Seuntai Salam Sinopsis Kesultanan Indrapura
Kesultanan Indrapura merupakan kesultanan Melayu yang memiliki sejarah panjang sejak abad ke 12 dan men- jadi asal muasal sejarah berdirinya berbagai kesultanan Melayu di Nusantara. Sempat terlupakan beratus tahun sampai saatnya kini keturunannya berupaya menjalin kembali kekerabatan yang terputus selama ini.
Penyebaran kekerabatan Indrapura sampai ke semenanjung Malaya dan Brunai Darussalam serta berbagai daerah lain di Indonesia. Pusat Kesultanan ini terletak dipesisir barat pulau Sumatera darn pernah men- jadi bandar perniagaan yang sangat ramai pada masa keemasannya yaitu Muaro Sakai.
Pada masa kedatangan bangsa asing, mereka tetap mempertahankan adat istiadat dan budayanya serta gigih berjuang melawan penjajahan yang ingin menguasai kekayaan alam yang dimilikinya.
Dengan keindahan alam, lokasi yang strategis serta memiliki kekayaan sejarah budaya Melayu yang panjang sudah seharusnya potensi yang men- janjikan ini, dapat menjadikannya destinasi unggulan wisata sejarah dan budaya sesuai dengan sebutan ” The Paradise of the South ” di masa depan, sehingga dapat mengangkat harkat dan kesejahteraan masyarakatnya.
Inilah yang bisa kami sampaikan sesuai cita-cita bersama bagi nagari Indrapura “Mengangkat batang nan tarandam“.
Salam,

Sultan Indra A. Osman
Gelar Sultan Pesisir Barat
Sinopsis Kesultanan Indrapura
Membuka lembaran sejarah masa lalu Kerajaan Kesultanan Indrapura, ibarat menata kembali sejarah yang terserak untuk memahami masa sekarang dan masa mendatang. Kerajaan
Kesultanan Indrapura, merupakan Kerajaan Islam Malayu, 1100-1911 terletak di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat sekarang.
Secara etimologis tentang asal usul nama Indrapura. Berdasarkan kosa kata: indra bermakna penglihatan, sementara Pura berasal dari kata Puro artinya Uncang, atau kantong tempat batu-batu permata milik raja. Dalam riwayatnya dikatakan puro raja tersebut jatuh kedalam air, hilang dan tidak ditemukan lagi, maka air tersebut dengan lokasi tempatnya disebut Air Puro yang akhirnya negeri tersebut kemudian berubah nama menjadi Indrapura
yang lidah masyarakat Indrapura menyebutnya indopuro/Indopugho yang artinya puro raja atau puro dewa.
Kerajaan ini jaya pada abad XVII – XVIII, karena posisinya sebagai kota pantai, pusat perdagangan dengan komiditi unggulan emas dan lada, berbasis pelabuhan Samuderapura dengan armada kuat, ramai dikunjungi kapal dagang dan jadi rebutan pengaruh kekuatan asing. Sebagai kerajaan bahari terbesar dan jaya, pernah menjadi ajang percaturan imperialisme asing berebut pengaruh, di antaranya secara kronogis dapat dicatat: (1) Aceh (ketika itu asing) tahun 1521 menguasai dagang lada dan emas di perairan Indrapura. Tahun 1625 Aceh menempatkan seorang wakilnya/ panglima di bandar Indrapura, secara de facto berakhir 1632, tetapi tetap bercokol sampai abad ke-17 dasawarsa ke-8 di Pantai Barat Sumatera. (2) Belanda memasuki wilayah Indrapura (1602, 20 Maret), Coen (VOC) mengirim kapal dagang (1616) merebut lada dan emas dari Aceh dan Inggris, kandas dicegat raja Hitam, kemudian (1664) berhasil dan
memungut pajak lada Indrapura, setiap 1200 bahar lada dikeluarkan 1 bahar, menghabisi wilayah kantong Aceh dan merebut kapal Inggris di Indrapura (1656), terpaksa ke meja perunding damai di Sungai Bungin (Batangkapas) soal perdagangan lada Indrapura (1660), mendirikan Loji VOC 1662 di Pulau Cingkuk, dan terpaksa lagi ke meja perundingan Sandiwara Batangkapas disusul Perjanjian Painan (Painansch Contract, 6 Juli 1663), mendirikan Loji VOC di Indrapura (1664), hasut Air Haji (Bruins, 1936) memberontak terhadap Indrapura (1682).
Kerajaan Indrapura sebagai sebuah kerajaan Usali Kesultanan adalah sosok pintu yang rumit menutupi latar belakang tonggak-tonggak sejarah Islam Nusantara di Sumatera Barat. Demikian juga berkenaan dengan sejarah dan silsilah keturunan sebagian besar sultan-sultan yang berkuasa pada berbagai kerajaan-kerajaan Islam Nusantara pada zamannya. Indrapura menyimpan banyak rahasia kejayaan dan kekayaan pulau Sumatera. Terjepit antara kepentingan-kepentingan petualangan Portugis, Inggris, dan VOC Belanda yang kemudian mengkambing hitamkan Aceh.
Raja-raja kesultanan Indrapura banyak sekali dapat dilihat dari silsilah keturunan kerajaan usali yang disusun seperti pohon terbalik, dari puncak yang satu atau sepasang kemudian menurunkan generasi yang sambung bersambung dan bercabang-cabang banyak. Silsilah yang cukup panjang mencatat seluruh sultan-sultan yang memerintah kerajaan kesultanan Indrapura dari generasi ke generasi. Ada 33 Sultan, Raja atau Ratu diiringi catatan dan uraian singkat dengan nama masing-masing.
Kerajaan ini berdiri di atas bekas Kerajaan lama Indrapura yakni periode Kerajaan Teluk Air Pura abad IX sm XII m (80 sm1100 m). Kerajaan Indrapura lama didirikan anak cucu leluhur Iskandar Zulkarnaini (356-324 sm, putra Pilipeaus raja ke-2 Masedonia, 382-336 sm).
Tidak disebut nama pendirinya kecuali pimpinan adat. Ada disebut tahun 134 SM lahir Indo Juita (keturunan Iskandar Zulkarnaini) kemudian tahun 110 SM menikah dengan Inderajati moyang Indrapura (asal Parsi – Turki) dan melahirkan keturunan raja-raja.
Pada episode berikutnya Zatullahsyah (anak cucu Iskandar Zulkarnaini) datang ke Air Pura dan mendirikan Kerajaan Air Pura, Teluk Air Pura (pertengahan abad ke-12). Wilayahnya adalah Muara Campa, Air Puding dan Air Pura dekat Muara Air Sirah dan Sungai Bantaian Indrapura sekarang. Basis perekonomian rakyat tani (ladang) dan nelayan serta mencari hasil hutan. Pada zaman inilah, Sri Sultan Muhammad Syah Sultan Khalifatull Alam bersama 12 pengiringnya (hulubalang) mandi ditempat permandiannya dengan tidak sengaja jatuhlah Puro Cupo (berisi mustika sakti ), maka dipagarlah tempat permaridian itu dengan batang nibung atau ruyung (antara abad 11-12).
Pada tanggal 10 April tahun 1326 kerajaan di pegang oleh Sultan Osman Gelar Sultan Muhammad Syah Pada masa inilah kerajaan mempunyai batas-batas wilayah (teritorial) yang luas, memiliki batas-batas wilayah yakni Utara berbatasan dengan Sikilang Air BangisBatang Toru (Batak), Selatan berbatasan dengan Taratak air hitam, Timur berbatasan dengan durian ditakuak rajo, nibung balantak mudik lingkaran Tanjung Simalidu (Sepadan
Jambi) dan Barut berbatasan langsung dengan laut yang luas ombak nan badebu (Samudra Indonesia).
Organisasi pemerintahan Kesultanan Indrapura memakai sistem kabinet parlementer, dipimpinan tertinggi Sultan (Raja), dilaksanakan Perdana Mentri (Mangkubumi) dibantu Mantri (Rangkayo) Nan-20 dari para penghulu (6 di Hulu, 8 di tengah, 6 di Hilir). 8 di tengah ikatnya kuning, 6 di Hulu ikatnya Hitam dan 6 di Hilir ikatnya merah.
Seperti diketahui Raja terakhir Kerajaan Kesultanan Indrapura adalah Sultan
Muhammad Baqi gelar Sultan Firmansyah. Sultan ini lebih dikenal dengan gelar Tuanku Belindung, yang maknanya selalu melindungi dan mengayomi seluruh kaum dan masyarakat Indrapura yang memerintah pada 1860-1891. Kemudian Belanda melantik M. Rusli Sultan
Abdullah, menantu dari ST. Muhammad Marah Baqi (1891-1911) sebagai Regent Indrapura pada 22 Juni 1891.
Bukti sejarah kebesaran kerajaan kesultanan Indrapura, tercatat 218 situs dari 7000 situs di Sumatera Barat 44 situs diakui Cagar Budaya dan dikukuhkan Mendikbud RI. Di antaranya :
- Bekas Istana Raja St. Muhammad Marah Baqi/Putri Lelaksana di Pasar Sebelah – Indrapura (1824)
- Bekas Istana Raja St. Muhammad Marah Baqi/Putri Lelarekna di Bukit Talaud – Indrapura
- Bekas Istana Regent Tuanku M. Rusli di Pasar Minggu – Indrapura
- Rumah Mangkubumi (Perdana Menteri) Kesultanan
- Rumah Gadang Mandeh Rubiyah di Lunang, berfungsi museum penyimpan bendabenda peninggalan Bundo Kandung seorang Raja Putri Kerajaan Minangkabau yang mengirap (berjalan punya etape tertentu) kembali ke Lunang dari Kerajaan Pagaruyung pasca kalah perang melawan raja Tamiai Tiang Bungkuk (1520). Diakui Mendiknas
sebagai Museum Lokal Sumatera Barat di Pesisir Selatan. Juga berfungsi tempat kediaman Mandeh Rubiyah Rakina (keturunan ke-7 dari Bundo Kandung) - Gobah (Komplek Pemakaman Raja-Raja Kesultanan Indrapura seluar 0,5 Ha.)
- Makam Raja Tuanku Badarah Putih.
- Makam Bundo Kandung di Lunang – Indrapura
- Makam Dang Tuanku,
- Makam Puti Bungsu Istri Dang Tuanku
- Makam Cindur Mato Raja dan Tokoh Legendaris Minang
Sejak awal berdirinya tercatat abad IX sampai akhir abad ke XIX, berarti sejak kerajaan ini berdiri mampu bertahan kejayaannya selama 10 Abad sebagai sebuah kerajaan Kesultanan
Islam di Nusantara ini.
Kesultanan Indrapura merupakan kunci yang memegang rahasia urat tunggang perjalanan sejarah Raja-raja Melayu Nusantara seperti, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Bugis Makasar, Jogjakarta, Surakarta, Banten, Betawi, Stak Sri Indrapura, Sriwijaya, Dharmasraya dan Aceh yang kemudian menyebar ke daerah yang lain di kawasan nusantara ini. Runtuh dalam ketersembunyiannya, memendam rahasia sejati, namun tetap tegar dalam
reruntuhannya, kaya dalarn kerahasiaan, mistis dalam kepercayaan, namun miskin dalam keberadaan sejarah masa kini.
Kerajaan Indrapura merupakan “tanah keramat negeri baraja, Kerinci bumi nan sati, Tapan Basa empek balai, Lanang Silaut, Rantau Pesisir banda sapuluh. Duo puluh kaum di muko- muko, jembo kiri Rejang Lebong, jembo kanan Bengkulu tanah sileba”.
Itulah wilayah terakhir kerajaan Indrapura yang berjaya dan berakhir pada zamannya.
Sementara itu, menurut Ahman Nurdin, seorang perantau asal Pesisir Selatan yang kini menetap di Jakarta, Kesultanan Indrapura memiliki peran besar dalam sejarah kerajaan Melayu di Nusantara.
Ia menilai bahwa keberadaan kesultanan ini bukan hanya sekadar bagian dari sejarah lokal Sumatera Barat, tetapi juga memiliki pengaruh yang luas terhadap dinamika politik, ekonomi, dan budaya di kawasan pesisir barat Sumatera.
“Kesultanan Indrapura adalah salah satu kerajaan Melayu yang memiliki sistem pemerintahan yang unik dan maju pada masanya. Struktur pemerintahan yang melibatkan berbagai unsur adat dan agama menunjukkan betapa kuatnya peran kearifan lokal dalam mengelola wilayah ini.
Selain itu, sebagai pusat perdagangan lada dan emas, Indrapura juga menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan internasional yang melibatkan pedagang dari India, Timur Tengah, hingga Eropa. Sayangnya, tidak banyak masyarakat yang memahami betapa strategisnya peran Indrapura dalam sejarah Nusantara,” ujar Ahman.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pelestarian sejarah Kesultanan Indrapura harus menjadi perhatian serius, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Banyak peninggalan sejarah yang kini terancam hilang akibat minimnya perhatian dan perawatan. Padahal, jika dikelola dengan baik, situs-situs bersejarah ini bisa menjadi pusat edukasi dan daya tarik wisata budaya yang berpotensi meningkatkan ekonomi daerah.
“Kita harus sadar bahwa sejarah adalah identitas. Jika kita tidak merawat dan menggali kembali kejayaan masa lalu, generasi mendatang bisa kehilangan akar budaya mereka. Kesultanan Indrapura memiliki kisah-kisah heroik, nilai-nilai kepemimpinan, serta warisan budaya yang sangat kaya. Ini bisa menjadi modal besar untuk memperkenalkan Pesisir Selatan ke tingkat nasional maupun internasional,” tambahnya.
Ahman pun berharap agar ada lebih banyak inisiatif dari akademisi, sejarawan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk meneliti serta mengangkat kembali sejarah Indrapura.
Menurutnya, perlu ada kerja sama yang lebih erat antara pemerintah daerah, komunitas budaya, dan pihak swasta dalam mempromosikan warisan Kesultanan Indrapura. Dengan demikian, sejarah yang pernah berjaya ini tidak akan sekadar menjadi catatan masa lalu, tetapi juga menjadi inspirasi bagi pembangunan daerah ke depan.