Nikah/kawin sasuku merupakan sesuatu yang dilarang secara adat Minangkabau, akan tetapi nikah sasuku tetap terjadi hingga saat ini.
Larangan nikah sasuku adalah suatu bentuk anjuran untuk menjauhi perkawinan dengan seseorang yang bersuku sama dan pangulu/datuak yang sama.
Ketika perkawinan semacam ini terjadi, maka ada sanksi-sanksi adat yang akan diterima, baik itu sanksi sosial maupun sanksi materil.
Lantas kenapa pernikahan sasuku ini dilarang di Minangkabau?
Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto menerangkan sebab dilarangnya kawin sasuku adalah akibat sumpah para datuak/pangulu (penghulu) terdahulu untuk tidak menikah dan menikahi orang yang berasal dari suku yang sama.
Dari penuturan gurunya, pria yang akrab disapa Mak Katik ini menyebut sumpah itu terjadi ketika suku masih berjumlah 22 di Pariangan, Padang Panjang sampai nagari lima kaum. Saat itu, kita sepersukuan belum senenek hanya berbatas nagari.
“Ketika suku 22 sudah berdiri, datuak/pangulu sudah dikasih, di telungkupkan tangan diatas Al Qur’an. Para datuak itu bersumpah ‘mulai hari ini kita yang dibawah panghulu yang sama, tidak boleh ambil-mengambil, nikah-menikahi, dan kawin-mengawini. Lalu mereka membaca Al-Fatihah kemudian ditutup dengan membaca do’a,” terang Mak Katik.
Sementara itu, Dr. Yulizal Yunus, M.Si dalam bukunya “Minangkabau Social Movement” menerangkan secara tegas bahwa kawin sesuku di Minangkabau tidak ditagah, dan dalam Islam pun tak dilarang. Namun, orang yang kawin sesuku, maka akan menghilangkan tempat duduknya di dalam upacara dan alek Minangkabau.
Dituliskan, duduk dalam alek ada struktur dan sesuai dengan istilah protokelrnya preseance, artinya mendudukan orang sesuai dengan jabatan dan fungsi sosialnya. Pelaku kawin sesuku, ia kehilangan dan menghilangkan sendiri fungsi sosialnya dalam adat yang harus dihormati dan didudukan sesuai dengan struktur tempat duduk dalam alek.Tempat duduk mamak di ujung, dan tempat duduk sumando/ mandeh bapak di pangka. Yang kawin sesuku status dan fungsi sosialnya tidak jelas, mamak iya, dan sumando ya juga, tetapi bukan pula sumando ninik mamak.
Taroklah sebagai sumando, lalu duduk di pangka, orang melirik kiri kanan dan berkata, “mamak tidak di sini duduknya, di ujung itu”. Ia merasa terusir ke ujung (karena di anggap mamak dalam suku). Lalu bergeser duduk ke ujung, orang melirik pula kiri kanan dan berkata: “sudah benar tadi itu duduk di pangka, karena sumando”, artinya terusir lagi ke pangka.
Tumbuh malu pada diri, akhirnya turun rumah dengan malu besar lalu hilang dari nagari, merantau jauh dari kampung dan tak pulang-pulang, kasus ini yang menyebabkan ada orang Minangkabau seperti “rantau cino”.
Senada dengan itu budayawan Minangkabau, Yus Dt. Parpatiah menyebut hukum pernikahan sasuku adalah halal, tetapi masyarakat Minangkabau tidak melakukannya.
Ia mengumpamakan kawin sasuku dengan penderita darah tinggi yang makan garam. Meskipun garam adalah sesuatu yang halal, akan tetapi bila terus dikonsumsi oleh si penderita maka akan mendatangkan mudharat baginya.
“Begitu pula dengan kawin sasuku, dilarang karena merugikan masyarakat. Kalau dibebaskan kawin sasuku maka akan terjadi kekacauan yang pada akhirnya merusak kerukunan,” terangnya.
Dikatakan, pernikahan sasuku bukanlah sesuatu perintah yang wajib dilaksanakan. Akan tetapi suatu jaiz, dimana apabila dilakukan tidak mendapatkan pahala sedangkan bila tidak dilakukan tidaklah mendatangkan dosa.
“Mengonsumsi makanan yang tidak lazim dimakan orang walaupun halal merupakan pekerjaan tercela. Jika ingin juga, silahkan makan jauh-jauh didalam rimba jangan sampai nampak di kami. Sebab, bisa muntah kami yang melihatnya,” sambungnya.
Untuk itu, sambungnya, bukan sekedar halal saja yang dimakan tapi hapalan thayyiban, halal lagi baik.
“Kawin sasuku itu tidak baik dilakukan. Allah sendiri membenci sumpah dan talak walaupun halal dikerjakan,” ujar Yus Dt Parpatiah.
Bagi yang tetap melakukan kawin sasuku dampaknya adalah dikucilkan dalam pergaulan, bukan saja pribadi yang menderita tapi keluarga besar yang mendapatkan aib karena ulah perilaku tersebut.
“Kalau negara punya penjara untuk menghukum, agama punya neraka, tapi siksaan bagi pelanggar hukum adat adalah ‘satiok mato nan manandang, satiok urang nan basuo,” tutupnya.