Di Sumatra Barat terdapat beberapa daerah yang bernama Cimpu, begitu pula di Pulau Sulawesi. Namun, yang akan dibahas kali ini adalah sebuah kampung kecil yang secara administratif termasuk dalam Kampung Pasar Surantih, Nagari Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan. Kampung ini berjarak sekitar 30 kilometer di selatan Painan dan dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam dari ibu kota kabupaten tersebut.
Cimpu mulai dihuni manusia sekitar awal abad ke-20, seiring dengan perpindahan penduduk dari hulu Batang Surantih ke arah hilir dalam rangka mencari pemukiman baru. Pada saat itu, Cimpu adalah salah satu daerah yang belum di taruko dan di tempati. Oleh karena itu, kampung ini menjadi tujuan ekspedisi pengembangan dan perluasan wilayah permukiman. Hal ini juga diperkuat oleh peta Pemerintah Hindia Belanda tahun 1894 yang mencatat secara detail daerah di Pantai Barat Sumatra, tetapi tidak mencantumkan Cimpu.
Seperti halnya daerah di Banda Sapuluah pada umumnya, khususnya Surantih, Cimpu juga didiami oleh suku nan ampek, yaitu Kampai, Melayu, Panai, dan Lareh nan Tigo (Chaniago, Jambak, dan Sikumbang). Beberapa suku yang mendiami Cimpu, seperti suku Kampai, ada yang berasal dari Singkulan—sebuah daerah di mudik Surantih. Perpindahan kaum Kampai dari Singkulan disebut terjadi akibat bencana yang melanda daerah tersebut, sehingga Cimpu menjadi salah satu tempat yang mereka tinggali.
Penduduk Cimpu saat ini tidak hanya berasal dari hulu Batang Surantih, yang dahulu disebut Galaga Putiah, tetapi juga dari luar Surantih. Beberapa suku di Cimpu berasal dari luar daerah, seperti suku Jambak yang diketahui ada yang berasal dari Tarusan.
***
Pada masa awal pemukiman, Cimpu merupakan daerah yang dipenuhi semak belukar dan pepohonan besar. Menyebutnya sebagai semak belukar lebih tepat dibandingkan dengan hutan belantara, sebagaimana terlihat dalam peta Belanda tadi. Saat itu, hanya terdapat satu atau dua rumah yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya pun cukup jauh. Seiring waktu, jumlah rumah terus bertambah dan kampung ini berkembang.
Pada dekade 1950-an, jalan di Cimpu masih berupa jalan setapak dengan jumlah rumah yang masih sedikit. Jalan setapak tersebut baru mengalami pelebaran pada awal dekade 1960-an. Almasri dalam Alam Sati Nagari Surantih (2007, tidak diterbitkan) menuliskan bahwa pada masa pemerintahan Wali Nagari Abdul Kadir (1959–1964), kondisi jalan di Cimpu masih berupa jalan setapak. Pada masa kepemimpinannya, jalan setapak yang menghubungkan Pasar Surantih dan Cimpu diperluas menjadi jalan kampung.
Sebagai informasi, dalam buku Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia (2010), Wali Nagari Abdul Kadir dikategorikan sebagai salah satu tahanan yang dihilangkan, dibunuh, dan meninggal dunia dalam daftar korban genosida 1965–1968 di Indonesia.
Saat ini, kondisi Cimpu telah berubah drastis dibandingkan dengan masa lalu. Jalanan di Cimpu sudah diaspal, meskipun masyarakat harus menunggu waktu yang cukup lama untuk menikmati fasilitas tersebut. Rumah-rumah penduduk pun kini telah banyak berdiri di sepanjang jalan, berjajar menghadap hitamnya aspal jalanan.
***
Secara geografis, Cimpu memiliki lokasi yang strategis. Kampung kecil ini berada di antara pusat perdagangan, pertanian, dan peternakan di Kecamatan Sutera. Pasar Surantih menjadi pusat perdagangan, sementara Pasir Nan Panjang menjadi pusat pertanian dan peternakan di wilayah ini. Oleh karena itu, banyak masyarakat Cimpu yang bekerja sebagai pedagang dan petani. Rata-rata penduduk memiliki lahan berupa sawah dan kebun di Pasir Nan Panjang. Seiring dengan berkembangnya industri kelapa sawit pada awal 2000-an dan berdirinya perusahaan sawit di selatan Pesisir Selatan, banyak warga Cimpu yang mulai menanam kelapa sawit di lahan mereka.
Selain itu, letak Cimpu yang berdekatan dengan pantai—sekitar satu kilometer dalam garis lurus—membuat sebagian masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Berbagai metode penangkapan ikan seperti mamukek, mamayang, dan mambagan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Selain melaut, penduduk Cimpu juga mulai menggantungkan penghasilan dari pengolahan gambir, terutama setelah harga komoditas ini meningkat di mudik Surantih.
***
Halaman : 1 2 Selanjutnya






