***
BAGAIMANA pun, aku bertekad mencari Pirin Bana. Berkendara sepeda motor aku dan Rikal mengarah ke Air Sirah, rumah orang tuanya. Lalu ke Taratak Paneh rumah istrinya. Tapi di kedua tempat itu ia tak ada. Informasi yang kami dapatkan simpang-siur, kuduga memang sengaja disamarkan. Pasti mereka malas berurusan dengan orang kabupaten.
Butuh waktu dua hari dua malam bagi kami untuk akhirnya menemukan Pirin Bana telah menjadi tukang pukat ikan di pantai Sumedang, bagian agak selatan dari daerahku. Ternyata itu adalah kampung istrinya yang kedua. Wajah Pirin tampak menua, kulitnya hitam kelat, tapi sorot matanya tak berubah. Ketika kusebut soal rabab, sejenak ia menghindar dengan bercerita soal ikan, perahu dan nelayan. Namun kusambar ceritanya itu dan kukaitkan dengan dendang-dendang malamnya selama ini,“Tidakkah sebaiknya Abang sampaikan itu semua lewat biola? Seperti yang sudah-sudah….”
“Ah, tak usahlah, ‘rang mudo, nanti ada yang tersinggung…” ia merendah.
“Tidak, Bang, sebanyak tersinggung sebanyak yang suka,” Rikal ikut meyakinkan.
Singkat cerita, setelah membujuk dengan segala cara, akhirnya Pirin Bana mau tampil di rumahku sekitar seminggu lagi.
Malam Jumat petang Kemis, mulailah acara itu. Di luar dugaan, penonton berjubel, apakah karena Pirin Bana masih sakti atau tak ada pilihan lain setelah orgen tunggal tak jadi tampil, aku tak tahu. Penonton membludak ke jalan, persis massa orgen tunggal. Sadarlah aku bahwa cerita Pirin Banalah yang membuat gelanggang jadi ramai.
Seperti biasa, penonton duduk di atas sadel motornya sambil memarkir motor itu hampir ke tengah jalan. Akibatnya jalan jadi macet, mobil berjalan pelan, dan beberapa bis yang lewat sengaja digedor dindingnya oleh anak-anak muda yang teler meneguk Vigur. Sebuah mobil yang semula kukira pelan karena macet yang sama, ternyata berhenti. Kulirik platnya: merah. Empat laki-laki ke luar, salah seorang menanyakan tuan rumah atau si pangkal helat. Karena aku yang punya helat, maka kutemui mereka, kuajak jalan lewat samping, masuk ke rumah.
Sebelum bertanya maksud tujuan, aku tawari mereka makan gulai ikan ambu-ambu. Tapi mereka sudah lebih dulu lepas mengoceh, sehingga gagallah perut mereka ditendang makanan gratis hangat-hangat. Mereka meminta supaya pertunjukan dihentikan.
“Bubarkan saja acara ini! Ia selalu memburuk-burukkan pemerintah,” kata salah seorang di antara mereka.
“Tunggu dulu, Pak. Apa soalnya ini?” aku berusaha tenang.
“Ah, kau orang baru, tahunya hanya rantau. Mana tahu kau urusan kampung?!”
“Okelah, karena itu saya ingin tahu.”
Seseorang lain bertompel hitam di pipinya, bergeser, seperti hendak menempelkan mulutnya yang berkabut ke kupingku. “Apakah kau perlu tahu bahwa orang ini mengakibatkan Pak Sabur digeser dari kepala dinas? Apa kau perlu tahu Pak Dimar ini (ia menunjuk orang yang tadi mengoceh) sekarang jadi sopir di lingkungan Pemkab, dari yang semula kepala seksi? Itu gara-gara tukang kaba celaka ini!”
Uci Kurai Taji, preman kampungku yang tahu “peta” kabupaten, menyela,”Bukan itu. Sabur dimutasi karena mendukung bupati yang kalah. Dimar ikut Pak Sabur. Masih untung, kawanku malah dipindah ke Pagai.”
Tambah merahlah muka mereka.
“Apa pun, dia harus dihentikan. Kau lihat, anak-anak jadi tak menentu perangainya. Mereka minum Vigur dan menggedor bis. Dengar, kaba Madin sangat menghasut!” Kami memokuskan telinga pada dendang Pirin yang bergema lewat mikrofon di luar rumah.
Oi, ‘lah berjalan si Syamsi kini
Berjalan tertatih-tatih, ibarat enggang menjelang gunung
Melangkah berlambat hari, ibarat kacang menjelang junjung
Tibalah Syamsi di Painan, dulu lengang kini ‘lah ramai, oi
Kantor bupati dan DPR, tegak berhadapan saling memandang
Gedung sekolah dan rumah sakit, dibangun besar lengkap bertaman
Terbayang kini nagari Alang Sungkai, di Indrapura Basa Ampek Balai
Dulu ramai kini ‘lah lengang, serupa kuik elang di tengah siang
Di situ kampung Buyung Syamsi, di situ Si Upik Banun tambatan hati
Ia tinggalkan dalam sakit, sedang berpuntal bayang-bayang:
Sakit ke mana hendak datang, dokter tak hendak, uang tiada
Kampung dan rumah sakit bak jarak sorga-neraka
Jalannya rusak binasa, bak telapak tangan Buyung Syamsi
Kurus pucat dan pecah-pecah. Di situ berpikir Si Buyung Syamsi
“Kalau begini caranya, baiklah kami berdiri sendiri, pecah kongsi dengan Painan
Kami yang berjaga di perbatasan—Indrapura, Lunang dan Tapan—harap mekarkan!”
……
Kami yang sedang berperkara terdiam. Tapi Uci Kurai Taji yang tak puas atas tuduhan si tompel tadi, kembali mulai,”Soal minum Vigur dan bikin jalan macet, di orgen tunggal lebih parah…”
Si tompel menengadah,”Itu lain soal karena memang seleranya anak muda. Tapi biola? Warisan nenek moyang. Tak boleh sembarangan, apalagi untuk menghasut. Untung kami lewat karena ada urusan di Surantiah, kalau tidak…”
“Pasti bukan kebetulan. Udin Jaguik, anak desa sebelah yang honorer di Pemkab telah menyampaikannya kepada Anda,” Kurai Taji langsung main tembak.
Kali ini, orang yang bernama Dimar antara panik dan kesal berteriak,“Pokoknya bubarkan! Dulu di Padang kami tak bisa membubarkannya karena banyak wartawan, sekarang di kampung, Anda kira wartawan akan tahu?”
Aku tersenyum. Masam. Ia tak tahu aku seorang penulis, penulis cerita rakyat. Sama seperti Madin, yang membuat malam membara dengan dendangnya, dalam tatapan berpuluh pasang mata yang bertahan hingga larut. Mata yang tak pernah menuntut. Namun ketika mereka tahu ada tamu tak diundang hendak mengganggu arena, mata-mata itu mulai bergulir liar menunggu di depan pintu.
“Siapa mereka?”
“Orang pemerintah?!”
“Ya, ya!”
“Mereka membentak Kudal, apa maunya?”
“Wah, beraninya di depan hidung kita!”
Kudengar Kuriak dan Sihem berbisik-bisik sambil mengintip di balik kaca nako. Mereka toh sudah mendengar buah pergaduhan kami. Kini bisik-bisik mereka terdengar bagai api yang mendesis, menjalar ke telinga penonton yang lain. Aku harus segera bertindak.
“Sekarang begini saja. Bapak-bapak mohon keluar dari sini, nanti soal Pirin kami yang atur.”
Kuminta bantuan Kurai Taji untuk menggiring rombongan itu ke luar lewat pintu dapur. Sadar akan bahaya yang mengancam, keempatnya mengendap-endap ke mobil mereka yang parkir di tepi jalan. Selamat, selamat, aku mengelus dada.
Tapi, tunggu. Ketika mobil plat merah itu melenguh, penonton yang tadi bergerombol di depan pintu tersintak. Dengan tungkai-tungkai panjangnya yang kurus dan menderita, mereka bangkit dan berlari.
“Kepung!”
“Lempar!”
“Pakai botol Vigur!”
“Saatnya!”
Suara-suara itu bagai guruh di langit kampungku. Tak seorang pun bisa mencegah. Bahkan tidak Uci Kurai Taji. Kuriak dan Sihem tiba-tiba muncul sebagai pemuda paling berani. Dibantu anak-anak lain, mereka tangkap lengan keempat tamu yang sial itu, lalu mereka seret ke arena. Keempatnya kemudian mereka dudukkan baik-baik persis di depan Madin yang sejenak menghentikan gesek biolanya. Aku, Uci dan yang lain masih belum tahu apa maunya kedua pemuda tanggung itu. Tapi ketika Sihem berteriak meminta empat gelas kopi dan Kuriak dengan penuh hormat minta Madin melanjutkan kaba-nya, kami semua segera mengerti.
“Bapak-bapak harus duduk di sini sampai pagi, silahkan simak ceritanya baik-baik…”
Dari balik kaca jendela, kulihat Madin mulai menggesek biolanya. Membuat malam membara dalam dendang panjang dan dendam tak sudah. Keempat tamu terhukum itu kuyakini telah menjadi bahan bakarnya.
/Rumahlebah Yogyakarta, 2012-2013
_________________
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang, kemudian merantau ke Denpasar, dan kini menetap di Yogyakarta. Buku cerpennya antara lain Parang tak Berulu dan Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai. Cerpen ini diambil dari manuskrip buku kumpulan cerpen terbarunya yang sedang dalam persiapan terbit.