Rahima menyiapkan dengan hati-hati hal apa yang hendak ia persiapkan sebelum benar-benar berangkat menuju balai desa untuk mengikuti acara mauludan. Ini hari istimewa, pikirnya. Bukan saja karena hari ini semua umat Islam bergembira memperingati hari kelahiran Nabi. Lebih dari itu ia merasa berbangga, sebab pada tahun ini ia bisa mengantarkan masakan sebagai tanda partisipasi dalam acara itu.
Sebagaimana lazimnya setiap tahun, peringatan hari besar Islam di kampung ini. Para warga selalu dihimbau untuk membawa masakan dari rumah, biasanya masakan itu akan disusun dalam dulang di tutup dengan tudung dan kain untuk di santap bersama-sama saat makan siang. Tradisi makan itu disebut Bajambau.
Pada tahun-tahun sebelumnya, biasanya Rahima lebih memilih mendengarkan acara Mauludan dari kejauhan karena merasa segan tidak bisa menyumbangkan apa-apa, sementara warga lain sibuk memasak beraneka macam makanan. Bukan karena ia tak mau, tapi keadaan memaksanya berbuat demikian. Hidup dari pekerjaannya sebagai pembuat tikar pandan, hanya cukup untuk membeli sedikit beras dan ikan asin, itupun terkadang berhutang.
Maka, pada tahun ini. Ketika Tuhan memberinya rezeki yang lebih dari biasanya, Rahima begitu bersemangat menyambut hari. Bangun cepat sekali mendahului kokok ayam jantan di atas pohon jambu. Bergegas menggiling cabe, memarut kelapa, menumis bawang, atau memotong sayuran. Ia merasa lelah tapi senang.
“Sudah empat belas tahun kita tidak mengantarkan masakan dalam acara mauludan, Ima.” Ibunya berkomentar. Ada bermacam perasaan berkecamuk lewat rona wajah tua itu. Sedih, senang, ataupun haru. Rahima membaca gurat kerisauan di wajah ibunya, namun ia tak mau hal itu justru membuat suasana hatinya berubah. Hari ini terlalu sia-sia untuk diabadikan dengan air mata.
Acara mauludan selalu mengingatkan cerita cinta sekaligus pedih bagi Rahima, awal mula ia mengenal cinta dari lelaki yang kelak menjadi suaminya. Saat itu ia masihlah perawan belia dengan sepasang buah dada yang belum tumbuh, dan lelakinya seorang perjaka muda dengan bulu tipis yang baru mulai tumbuh di atas bibirnya. Pertemuan itu menumbuhkan rasa debar dan letupan di hatinya, sebuah perasaan yang lambat laun kian membuatnya mabuk asmara.
Sebagaimana lazimnya muda-mudi di kampung itu, mereka menikah muda, cinta terkadang memang tak butuh penjelasan panjang, adakalanya begitu sederhana.
Namun, pernikahan mereka berumur sangat pendek, lelakinya dipanggil Yang Maha Kuasa tak sampai satu tahun sejak kebersamaan mereka. Rahima menjadi janda muda dan memilih untuk tidak menikah lagi sampai kini.
Pagi baru saja mulai, namun Rahima sudah menyiapkan seluruh masakannya. Gulai pisang muda, ikan salai, sambal telur balado, dan sayuran dari pucuk ubi. Tak lupa juga sesisir pisang serai yang kemarin ditebangnya di belakang rumah. Rahima menyadari, barangkali masakannya akan kalah mewah dengan yang lain, yang dengan enteng bisa menyediakan Rendang ayam kampung, gulai ikan Baung, atau daging sapi, atau sayuran hijau yang segar. Ini hari spesial, tentu saja masakannya harus spesial pula, dan itu adalah hal paling spesial yang bisa ia sediakan tahun ini, kendati sudah empat belas tahun ia menunggu momen seperti ini.
Rahima bergegas menyusun dan menata masakannya dalam dulang serapi mungkin. Dalam nampan lebar itu ditaruhnya nasi hangat yang masih mengepul di tengah, di kelilingi oleh aneka lauk-pauk, di pinggir bibir dulang, gelas, sendok dan sesisir pisang serai menempati bagiannya. Untuk piring akan di letakkan di tempat terpisah, biasanya akan di bungkus dengan sehelai kain lap. Dulang yang di tutup tudung akan dibawa dengan cara menjunjung di atas kepala, sementara piring yang di bungkus kain lap itu akan di jinjing.
“Lekaslah mandi Ibu.” Setelah memastikan semuanya beres, Rahima menegur ibunya yang sedari tadi lebih banyak berdiam diri mengamati pekerjaan putrinya. Barangkali ingatannya masih berseliweran kenangan-kenangan. Sebetulnya Rahima pun demikian. Kenangan memang kerap kali muncul saat kita mengalami dejavu, ingatan Rahima kembali menuju ke masa lalu pada hari mauludan persis seperti sekarang. mauludan pertama dan terakhir Rahima bersama lelakiya, Saat itu, ia dan lelakinya terlibat perbincangan, keduanya bersandar pada kursi tua di pojok rumah, memandang jauh penuh kehampaan, berpegangan tangan mencoba saling menguatkan.
“Apakah mencintai Nabi harus ikut acara Mauludan?” Rahima menangkap ada nada kegetiran dari ucapan lelakinya, semacam kerisauan atau kegundahan. Barangkali lelakinya merasa bersalah tak bisa memenuhi kewajibannya memberi kebutuhan yang cukup sehingga mereka tak bisa memasak sedikit makanan pun untuk acara mauludan tahun ini.
“Mencintai Nabi tak harus dengan melakukan seremoni.” Rahima mencoba menetralkan suasana hati lelakinya. “Merayakan mauludan memang merupakan suatu tradisi di sini, tetapi tentu saja bukan itu cara satu-satunya.
Rahima mencoba menghisap sunyi yang kian menjadi-jadi, dari kejauhan terdengar samar lantunan shalawat dan puji-pujian kepada Nabi memecah kesunyian rumah mereka, tapi entah mengapa itu justru memperparah kesepian hati Rahima dan lelakinya.
“Maafkan aku, Ima.”
“Untuk apa?”
“Untuk kehidupan kita yang seperti ini.”
“Kita tidak bisa memilih takdir, yakin saja dengan pilihan Tuhan.”
“Apa kau menyesalinya?”
“Menyesali apa?” Rahima balik bertanya.
“Menikahiku.”
Rahima terkesiap medengar itu, ia sadar kehidupan rumah tangga ibaratkan kapal yang menerjang lautan, ada masanya berlayar tenang, dan ada saatnya badai dan ombak menghadang. Dulu, saat memutuskan menerima lamaran lelakinya ini, ia tak memikirkan banyak hal, sebagai seorang remaja yang baru bertumbuh, ia tak membayangkan kehidupan seperti apa yang akan menghampirinya pada masa depan. Menikah baginya hanyalah soal waktu, cepat atau lambat pun tak jadi soal.
“Jangan terlalu berlebihan.” Rahima mencoba tersenyum menenangkan lelakinya. “Hanya karena tidak bisa ikut mauludan, kamu berkata demikian. Kita bisa ikut mauludan-nya tahun depan.
Rahima lalu terbayang masa-masa ia sering ikut mauludan dengan ayahnya waktu kecil. Ia menyukai masa itu sebab pasti banyak makanan, di hari lain belum tentu bisa makan banyak dan enak seperti itu. Setelah ayahnya tiada, kehidupan ekonominya pun berubah, hinga acara Mauludan menjauh dari hidupnya.
Rahima sampai di Balai desa sekitar jam 9 pagi, belum terlalu banyak kaum hawa yang datang, ia menjulurkan dulangnya yang berisi makanan kepada beberapa orang lelaki yang ada disitu, lalu memilih duduk di pojok belakang. Shalawat kepada Nabi terdengar nyaring di kumandangkan. Di barisan depan sudah penuh diisi oleh pejabat tinggi kampung, para pemimpin yang selalu bersinergi dalam memajukan negeri. Tali bapilin tigo, tigo tungku sajorangan, yakni Kepala Desa yang memimpin pemerintahan, Pucuk Syara’ yang memimpin bidang agama, dan Pucuk Adat yang memerintah lembaga adat yang terdiri dari para Ninik Mamak.
Rahima duduk di tempat yang sepi, ia merasakan ada yang ganjil dari tatapan orang kepadanya atau ibunya. Namun ia mencoba memaklumi, empat belas tahun tanpa menghadiri acara mauludan, pastilah membuat banyak orang terheran-heran kenapa pada tahun ini ia dan ibunya tiba-tiba mengejutkan dengan mengantarkan masakan. Orang kampung seolah sudah menghapus jejak Rahima dan keluarganya dalam daftar acara Mauludan, sebab semua orang tahu tentang ketidaksertaanya selalu di ulang-ulang setiap tahun, sebab di kampung yang hanya ‘seluas lepat’ ini cerita apapun sangat cepat menyebar, melebihi wabah paling berbahaya sekalipun.
Tapi tidak semua yang mereka tahu, Rahima menyadari itu, bagaimana ia selama empat belas tahun mengurung diri dengan perasaan yang amat susah di lukiskan setiap acara Mauludan, bagaimana ia sedikit demi sedikit berusaha menyisihkan uang layaknya orang yang menabung untuk berangkat naik haji saja, berusaha mati-matian beririt setiap hari agar persediaan untuk membuat masakan di acara Mauludan ini menjadi kenyataan. Orang-orang itu tidak tahu penderitaan ia dan ibunya, termasuk ketika mereka ternyata harus menunggu empat belas tahun, rentang waktu yang cukup lama untuk sekedar berpartisipasi dalam sebuah acara memperingati Maulid Nabi. Jangka waktu yang tidak pernah di bayangkan Rahima sebelumnya, namun pada akhirnya takdir membuatnya demikian. Setelah kematian ayahnya yang mendadak, Rahima yang baru saja keluar dari dunia remajanya, dipaksa menjadi manusia dewasa dengan cepat, menjadi anak tunggal, dengan seorang ibu yang tak lagi muda, dan yang paling sial tak ada peninggalan apapun dari ayahnya untuk di jadikan tempat bertopang hidup, membuat hidup bagi Rahima hanyalah memikirkan mau makan apa esok hari. Kehidupannya sempat mengalami kebahagiaan sekejap saat menikah dengan seorang lelaki yang ia temui di acara Mauludan, itu adalah acara mauludan pertama yang ia hadiri setelah ayahnya meninggal dua tahun sebelumnya, kepada seorang laki-laki biasa yang juga miskin itu ia sempat menitipkan harapan akan kehidupan yang berangsur-angsur membaik. Kendati tidak akan bisa keluar seutuhnya dari lembah kemiskinan, setidaknya ada tempat untuk berbagi. Tapi tatkala kebahagiaan itu baru mekar, lelakinya juga dipanggil secara mendadak oleh Yang Maha Kuasa. Jadilah ia dan ibunya menjadi dua perempuan yang ditinggal mati oleh suami.
Alih-alih terpengaruh dengan pandangan tersebut, Rahima lebih memfokuskan diri pada konsep acara Mauludan, ia merasakan ada perbedaan, empat belas tahun berlalu dan ia hanya bisa mendengarkan dari kejauhan, kedatangan pertama kalinya setelah kurun waktu tersebut malah terlihat pergeseran yang amat mencolok. Acara yang disaksikannya lebih diramaikan oleh pidato para pejabat yang diundang ketika acara. Pesan yang ingin disampaikan bukan lagi kecintaan kepada Nabi, Shalawat dan puji-pujian hanyalah selingan yang tidak menjadi prioritas utama, penceramah tidak mendapat waktu yang cukup untuk berbicara karena harus berbagi dengan politikus yang bercerita gagah tentang prestasinya sambil sesekali sok bijak mengajak umat untuk meniru keteladanan Nabi.
Sampai pada waktu tertentu Rahima masih bisa berkompromi dengan situasi yang sedang dialaminya, ia mencoba mengikuti arus yang sedang di bangun orang kampungnya. Empat belas tahun tentu bukan waktu yang sebentar, generasi baru lahir dengan pemikiran yang beragam, peralihan pola pikir menyerbu tatanan masyarakat sampai pada hal terkecil. Apakah memang semua yang tradisional harus tersingkir oleh hal yang kita sebut modern? Apakah tradisional selalu melambangkan ketertinggalan dan kemunduran suatu peradaban? Rahima tak sanggup memikirkan itu, ia hanya kagok menerima dan melihat ini semua. Sebagai orang kampung asli, bagi Rahima acara Mauludan tetaplah seperti yang dulu ia saksikan saat kecil, yang diwariskan secara turun-temurun oleh para orangtua dan kakek-nenek mereka, berisi acara sederhana. Dipenuhi dendang Shalawat atas Nabi, lalu mendengarkan Ustaz berceramah yang pada intinya bercerita kemuliaan Nabi Muhammad SAW seperti saat lahir dipenuhi cahaya, dilindungi awan, atau saat seorang Malaikat datang membelah dada Nabi dan membersihkan semua kotoran pada hatinya. Rahima menyukai hal itu, kendati yang dibicarakan Ustadz kerap itu saja yang diulang setiap tahun, ia menyukai kemurniannya, tanpa ada rupa-rupa orang berwajah dua di dalamnya.
Acara hampir selesai dan Rahima tak bisa menemukan suatu kenikmatan, ia tidak mendapatkan apa yang ia cari dan merasa lelah sendiri kendati sekuat hati di usahakannya untuk berkompromi atas keganjilan yang disaksikannya, hingga satu kejadian membuat titik kesabarannya benar-benar habis dan meninggalkan kehancuran yang akut di hatinya.
Saat makan bajambau usai, dan Rahima menatap sendu semua isi makanannya di dalam dulang, semuanya nyaris tak di sentuh apalagi di santap, ia merasa sangat malu melihat itu, ia masih bisa menerima pandangan ganjil orang-orang kepadanya, pun pada ibunya, namun mendapati masakannya tak di makan pada sebuah perayaan, padahal ia sudah menyiapkan ini dengan begitu tulus semenjak subuh dan merencanakan dengan sungguh-sungguh selama lebih dari satu dekade benar-benar membuatnya merasa dihina secara terang-terangan. Dan saat banyak orang bergegas keluar Balai, ia pun cepat-cepat membereskan dulangnya dengan perasaan gundah.
“Kita pulang, Bu… Orang kecil seperti kita memang tidak dibutuhkan di sini.
Ketika turun dari tangga balai, Rahima menginginkan sejenak saja bisa terbang untuk pulang ke rumahnya, agar tak bertemu banyak orang. Ia merasa ini adalah jambau terakhir yang bisa ia laksanakan.
Romi Afriadi, lahir di Tanjung, Kampar, Riau. Menamatkan studi di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Pelatih sepakbola di sebuah SSB