JIKA terdengar rabab digesek, tergitik dawai-dawainya, dijentik berdenting-denting, lalu menimpal orang di gelanggang,”Oi, rabab, tolong sampaikan,” maka suara tukang kaba membubunglah; menyampaikan kisah yang dipinta pendengarnya. Kaba Cindur Mato dan Puti Bungsu, Nan Gombang dan Andam Dewi, Rambun Pamenan, Bujang Jibun, Gadih Basanai, tinggal pilih. Siap dimainkan semalam suntuk, sejak embun pertama turun di pinutu hingga ayam jantan berkukuk subuh-subuh.
Si tukang kaba yang bersila di kasur kapuk tak ubahnya sopir bis membawa penumpang segelanggang menyusuri jalanan kisah yang berliku, melewati kampung-kampung tersuruk di mana untung-nasib tidak menenggang.
“Ahai, Tungganai, tertawalah sedikit!” menghimbau seorang hadirin.
“Tak bisa tertawa awak, Dunsanak, iba hati selilit pinggang,” jawab si Tukang Gendang, yang jika kaba sudah didendangkan, ia akan beralih fungsi sebagai pendamping tukang kaba—menghidupkan suasana.
“Bawalah tegak!”
“Tak bisa tegak, Dunsanak, burung di sangkar sudah patah…”
“Patah hati atau selera?”
“Susah kubedakan…”
“Patah hati bawa berlari, bawa gadis berbaju merah; patah selera tambah kopi, api di tungku masih menyala. Oi, orang di dapur, sudah terdedak kopi di sini, pagi belum tiba!”
“Yoolah!” meningkah suara dari dapur.
Begitulah suasana pertunjukan kesenian tradisional di daerahku, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, yang dikenal sebagai rabab pasisie. Di antara gesek biola, selalu ada teriakan merespon kaba, antara tungganai dan orang ramai. Tak hanya menghidupkan suasana dalam gelak tawa, pun saling tembak sesama penonton. Juga ajang meminta tambahan makan atau sekedar kopi pada siempunya helat. Suasana kian gayeng jika kaba dibawakan oleh perabab kenamaan.
Para peneliti rabab pasisie nicaya tahu nama perabab tersohor dari daerahku beserta cerita favoritnya. Kaba “Zamzami dan Marlaini” yang dibawakan Syamsuddin, misalnya, pernah diteliti seorang pengajar dari Universitas Andalas yang sekarang pindah mengabdi di Leiden University. Juga kaba “Malin Kundang” oleh perabab yang sama, ditranskrip ke dalam buku Seri Tradisi Lisan Nusantara. Sebuah kaset sudah pula dihadirkan oleh peneliti lain dalam apa yang disebut “Musik Malam”.
Tapi diteliti atau tidak, dipromosikan atau bukan, berani kukatakan bahwa perabab paling terkenal di daerahku bernama Pirin. Bukan Pirin sembarang Pirin, tapi berkait-pilin dengan apa yang orang tunggu: jaminan mutu! Anehnya, sosok Pirin tidak satu. Nama itu semacam gelar, lekat dengan nama tukang kaba yang memang layak mendapatkannya. Meski sebanyak nama di kepala, hanya tiga yang benar-benar kekal.
Pertama, tentu si empunya muasal nama, disebut orang Pirin Gadang, artinya Pirin Besar. Bukan saja badannya yang memang tambun, juga karena ia senior: jam terbangnya tinggi. Dalam kaset rekamannya yang beredar sejak tahun 80-an, ia dikenal dengan nama Pirin Asmara. Suaranya serak-serak basah, tapi sanggup meninggi ketika dawai digesek pilu, dan cepat jadi jenaka ketika dawai dijentik tiga kali sehingga seorang gadis yang belum selesai menghapus air mata seketika akan beralih menahan tawa. Pandai memainkan perasaan, seolah mengaduknya dalam bejana, itu keunggulan Pirin Gadang atau Asmara.
Dan kenapa pula pakai Asmara? Tak ada yang tahu persis. Sebagian menyebut itu trik studio rekaman yang lumrah membuat tiap nama jadi komersil. Ada yang percaya lantaran banyak perempuan tak bisa lelap sehabis mendengar dendang si Pirin. Keduanya mungkin benar. Konon, istri Pirin memang lebih dari satu, jika itu ada kaitan. Apa pun, atas semua keunggulanlah namanya layak belaka disandangkan pada perabab lain yang dianggap punya bobot setimpal. Tapi semua yang berlaku di dunia ini kehendak Allah: Pirin Gadang atawa Pirin Asmara yang berbobot itu telah dipanggil-Nya empat tahun lalu, dan aku mendengar beritanya dengan sedih mendalam, di rantau jauh.
Perabab berikutnya Pirin Ketek, artinya, Pirin kecil. Badannya kurus, masih muda, dan setahuku belum pernah “melempar” kaset. Sungguh pun begitu, sesekali ia muncul dalam vcd dengan video klip seadanya. Badannya boleh kecil, tapi dendangnya tajam merasuk. Sayang, ia menghilang ke seberang, Malaysia. “Ia melakoni kaba-nya sendiri yang paling diminati: Tertawan di Bilik Siti,” kata Angku Panjang Janggut, seorang tua, sahabat bagi semua yang muda di kampungku.
Di antara dua nama itu (atau lebih banyak lagi nama yang tak meyakinkan menyandang nama Pirin), ada satu lagi perabab yang tak bisa dianggap tanggung. Nama sebenarnya Madin, namun karena dianggap berbakat, maka orang menamainya Pirin pula, tinggal mengubah gelarnya. Seperti Pirin Ketek itu, nama sebenarnya Zulkifli bin Narus. Seharusnya, dengan kemampuannya Madin bisa menjadi Pirin Tengah—tidak besar tidak kecil—tapi ia malah populer sebagai Pirin Bana. Artinya bisa Pirin yang sebenarnya, juga bisa berarti Pirin Benar—orang yang lurus.
Teringat itu semua, inginlah aku mengundang seorang perabab untuk tampil di rumahku. Bertahun-tahun di rantau, lalu pulang sesekali (kali ini menghelat khitan anakku) apa salahnya aku menanggap rabab? Meski beberapa panitia helat tak setuju, dan mereka ramai-ramai mengusulkan orgen tunggal yang memang sedang laku. Aku bergeming. Namun ketika nama Pirin Bana kusebut, mereka, antara menang dan murung menjelaskan bahwa perabab paling kurindu itu sudah lama tak bakaba!
“Kenapa bisa begitu?” tanyaku ragu.
“Uwan tanya saja Rikal, dia paling tahu soal itu,” jawab Badar, ponakanku.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya