|
Ilustrasi Bus dan Lapau nasi (Riri Tri Utami) |
Kisaran tahun 80-90-an merupakan masa jaya dua ikon penting jalanan Padang-Pesisir Selatan. Ikon pertama adalah lapau nasi (warung makan) dan yang kedua perusahaan oto (PO) bus. Uniknya, kedua ikon ini berhubungan erat, saling menopang dan menghidupkan.
Baca juga: Membeli Beras
Dalam kurun waktu tersebut, masyarakat sangat akrab dengan bus. Mereka memanfaatkan bus sebagai sarana transportasi terutama ke kota kabupaten atau propinsi. Tidak saja sebagai penumpang “surang” (penumpang an-sich), tapi bagi petani juga untuk membawa sejumlah hasil bumi seperti pinang atau minyak nilam. Sementara bagi pedagang bisa membawa barang konveksi atau seperangkat mebel yang mereka ambil di grosir atau usaha di Pasar Raya yang letaknya dekat Terminal Lintas Andalas. Sehingga sering terlihat bus sarat beban sampai ke atapnya.
Bus berangkat dari pangkalannya di selatan, dan penumpang diatur agen masing-masing. Selain itu banyak juga penumpang yang naik atau turun di jalan. Penumpang bus disebut pasisie. Lazim terdengar percakapan di warung kopi saat mengomentari sebuah bus yang lewat,”Kencang betul busnya, gisok sopirnya!”
“Iya, sopir Batak mah,” jawab yang lain, merujuk sopir kenamaan di Sumatera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Baca juga: Dendang Membara Pirin Bana
“Padahal pasisie-nya sudah penuh, entah apa lagi yang mau dikejar,” kata yang lain.
“Paling sudah ndak sabar berhenti di lapau nasi!”
Maka terdengarlah gelak-tawa di antara kopi dan goreng pisang.
Dulu saya menduga pasisie itu istilah khusus penumpang bus dari Pesisir Selatan karena daerah ini memang disebut demikian. Dalam pergaulan di Kota Padang sebutan urang pasisie atau anak pasisie untuk menyebut “orang Selatan” atau Pesisir Selatan tidaklah asing. Tapi di Terminal Lintas Andalas sering juga agen bus jurusan darek seperti Bukittinggi atau Batusangkar, saya dengar berteriak-teriak, “Berangkat, berangkat, pasisie sudah penuh!”
Baca juga: Jambau Terakhir
Bertahun-tahun kemudian saya bertemu istilah lain dari musafir, yakni pasese, artinya pejalan atau orang dalam perjalanan. Ini mungkin asal mula kenapa penumpang bus disebut pasisie. Meski hanya secara kebetulan sama dengan sebutan daerah saya, saya merasa senang juga.
Kembali kepada bus dan rumah makan. Jadi ada suatu masa di Pesisir Selatan di mana hubungan bus dan lapau nasi begitu dekat. Hubungan saling untung. Dalam pelajaran dasar Biologi di sekolah kita kenal istilah simbosis mutualism. Ya, persis begitulah, seperti kerbau dan bangau. Sopir dan kernet bus yang lelah perlu makan dan istirahat di lapau, sedangkan lapau nasi dapat pembeli dari penumpang yang lapar.
Baca juga: Sehimpun Puisi Sri Jumaini
Dengan demikian, lapau nasi merupakan tempat pemberhentian bus-bus pasisie jurusan Padang. Mereka bertolak dari kota-kota kecamatan di selatan, mulai Surantiah, Kambang, Balaiselasa, Airhaji, Indrapura, Muarosakai sampai Tapan dan Lunang Silaut. Jarak kota-kota ini ke Kota Padang bervariasi, yang terjauh tentu dari Lunang di perbatasan Bengkulu sekitar 185 km; 150 dari Kambang atau 135 dari Surantiah. Bus-bus itu antara lain bernama Mustikarila, Sinar Lengayang, Tapan Indah, Sinar Bulan, Sinar Lengayang, Budi Jaya, Mansiro, Habeco, dan Tapan Ekspres. Rata-rata berangkat pagi ke utara, siang, sore hingga malam, lalu kembali ke pangkalannya di selatan. Ada juga bus dari Sungaipenuh, Kerinci, Jambi, seperti Anak Gunung, Cahaya Kerinci atau Alam Sakti, umumnya bus malam.
Bus trayek Painan-Padang, seperti Painan Indah, Painan Jaya, Erlindo atau DMB Lumpo, tentu juga termasuk bus pasisie, tapi trayek ini terbilang pendek (kurang dari 100 km) sehingga dalam konteks cerita ini, tidak bersentuhan langsung dengan lapau nasi yang akan diceritakan sebentar lagi. Kenapa? Sebab jalur ini tak melewati kawasan “titik lelah”, dan meskipun melewati “kawasan perbatasan”, toh bus dari Painan dan sekitarnya memilih tak berhenti sebab saat berangkat sopir dan penumpang masih kenyang, dan saat pulang pasisie memilih langsung makan di rumah masing-masing.
Bus-bus yang melaju dan kemudian berhenti di lapau nasi, telah menghidupkan bisnis rumah makan di sejumlah titik tepi jalan Padang-Tapan. Setidaknya titik itu menyebar dalam tiga kawasan utama.
Pertama, kawasan titik lelah, yakni di sekitar Sungai Nipah dan Teluk Betung (masuk Kecamatan Batangkapas). Dari segi jarak lokasi ini berada di tengah-tengah, berkisar antara 80-100 km dari selatan (Tapan) maupun dari utara (Padang), yang ditempuh dalam waktu sekitar 3-4 jam. Waktu yang tepat melayani rasa lapar sopir, kernet dan penumpang, saat bergelut gelang-gelang. Lokasinya pun terletak setelah medan berat, yakni pendakian yang sempit, berkelok tajam dan berjurang dalam: Bukit Pulai di selatan dan Bukit Batu Biawak serta Bukit Patambuhan di utara. Klop!
Kedua, kawasan perbatasan, sekitar Kecamatan Tarusan, yakni Kayu Gadang, Siguntur Mudo, Siguntur Tuo, termasuk Sibingkeh yang secara administratif sudah masuk Bungus Teluk Kabung (Kodya Padang). Di daerah perbatasan ini, bus-bus yang berangkat malam, sekitar pukul 19.00 ke atas, harus bermalam di salah satu lapau nasi langganannya.
Sebuah Puisi: Aku sampaikan melalui tulisan
Kenapa demikian? Terminal Lintas Andalas tidak buka 24 jam, hal yang pernah disoal oleh satu komisi DPRD Padang sebagai “kelemahan” kota-kota di Sumatera. Beda dengan Jawa, terminal kota propinsi dan kota lintasannya buka 24 jam. Komisi dewan mengusulkan perlu terobosan memajukan Padang dengan menambah jam operasional terminalnya.
Tapi gayung tak bersambut, dan alhasil, bus-bus berangkat malam dari pasisie tetap tak bisa lantas masuk kota. Rata-rata bus sampai di kawasan perbatasan larut malam atau dinihari, kalau lanjut masuk kota, kan kasihan pasisie kita, kata sopir yang sekali tempo saya dengar bicara soal itu. Di lapau nasi perbatasan ini ada tempat tidur sekedarnya berupa balai-balai dan banguan tambahan di belakang, sebagian “tidur duduk” dalam bus!
Ketiga, kota kecamatan yang menjadi pangkalan trayek sebuah bus, misalnya lapau nasi Aceh-Minang di Indrapura, lapau nasi Siang Malam di Airhaji atau Balaiselasa (sayang sekali saya tak ingat lagi nama-nama lapau nasi, dan kebanyakan memang tidak bernama. Saya ingat nama lapau nasi yang pernah menjadi pangkalan bus di Pasar Indrapura, Aceh-Minang, karena dulu merupakan pangkalan bus Budi Jaya. Bus yang kaca depan dan belakangnya bertulisan “Eka” serta “Doa Ibu” itu, kebetulan milik Pak Gaek Sani, pak gaek saya; Al-Fatihah untuknya). Pendek kata, sopir dan kernet bus akan makan malam di lapau nasi pangkalan ini sekalian numpang tidur, dan esok pagi sebelum nyari penumpang ngopi dan sarapan lagi.
Sebuah Puisi: Untuk seseorang yang tak pernah tau
Tiga kawasan inilah yang menjadi pusat pertumbuhan rumah makan di Kabupaten Pesisir Selatan. Selain memperoleh langganan dari penumpang bus, tentu lapau tersebut mendapat konsumen juga dari kendaraan atau orang lain yang lewat. Tapi pola interaksi khusus dan khas adalah dengan PO bus. Setiap bus punya lapau nasi langganan dan sebaliknya, masing-masing lapau punya bus langganan.
Pola interaksi tersebut tentu tak sepenuhnya “alamiah” karena sudah diatur secara teknis, berdasarkan prinsip kerjasama (meski tak harus tertulis). Rumah makan yang mendapat limpahan pasisie (yang terbesar dan “produktif” adalah di titik lelah) akan memberi kompensasi service kepada awak bus.
Sebuah cerpen: Angin Kenangan
Perlu diketahui, awak bus terdiri dari sopir dan kernet atau sitokar. Kernet biasanya dua orang; seorang yang senior pemungut ongkos termasuk mengatur perempuan yang duduk di muka, tempatnya di pintu tengah; seorang lagi yunior tukang angkat barang penumpang, termasuk ke atas atap, sambil berteriak cari penumpang di pintu belakang. Kadang bos juga ikut. Sesekali sopir atau bos mengajak saudara atau kawannya. Jangan khawatir. Semua beroleh service memuaskan dengan meja khusus dan ruang khusus. Jangan lupa, sopir dapat dua bungkus rokok Dji Sam Soe (rokok termahal saat itu), kernet dapat sebungkus seorang. Saya ingat, Pak Mua, sopir Budi Jaya tidak merokok, dan setiap rokok yang ia dapat ia kumpulkan, lalu setelah sampai satu slop ia jual kembali di warung tetangganya, lumayan nambah pendapatan.
Ujang Serel, sepupu saya yang merupakan kernet bus Budi Jaya bersama kakaknya Uda Ijam, selalu akan berteriak-teriak gembira jika bus masuk Sungai Nipah atau Teluk Betung. “Sumatera Tengah, Sumatera Tengah!” katanya.
Sebuah cerpen: Canny dan Rika
Yang ia maksud adalah “perut” yang posisinya berada di tengah-tengah tubuh kita—ini istilah lazim di kampung. Tapi Serel bisa menjabarkannya dalam geografi-konkrit,”Kawasan ini terletak paling tengah, antara Tapan dan Padang, kebetulan kita berhenti di sini juga untuk urusan Sumatera Tengah,” katanya padaku suatu kali. Klop lagi!
Pada libur sekolah atau hari Minggu, saya memang sering ikut Bus Budi Jaya, ke Padang atau Muarosakai, baik dengan ikut bergelantungan di pintu saat bus penuh atau duduk di dalam saat bus kosong. Dan untuk itu saya dapat izin dari sopir bus, Da Edi dan Pak Mua, serta “bigbos” sendiri, Pak Gaek Sani.
Sebuah cerpen: Perjalanan yang sia-sia
Ada dua lapau nasi gadang (lapau utama) di kawasan “Sumatera Tengah” ini. Satu di Sungai Nipah persis di tepi sebatang sungai kecil tak jauh dari penurunan Bukit Pulai. Bangunan lapau ini tak terlalu besar, halamannya juga tak terlalu luas, tapi makanan yang terhidang selalu hangat-hangat. Satu lagi di Teluk Betung dengan bangunan lebih besar dan permanen, halaman luas lengkap dengan toko oleh-oleh. Kamar mandinya banyak, mushala dekat dapur dan kolah airnya melimpah jernih. Ada ikan besar-besar di dalamnya.
Tak jauh dari situ, persis dekat tikungan, ada satu lapau nasi lagi tapi entah kenapa seperti khusus untuk sopir truk. Kata orang-orang, makan di lapau langganan sopir truk jauh lebih enak karena konon selera sopir truk lebih teruji. Entah benar entah tidak.
Sebuah cerpen: Samsul dan Samsir
Yang khas dari setiap lapau nasi adalah keberadaan kompresor atau tambal ban, sebab kesempatan berhenti yang berkisar hampir setengah jam itu sekalian digunakan kernet menambah angin, menambal ban serep atau memeriksa sekrup dan baut. Bunyi dentang besi pembuka ban di atas batu di halaman lapau nasi terasa menggetarkan hati. Karena itu, kernet selalu makan paling akhir, kadang dengan tangan hitam bekas gomok, ia akan menyuap dengan lahap dan sering menyalip Pak Sopir yang makan berlambat-lambat.
Hal-hal seperti ini merekat kenangan di hati banyak orang. Apalagi bagiku, karena dalam usia masih berpakaian putih-biru, saya pernah masuk ke “lingkaran dalam” melalui kru bus Budi Jaya. Dan ingatan itu tak pernah mati sekalipun saya naik bus sendirian saat bersekolah di Painan dan tinggal sebentar di Kota Padang. Lapau nasi itu terasa masih tegak menyapa sampai kini.
Baca juga: Resensi Buku “Cara Tuhan untuk Memperingatkan Umatnya”
Hampir setiap daerah memiliki persinggungan yang khas dengan moda transportasi umum dan tempat pemberhentian publik. Apa yang saya ceritakan sedikit mewakili situasi Pesisir Selatan dengan bus-bus yang melaju dan lapau nasi tempat berhenti.
Syaifuddin Gani di facebooknya (9 Juni 2019) menceritakan hubungan batinnya dengan warung makan Tumonga. Warung legendaris ini terletak di ruas jalan Mambi-Polewali, dulu Sulawesi Selatan, kini Sulawesi Barat. Berada di atas bukit di tengah hutan, jalan buruk dan berlumpur, membuat lokasinya dianggap tepat: titik saat penumpang berada di puncak lapar. Kendaraan umum adalah hardtop bermuatan 7-9—di belakang diberi gandengan barang. Moda ini dipilih karena medan jalan yang berat, sehingga tak ubahnya naik kuda. Tahun 2010-an saja saat saya sempat ke sana, jalan ke Mambi masih binasa, apalagi tahun-tahun sebelumnya.
Sebuah Puisi: Ku Sitir
Esha Tegar Putra membagikan postingan Pasbana.com (27 Februari 2020) tentang rasa kehilangan masyarakat atas ditutupnya Bofet Gumarang. Bofet ini menyimpan banyak kenangan masyarakat Padang Panjang, Batipuh, X Koto dan sekitarnya. Tapi saya tak tahu apakah kenangan itu menyangkut bus-bus yang berhenti atau hanya destinasi kuliner bersejarah.
Yang jelas, lapau nasi legendaris banyak terkait dengan jalur transportasi umum. Ada lapau nasi di kawasan Rantau Barangin di jalur Padang-Pekanbaru. Lapau nasi kawasan Sako di jalur Padang-Sungaipenuh. Begitu pula dalam perjalanan jarak jauh, perantau Minang akrab dengan lapau nasi Umega Gunung Medan, atau Rumah Makan Taruko Jaya di Lampung Utara dan Rumah Makan Siang Malam di Enim.
Ini juga berlaku di Pulau Jawa. Ada rumah makan Duta di Ngawi, tempat berhenti bus-bus Yogya-Surabaya dan Bali. Lebih ke timur ada beberapa rumah makan perhentian di Pasir Putih Situbondo. Ada pun ke barat titik perhentian terdapat di Kebumen atau Cirebon. Namun titik-titik pemberhentian ini mulai terancam, sebagian malah ditinggalkan—seperti rumah makan di Pantura—karena keberadaan jalan tol! Ironi yang banyak tersua dalam catatan perjalanan seorang busmania, Kyai M. Faizi Al-Annuqayah.
Baca juga: Serumpun Puisi di Bulan Ramadhan dari Apriwanto
Ya, seiring laju waktu, banyak yang bergeser atau hilang. Moda transportasi umum di daerah saya bukan lagi bus, tapi beralih ke oto travel berupa mobil pribadi (umumnya plat hitam). Moda ini bisa antar-jemput langsung ke penutu rumah penumpang. Lebih cepat, termasuk waktu berhenti di lapau nasi hanya sebentar. Bus-bus tersingkir, setali tiga uang dengan lenyapnya Terminal Lintas Andalas. Terminal paling ramai dan semarak dulunya—karena berdampingan dengan Pasar Raya—kini berganti mall sehingga jadilah Padang, kota asal perantau terbesar di Nusantara itu menjadi satu-satunya kota di dunia tanpa terminal bus!
Efeknya juga ke lapau nasi. Bentuk interaksi bergeser dari simbiosis-mutualism menjadi sekadar jual-beli. Sopir travel bisa ganti-ganti lapau nasi, sesuai request penumpang, atau ia berhenti dulu sebentar mengintip menu di balik kaca, jika cocok berhenti, jika tidak cari lapau lain. Pada masa bus, “keluwesan” semacam ini tidak ada. Baik penumpang maupun sopir travel tentu saja sama-sama membayar bila makan, sebab memang jumlah penumpang travel jauh lebih sedikit dibanding penumpang bus. Penumpang bus rata-rata bisa belanja antara 15-20 orang, sedang penumpang travel hanya antara 3-5 orang.
Sebuah puisi: Masih untukmu
Kenyataan ini membuat lapau nasi legendaris di masa lalu kini ditinggalkan, jadi tinggal kenangan. Selain Bufet Gumarang yang tutup, warung Tumonga seperti diceritakan Syaifuddin Gani, tutup lebih awal. Pun warung-warung makan di Pantura Jawa. Pada masa murahnya tiket pesawat, rumah makan di Jalan Lintas Sumatera juga sempat goyang karena penumpang beralih ke pesawat.
Di jalur Padang-Pasisie, kondisinya juga berubah. Bangunan lapau nasi dengan hidangan “hangat-hangat” di Sungai Nipah kini tinggal rangka. Sesekali pulang kampung dan lewat di sini, saya akan mencuri-lihat bekas lapau terenak itu, dengan dada berdegup dan perut menggeletar. Namun syukurlah, di depannya kini berdiri lapau nasi lain yang disinggahi oto travel. Lapau nasi di Teluk Betung sempurna tutup. Jendela, kaca-kaca serta etalasenya yang dulu menantang selera, menebal sawang dan debu. Tapi warung langganan truk di tikungan itu masih buka meski terkesan mengantuk.
Lalu antara Bukit Patambuhan dan Bukit Batu Biawak berdiri sebuah lapau nasi dengan pemandangan indah ke laut. Menu andalannya rendang lokan. Di depannya tertulis “cabang Aceh-Minang”. Kalau pemiliknya orang yang sama di Indrapura, alhamdulillah. Mereka suami istri yang pernah lama merantau di Aceh.
Sementara itu di Sago, ada pula rumah makan besar yang tampak lebih menyerupai restoran. Di kawasan perbatasan, seperti Kayu Gadang, Siguntur dan Sibingkeh, warung-warung masih bertahan, sebagian dari sisa “laskar” tahun 90-an, sebagian tumbuh warung-warung baru.
Ke arah selatan, di Bukit Pulai ada setidaknya dua lapau nasi, tempat yang dulu sepi kini jadi tempat bagus buat berhenti. Di sepanjang Bukit Taratak, Sutera, berderet lapau nasi namun lebih sebagai lapau nasi keluarga, dalam arti tak disinggahi angkutan umum. Di Pasir Putih, Kambang, ada warung nasi enak dengan harga murah. Sementara di Bukit Jaring Punai, Balaiselasa dulu sempat ada sebuah lapau nasi yang ramai, kini tinggal terbengkalai. Kawasan Sako di Tapan, masih hidup dengan lapau nasi, mungkin karena ini jalur “berat” ke arah Kerinci, di mana harus menempuh perjalanan dalam hutan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Dari pengalaman dan sekilas amatan, saya melihat bahwa lapau nasi di jalur Padang-Pasisie kebanyakan bertahan sampai generasi kedua, setelah itu mulai redup. Penyebabnya bisa soal regenerasi yang kurang minat serta menejemen yang lebih berupa menejemen keluarga, bukan profesional. Tapi persoalannya bisa pula modal, persaingan, serta berubahnya moda transportasi sementara pemilik lapau tak siap menyesuaikan diri.
Namun di sisi lain, ada pula hikmahnya pergantian moda transportasi ini. Lokasi pertumbuhan rumah makan jadi merata di hampir setiap kecamatan, tak lagi terfokus pada “titik lelah, perbatasan dan pangkalan” karena memang ketiga hal itu tak lagi berlaku atau berlaku relatif. Titik lelah misalnya, tak selalu di Teluk Betung, namun menyebar sesuai dari mana sebuah oto travel berangkat. Orang juga tak perlu lagi bermalam di perbatasan sebab ke Kota Padang sekarang bisa “berbalik hari”.
Begitu pula pangkalan, oto travel biasanya milik pribadi, tak perlu agen yang ribet seperti pada PO bus, sehingga parkirnya, ya, langsung di rumah masing-masing. Hal ini membuka kesempatan bagi setiap orang yang berminat untuk membuka lapau nasi, dalam persaingan yang sehat, bebas dari ikatan kerjasama yang dulu boleh jadi berbau monopoli.
Di tengah situasi itu, saya kira dinas terkait di Kabupaten Pesisir Selatan bisa memainkan peran signifikan, mulai mendata dan menata lapau nasi itu secara layak, mengatur standar harga, memberi pelatihan tertentu, dan tak kalah penting mengalokasikan permodalan yang bisa menyuntikkan stamina bagi pengelola lapau nasi. Begitulah.
Raudal Tanjung Banua, sastrawan asal Pesisir Selatan, tinggal di Yogyakarta