Sejarah Cina di Banda Sapuluah, Pesisir Selatan

Redaksi
1 Feb 2022 21:04
Sejarah 0 62
6 menit membaca

Bandasapuluah.com – Sebagai  salah satu daerah di Banda Sapuluah, Taluak termasuk daerah yang barajo, dimana pemerintahannya mengintegrasi urusan umum pemerintah dan adat. Dimana dalam penyelenggaraannya dijalankan penghulu (pucuk adat).

Sebelum kemerdekaan, Taluak pernah dipimpin Muncak seperti juga di Nagari Taratak dan Nagari Surantih sejak era Kerajaan Rajo Salam di Batu Bala (yang manapek ke Kampai Kampung Dalam Dt. Rajo endah). Nagari Taluak baru dipimpin Kapalo Nagari setelah kemerdekaan.

Sekarang Taluak adalah salah satu nagari di Kabupaten Pesisir Selatan dalam wilayah kecamatan Batangkapas. Era Bandar Sapuluah (Bandar Sepuluh), Taluak merupakan salah satu Bandar (Kota Pantai) punya pelabuhan alam yang damai dan permai. Kapal dagang asing suka berlabuh di Nagari Tan Sri Dano ini, termasuk Cina.

Cina ke Taluak tidak saja berdagang tetapi sempat tinggal di Taluak, tak banyak generasi muda tahu, sehingga penting ditulis sejarahnya.  

Afrizal pengawal situs bandasapuluah.com, sempat menanyakan sejarah cina di Pesisir Selatan ini, dimana kawasan yang pernah tinggal orang cina di Banda Sapuluah bagian wilayah Pesisir Selatan sekarang?

Secara kategoris masih ada yang tahu. Tetua di Taluak bercerita, ada tiga nagari di Pesisir Selatan punya sejarah penduduk Cina. Pertama Taluak, kedua Surantih dan Ketiga Kambang.

Kota pantai lainnya di Banda Sapuluah dilalui saja dalam sejarah ekonomi pantai barat sejak abad 16. Ke Indrapura, tahun 1689 Cina datang berdagang, 9 tahun pasca perjanjian pemuka kota pantai dari Ombak Ketaun (Pesisir Selatan) hingga Air Bangis (Pesisir Utara, Pasaman Barat sekarang).

Perjanjian itu ditandatangani (1680) oleh Raja Adil dan Muhammadsyah (Sultan Indrapura) sedikit memberi ruang gerak kepada VOC berdagang lada dan emas  (Yulizal Yunus, dkk.,2002, p.37).

Faktor Cina datang ke wilayah Taluak dan kota pantai lainnya Banda Sapuluah dahulu, adalah karena pantai barat Sumatera sudah ramai dilayari dan tempat bercaturnya kapal dagang asing terutama abad ke-16. Masa itu perairan dan pelabuhan Taluak sudah ramai pula di singgahi termasuk Cina. Pedagang asal negeri naga ini bermukim dan berdagang di Taluak.

Cina ke Taluak senang melabuhkan kapal dagangnya. Sering kapalnya sandar di Ujung Batu dekat balai (pasar) baru di sekitar masjid lama Pasar Taluak itu. Agus Yusuf penulis sejarah Pesisir Selatan pernah juga menyebut. Taluak ketika masih belum punya akses jalan darat yang baik. Ketika itu jalan darat ada tetapi belum bagus dan jembatan belum ada, di Taluak sudah ada “Congkong” sejenis kapal penyeberangan seperti juga di Surantih dan Amping Parak.

Congkong itu dapat menyeberangkan satu dua mobil jelajah Belanda, masa agresi 1947, beriringan belasan mobil kolonial itu, sebut tetua Taluak.

Seperti demikian juga di Kambang dan Surantih, Cina senang melabuhkan kapal dagangnya, sehingga bermukim dan berdagang pula di sana. Di Surantih sentra pemukimannya dari cerita tetua di kawasan pasar sekitar lapangan bola sekarang.

Infonya dimungkinkan bisa didalami dari ketua KAN Surantih Rusli Dt. Rajo Batuah atau tokoh lain di sana. Almasri Syamsi mencatat (2007, p.81) Cina di Surantih tuan tanah juga. Lapangan bola hingga Padang Api-api merupakan milik Cina.

Sementara Tetua di Taluak menyebut Cina di Surantih dulu punya huller, mesin penggiling padi yang cukup besar dekat Pasar Surantih sekarang itu. Nagari sekitar ke sana menggiling padi. 

Di Kambang disebut Dr. Syafrial Dt. Bandaro Itam, tokoh adat Kambang, Cina pernah tinggal di Koto Baru arah ke Pakan Kamis. Mereka berdagang. Dari cerita tetua di Kambang, ada pribumi yang dipekerjakannya.

Di Kambang saat akan keluar, mereka memberi hadiah ada bahkan  lahan yang sudah dibeli dan disertifikat, kepada pribumi karyawannya. Kecuali di Surantih disuruh pergi setelah Belanda pergi, tanahnya dikembalikan ke rakyat.

Karakter Cina di Taluak beda dengan Cina di Surantih. Ada yang berdagang saja dan ada yang membaur dalam masyarakat. Cina di Taluak itu bermukim pada empat titik. Pertama di Pasar Taluak, kedua di Ujung Batu, ketiga di Koto Hilir (Koto Keduduk), dan keempat di sekitar Limpaso. Di pasar satu keluarga Cina disebut  Abu Epi tetua Taluak,  nama panggilannya si Chan saja.

Ia tinggal di kawasan pasar Taluk, memiliki rumah yang bagus dengan lahan kurang sedikit setengah Hektar bersertifikat. Ia berdagang sabun made in si Chan sendiri di samping kuliner yang dikenal kue mangkuknya. Kue mangkuk Cina itu bersaing dengan kue bika Taluak yang terbilang itu. Si Chan banyak mengajari orang Taluak membuat sabun di samping kuliner juga.

Sejarah keluarga cina di Taluak ini menurut tetua Taluak tadi, seiring dengan Belanda masuk, sering pergi dan datang bermukim tak lama. Setelah kemedekaan Cina masuk kembali bersamaan dengan “aksi polisionil Belanda” dikenal sebutan Agresi Militer Belanda pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1948.

Kemudian Belanda angkat kaki setelah PDRI berhasil menang mempertahankan roh NKRI dari ancaman agresi Belanda, lalu keluarga Cina ini berangkat pula, tanpa ada pengusiran seperti di Surantih.

Mungkin mereka berprasangka, bahwa mereka dikira masyarakat kaki tangan Belanda, takut sendiri. Rumah dan tanahnya bersertifikat dibeli tetua Taluak yang sekarang menjadi saksi sejarah di pasar Taluak.

Almasri Syamsi banyak bercerita dramatis. Cina anak emas, melalui kebijakan ekonomi Belanda di sepanjang pesisir mengambil peluang mengumpul kekayaan nagari, mereka dilindungi, ada sistem barter, barang ditukar dengan barang, harga pun tak sebanding, dilunasi setelah panen bunga pun tinggi, sehingga banyak masyarakat hutangnya tak terbayar, diminta paksa pakai algojo pribumi pula, banyak harta rakaat jatuh ke tangannya, kalau tak terbayar juga diganti dengan tenaga bekerja, dipaksa.

Kehidupan milik penguasa dan orang kaya, penghulu pun susah bebas penghubung anak kamanakan memungut hasil panen. Baca lebih lanjut bukunya “Alam Sati Nagari Surantih” (2007,p.80). Karenanya Belanda angkat kaki, mereka pun pergi. Mereka menjual aset dan rumahnya. Ke TaluAk Sesekali datang juga tahun 1950-an, menjemput kekayaan mereka yang disimpan, mungkin ada emas yang dikuburkan.

Di Limpaso Taluak, juga ada makam orang Cina di Bukit Kaciak, sesekali dilihatnya, ialah seorang Cina yang sudah membaur dengan masyarakat dan pernah menjadi ketua buru babi disebut orang tua Taluak. Ada yang bertanya di mana makamnya yang lain, tetua Taluak menyebut mereka bermakam di Surantih pada sebuah bukit berbatas Ampiang Parak disebut “Alai”.

Mungkin cukuplah satu dua itu makam Cina. Karenanya ketika makam Cina di muaro Padang mau dipindahkan ke Bukit Gadih Basanai di Api-api Pesisir Selatan, masyarakat ranah rantau menolak dan dibatalkan Bupati Darizal Basir ketika itu 1990-an. Akhirnya pindah ke Bungus Teluk Kabung Padang.

Kenapa ada jejak Cina di Taluak? Ibnu Abbas Dt. Rajo Bagindo Kampai Taluak, dulu banyak bercerita. Karena mungkin faktor pelabuhan alam Taluak nyaman tempat berlabuh dan sandar kapal dagang. Sampai tahun 1945 masih ada tiga pelabuhan yang masih bagus di Banda Sapuluah. Termasuk Taluak pelabuhannya dulu bagus, kini menjadi kawasan air mati. Kondisi itu disebabkan karena muara mendangkal, mungkin tak dilalui kapal lagi, tak dikeruk, ditambah pula pengaruh erosi dan debet air semakin berkurang.

Apalgi sejak penghijauan tahun 1986, salah pilih “tanaman vinus” yang rakus menyerap air tanah. Tanah kering, begitu hujan erosi longsor terjadi. Ketiga kota pelabuhan bagus itulah ada keluarga Cina di Taluak. Menarik digali lebih lanjut, dalam kontek kebudayaan dalam sistem ekonomi masyarakat pantai dan Cina, setidaknya untuk cerita menarik untuk anak cucu.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *