|
Di lapak-lapak pasar yang kosong, orang-orang menyisakan onggokan kemiskinan; di jual murah tak laku, dijual mahal pun malu. Bahkan, langau hijau pun enggan menawar penyakit kampanye musiman, mereka sangat paham penawar apa yang dijajakan.
Baca juga: Rabab Pasisia
Beberapa orang perantau bahondoh-hondoh pulang kampung membawa bingkisan kapuk usang. Bukan untuk bantal, melainkan pindahan setelah galeh tekor di negeri seberang dan membawa ota kemakmuran kepada tanah dan tapian mandi; rumput kering manggut-manggut sambil menghirup sepi-sepoi perkampungan nan mulai ramai. Sebentar lagi baralek, ini sudah memasuki tahun ke lima setelah buyuang Sunguik pulang kampung. Entah siapa lagi yang akan bertandang.
Si Gapuak membawa pancing keliling pantai, batu akik Limau Manih Ujuang Tanjung di tangannya pemberian datuak Lelang tidak pernah lepas di jarinya. Sudah tiga tahun ini dipakai dan selalu berbuah manis sebelum masak.
Baca juga: Bus dan Lapau Nasi
Sepanjang pantai, kail dilempar kian-ke mari untuk mendapatkan Gabua, istrinya yang dari rantau sebelah teragak gulai kapalo ikan karang. Sayang, yang didapat hanyalah siluang; mungkuih aluih pun tak singgah di nasibnya. Berulang kali, setiap umpan itu habis, Limau Manih di tangannya ditatap gelisah “ndak mangkuih baok ka kampuang!” geramnya.
Suatu hari, patang Kamih-malam Jumat diintainya untuk berkunjung ke rumah datuak Lelang dengan membawa kopi dan timbakau yang dibelinya di balai Kamih. Lapak-lapak di pasar masih kosong dan disaksikannya orang-orang mengonggok kemiskinan. “entah apa saja yang dikerjakan si Sunguik!” gumamnya menggerutu. Tapi dia takut pula untuk menawarkan kampanye, sebab langau hijau telah lebih dulu memborong penyakit musiman; ota lapau di media sosial. Berang di hatinya ditahan. Bagaimana pun, si Gapuak butuh langau hijau untuk sekedar mendesing tengah hari.
Di rumah datuak Lelang, diceritakannya semua kisah siluang yang terperangkap di mata kailnya dan langau hijau yang memborong penyakit di pasar-pasar. Sedangkan gabua pesanan istrinya yang berkebaya singkat tidak kunjung jua didapati. Entah kail yang tak tahu diuntung atau salah umpan dalam melempar. Semua menjadi keluhan penawar kopi datuak Lelang.
Baca juga: Aku Sampaikan Melalui Tulisan
Pergilah ke Ujuang Tanjuang, tepat di pintu muaranya kau tanamlah niat tiga pucuk :
1. Ayam darah hitam
2. Limau tujuh ragam
3. Siriah batamu rueh
Kata datuak Lelang sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Si Gapuak lemas mendengar niat tiga pucuk yang sebenarnya sangat mudah didapatinya, tinggal menyuruh langau hijau mencarinya di media sosial, di sana banyak yang jual secara online, yang membuat berat adalah si Gapuak takut kalau saja langau hijau menceritakan permintakannya kepada si Sunguik dan akan menjadi penghalan pancingannya. Tapi, apa yang dipikirkannya tidak diungkapkannya kepada datuak Lelang, ia pun takut.
Baca juga: Membeli Beras, Bentuk Parasaian Hidup
Sepanjang jalan pulang, si Gapuak teringat galehnya yang tekor di perantauan,masih ada beberapa potong ucapan yang belum terjual. Telfon genggam di sakunya berdering, motor tua pemberian almarhum bapaknya diberhentikan dengan rem yang hampir menyentuh kotoran sapi di tengah jalan.
“Duh. Kontrakan rumah.” katanya yang tidak menjawab panggilan itu dan memasukkan kembali ke sakunya. Sebuah motor berhenti tepat di sampingnya; langau hijau menyapa ramah dan menanyakan apa yang harus di beli di balai Sabtu untuk bekal ota di media sosial. Gapuak langsung garuk kepala, sampai kopiah di kepalanya hampir jatuh.
Sulthan Indra, penulis kelahiran 1982, asal Air Haji, Pesisir Selatan, Sumbar. Beberapa tulisan puisinya pernah mengisi media-media masa dan aktif memberi pelatihan kepenulisan di beberapa wilayah baik Sumbar maupun di luar Sumbar.