Namun, penduduk desa tahu bahwa kritik yang disampaikan adalah cerminan dari ketidakpuasan mereka yang mendalam terhadap kepemimpinan Pak Anwar.
Mereka menyadari bahwa kritik yang jujur dan tanpa basa-basi adalah yang paling murni, tanpa kepalsuan. Munafik, begitu mereka menyebut Pak Anwar di balik bisik-bisik yang semakin hari semakin nyaring.
“Kritik itu tidak perlu sopan santun,” kata Lufman, seorang pemuda cerdas yang vokal menyuarakan kritiknya.
“Karena bila mengkritik dengan sopan santun, maknanya akan hilang dan penuh kemunafikan. Pak Anwar hanya mau mendengar pujian, bukan kebenaran.”
Semakin banyak kritik yang dilontarkan, semakin terlihat betapa Pak Anwar tidak tahan menghadapi kenyataan.
Ia yang semula selalu berjanji akan mendengar suara rakyat, kini malah memblokir mereka yang berani mengkritiknya.
Di setiap kesempatan, ia mencoba membela diri dengan berbagai dalih dan alasan, mencoba menutupi kelemahannya dengan menuding para pengkritiknya sebagai orang yang tidak beretika.
“Pak Anwar hanya mau mendengar pujian,” bisik seorang warga di pasar desa. “Setiap kali kita memberikan kritik yang jujur, kita langsung diabaikan atau bahkan diintimidasi.”
Pak Anwar menggunakan alasan sopan santun sebagai tameng untuk menutupi ketidakmampuannya menerima kritik yang sebenarnya.
“Saya selalu terbuka untuk kritik yang membangun,” ujarnya dalam sebuah acara publik. “Tetapi kritik harus disampaikan dengan sopan santun.”
Namun, penduduk desa semakin sadar bahwa kritik dengan sopan santun hanya akan kehilangan maknanya dan menjadi penuh kemunafikan.
Mereka tahu bahwa Pak Anwar tidak mau mendengar kritik yang sebenarnya, hanya mencari alasan untuk menutupi kelemahannya.
Klik selanjutnya untuk membaca halaman berikutnya…
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya