Di Kambang saat akan keluar, mereka memberi hadiah ada bahkan lahan yang sudah dibeli dan disertifikat, kepada pribumi karyawannya. Kecuali di Surantih disuruh pergi setelah Belanda pergi, tanahnya dikembalikan ke rakyat.
Karakter Cina di Taluak beda dengan Cina di Surantih. Ada yang berdagang saja dan ada yang membaur dalam masyarakat. Cina di Taluak itu bermukim pada empat titik. Pertama di Pasar Taluak, kedua di Ujung Batu, ketiga di Koto Hilir (Koto Keduduk), dan keempat di sekitar Limpaso. Di pasar satu keluarga Cina disebut Abu Epi tetua Taluak, nama panggilannya si Chan saja.
Ia tinggal di kawasan pasar Taluk, memiliki rumah yang bagus dengan lahan kurang sedikit setengah Hektar bersertifikat. Ia berdagang sabun made in si Chan sendiri di samping kuliner yang dikenal kue mangkuknya. Kue mangkuk Cina itu bersaing dengan kue bika Taluak yang terbilang itu. Si Chan banyak mengajari orang Taluak membuat sabun di samping kuliner juga.
Sejarah keluarga cina di Taluak ini menurut tetua Taluak tadi, seiring dengan Belanda masuk, sering pergi dan datang bermukim tak lama. Setelah kemedekaan Cina masuk kembali bersamaan dengan “aksi polisionil Belanda” dikenal sebutan Agresi Militer Belanda pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1948.
Kemudian Belanda angkat kaki setelah PDRI berhasil menang mempertahankan roh NKRI dari ancaman agresi Belanda, lalu keluarga Cina ini berangkat pula, tanpa ada pengusiran seperti di Surantih.
Mungkin mereka berprasangka, bahwa mereka dikira masyarakat kaki tangan Belanda, takut sendiri. Rumah dan tanahnya bersertifikat dibeli tetua Taluak yang sekarang menjadi saksi sejarah di pasar Taluak.
Almasri Syamsi banyak bercerita dramatis. Cina anak emas, melalui kebijakan ekonomi Belanda di sepanjang pesisir mengambil peluang mengumpul kekayaan nagari, mereka dilindungi, ada sistem barter, barang ditukar dengan barang, harga pun tak sebanding, dilunasi setelah panen bunga pun tinggi, sehingga banyak masyarakat hutangnya tak terbayar, diminta paksa pakai algojo pribumi pula, banyak harta rakaat jatuh ke tangannya, kalau tak terbayar juga diganti dengan tenaga bekerja, dipaksa.
Kehidupan milik penguasa dan orang kaya, penghulu pun susah bebas penghubung anak kamanakan memungut hasil panen. Baca lebih lanjut bukunya “Alam Sati Nagari Surantih” (2007,p.80). Karenanya Belanda angkat kaki, mereka pun pergi. Mereka menjual aset dan rumahnya. Ke TaluAk Sesekali datang juga tahun 1950-an, menjemput kekayaan mereka yang disimpan, mungkin ada emas yang dikuburkan.
Klik selanjutnya untuk membaca halaman berikutnya…
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya