Warga desa yang sudah lama merasakan ketidakadilan di bawah kepemimpinan Pak Anwar, mulai angkat bicara.
“Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang seharusnya melindungi kita justru bersikap seperti ini?” tanya salah satu warga dengan nada getir.
“Pak Anwar selalu mengklaim dirinya merakyat, sering berbicara dengan orang miskin, tapi nyatanya, nyawa kita dianggap tidak berarti.”
Namun, meski berita kecelakaan dan kritik terus berdatangan, Pak Anwar tampak tak terpengaruh.
Beberapa hari setelah kejadian, ia tetap sibuk mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang peduli dan dekat dengan masyarakat. Ia terus berkeliling desa, menyapa warga, dan berjanji akan membangun berbagai fasilitas baru.
Dengan senyum lebar dan tangan yang selalu siap berjabat, Pak Anwar berbicara dengan penuh semangat tentang masa depan yang lebih baik bagi desa Pasia Santan.
“Saya berjanji, dalam beberapa bulan ke depan, kita akan memiliki jalan baru yang lebih baik,” katanya dalam sebuah pertemuan warga. “Kita juga akan membangun fasilitas kesehatan yang lebih lengkap dan sekolah yang lebih modern.”
Namun, di balik semua janji manisnya, masyarakat mulai melihat kebenaran yang pahit. Mereka menyadari bahwa Pak Anwar lebih mementingkan citra dirinya daripada kesejahteraan mereka.
Rasa marah dan kecewa semakin mendalam ketika mereka mengingat bagaimana Pak Anwar dengan mudahnya melewati korban kecelakaan tanpa sedikit pun rasa peduli.
“Dia hanya bicara besar,” kata seorang warga dengan nada marah. “Dia tidak peduli dengan kita. Semua yang dia lakukan hanya untuk dirinya sendiri.”
Meski begitu, Pak Anwar terus melanjutkan agendanya. Setiap hari, ia berkeliling desa dengan penuh percaya diri, menyebar janji-janji yang terdengar indah tapi hampa.
Di balik senyum manisnya, ada kegamangan yang ia coba sembunyikan. Ia tahu bahwa sedikit demi sedikit, tabiat aslinya mulai terkuak oleh masyarakat.
Menjelang pemilihan kepala desa berikutnya, suasana desa Pasia Santan semakin tegang. Warga desa mulai berbicara tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar-benar peduli dan bertanggung jawab. Mereka tidak lagi mudah terpesona oleh kata-kata manis dan janji-janji kosong.
Pak Anwar, meski tetap mencoba mempertahankan posisinya, tidak bisa menghilangkan rasa cemas yang menggelayuti hatinya.
Ia tahu bahwa kepercayaan masyarakat terhadapnya semakin pudar. Setiap kali ia berpidato, ia merasakan tatapan dingin dan skeptis dari para warga yang pernah ia bohongi.
Cerita tentang kecelakaan maut itu menjadi pengingat yang tak terlupakan bagi warga desa. Ia telah membuka mata mereka tentang siapa sebenarnya Pak Anwar.
Desa Pasia Santan kini berada di persimpangan, menanti dengan cemas dan harap akan masa depan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang janji manis yang hanya kosong belaka.
Apakah Pak Anwar akan kembali terpilih dalam pemilihan kepala desa berikutnya? Atau akankah warga desa Pasia Santan akhirnya memilih pemimpin yang lebih peduli dan bertanggung jawab?
Hanya waktu yang akan menjawabnya, sementara bayang-bayang kecelakaan itu tetap menghantui dan menjadi pengingat akan pentingnya kepemimpinan yang sejati.
Halaman : 1 2