalan Portugis atau Belanda?

Berita Terkait

Sabtu, 13 Maret 2021 - 01:49 WIB

Adat Istiadat Perkawinan di Pesisir Selatan

Sabtu, 9 Januari 2021 - 13:51 WIB

Kenapa Kawin Sasuku Dilarang di Minangkabau?

Sabtu, 12 Desember 2020 - 11:32 WIB

Pirin Asmara dan Anugerah Kebudayaan

Sabtu, 5 September 2020 - 17:10 WIB

Pelangi, Nomenklatur Nama Nagari Pelangai

Selasa, 1 September 2020 - 07:08 WIB

Kacaunya Organisasi Adat di Minangkabau Karena Politikus

Berita Terbaru