|
Ilustrasi : Bandasapuluah/Riri Tri Utami
|
Siang yang mujur bagi Leman,tidak terlalu lama bermandi terik di tepi jalan. Dia bersicepat menaiki angkutan desa yang penuh sesak berisi karung gabah. Tampaknya kampung sebelah sedang musim panen, tidak biasanya angkutan desa bergandeng jalan. Apalagi di siang yang terik seperti ini, angkutan desa sering lewat setiap satu jam bahkan lebih. Leman tampak berhati-hati dengan map bawaannya, isi map ini akan menjadi penyambung pendidikan di kota. Baju kameja andalan Leman tampak basah di bagian ketiak, sebau dengan orang yang bersempitan dalam angkutan desa.
Perjalanan terasa lebih jauh, belokan demi belokan menuruni bukit berdebu. Bau minyak rem angkutan desa menyengat, membuat rasa mual menyesak cepat ke tenggorokan. Ditambah bunyi dari mulut wanita tua disamping Leman, mukanya hampir tidak tampak karena menakur ke dalam kantong plastik. Sepertinya makanan siang di sawah sudah keluar separuh, atau mungkin sudah semuanya. Wanita tua itu tidak berhenti meletakkan wajah dalam kantong plastik itu, sejak Leman memasuki angkutan desa.
“Kiri pak supir” Leman langsung menghambur dari dalam angkutan desa, tangan kanannya bersegera mengeluarkan uang recehan dari saku kameja. Tidak berapa detik, angkutan desa itu berlalu dari hadapan Leman. Dia masuk tergesa ke halaman balai desa, sampai di teras balai hansip lansung mencegat badan setengah basahnya. Leman tidak sadar kalau masih tengah hari, seperti biasa pegawai balai desa sedang istirahat makan siang. Begitu kata hansip yang mencegat kedatangan Leman.
“Sampai jam berapa pak?”
“Kalau kamu sedang mujur sepertinya sampai jam satu, kalau sial bisa jadi sampai jam dua”
Jawaban hansip itu membuat Leman lemas bukan kepalang, dia menjatuhkan badan ke kursi yang ada di teras balai desa. Memegang perut dengan kedua tangan, mengisyaratkan penyesalan. Karena terburu-buru dari rumah, Leman jadi lupa makan siang. Tangan kanan merogoh kocek kameja bagian kanan, jari asik menghitung lembar demi lembar uang yang tersisa. Muka leman tampak setengah pucat, karena menahan permintaan lambung.
Apa mau dikata, kalau uang dalam saku ini dipakai membeli nasi. Leman takut urusan surat menyurat ini tidak berjalan lancar, biasanya akan selalu ada ongkos untuk pembuatan surat di balai desa. Tapi nominalnya tidak berketentuan, kalau sedang mujur bisa hanya membayar uang fotokopi saja. Tidak ada pilihan lain siang ini, terpaksa perut menunggu urusan surat ini selesai terlebih dahulu.
Leman menyulut sebatang rokok, mungkin bisa pengganjal perut pikirnya. Belum habis setengah batang, tampak dari gerbang Saril dan sepeda motor menuju parkiran balai desa. Hati Leman sedikit lega, setidaknya ada teman untuk berbincang sambil menunggu pegawai balai desa bekerja kembali. Seperti dugaannya, Saril lansung menghampiri. Menarik satu kursi plastik, seperti yang diduduki Leman. Saril menyapa Leman dengan nada bersahabat, mungkin saja biar kelihatan akrab oleh hansip yang berdiri mematung didepan pintu balai desa itu.
“sepertinya tidak ada kata capek ya” ucap Saril setengah berbisik, memonyongkan mulut ke arah hansip mematung. Saril mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku celana bagian depan, menyulut sebatang rokok dan mengepulkan asap ke langit teras. Hansip hanya melirik dua pemuda itu, mungkin saja dia mendengar celaan Saril. Atau hanya sekedar memastikan kalau mereka memang akrab, entahlah. Saril membuka resleting tas, mengeluarkan map dengan warna yang sama dengan punya Leman. Perbincangan mereka mulai mengarah kepada tujuan, ternyata mereka memiliki maksud yang sama.
“Kita Sama pengemis bantuan” Saril menengok ke wajah Leman. Leman hanya mengangguk, sambil berpikir. Kenapa Saril juga rela menjadi pengemis, sementara dari yang tampak dia termasuk dari keluarga yang berada. Pergi kuliah di bekali sepeda motor, di kota uang belanjanya kelihatan cukup. Memang Leman tidak sering jumpa Saril kalau di kota, beberapa kali mereka bertemu di rapat himpunan mahasiswa yang berasal dari desa mereka. Perbincangan mereka usai oleh kedatangan sekretaris balai desa, dia meminta Saril masuk ke dalam ruangannya. Leman sedikit terganggu dengan perlakuan demikian, tapi dia mencoba menenangkan diri sendiri. Matanya melihat hansip yang masih berdiri tegak di samping pintu balai desa, mungkin dia juga ingin menguatkan hatinya sepeerti pekerjaan hansip itu.
Selang berapa menit, Saril keluar dari balai desa. Dia berpamitan pada Leman, mungkin biar kelihatan sangat akrab oleh hansip. Leman lansung bergegas masuk kedalam Ruang sekretaris Desa, karena bunyi perutnya tidak bisa di ajak kompromi lagi. Sambil berdiri tidak jauh dari bangku tamu ruang sekretaris desa, Leman mengucap salam. Matap sekretaris desa tajam memandang Leman, kumisnya hitam pekat hampir menutupi bibir bagian atas.
“Ada keperluan apa saudara memasuki ruangan kerja saya” nada sekretaris desa lunak, tapi matanya menatap keras. Nyali Leman menciut, dia tidak pernah mengurus surat menyurat sebelumnya ke balai desa. Dengan sisa keberanian Leman mengutarakan tujuan kedatangannya, tangannya gugup bukan kepalang. Sekretaris desa tidak melihat pada map di tangan Leman, dia menyuruh Leman kembali ke luar ruangan dan mengikuti alur pengurusan yang sudah ditetapkan di balai desa. Kecewa dan rasa lapar dibawa keluar dengan sigap, leman takut nanti sekretaris desa murka, sehingga celaka akan datang kepada urusannya.
Leman kembali ke teras dan bertanya tentang alur pengurusan surat keterangan kurang mampu kepada hansip, hansip tidak bicara, hanya menunjuk ke arah dinding teras. Langkah dan prasyarat sudah tertulis dengan gamblang, lengkap dengan gambar orang beserta panah alurnya.
“Berarti saya masih harus menunggu pegawai lengkap pak” nada bicara Leman sudah layu. Perut masih riuh tidak karuan bunyinya. Hansip hanya mengangguk, dia tetap berbisu ketika ditanya Leman. Leman kembali duduk dengan perasaan yang gusar, entah kepada siapa harus dialamatkan. Mencoba kembali menenagkan diri, Leman menawarkan sebatang rokok pada hansip. Hansip melirik sekeliling, menengok ke dalam ruangang. Dia lansung berjalan duduk disamping leman, dengan sigap mengambil sebatang rokok dan menyulutnya tergesa gesa. Duduk hansip tidak tenang, matanya liar melihat sekeliling.
“Sudah lama kerja disini pak” Leman memulai pembicaraan dengan sangat lembut, hansip hanya mengangguk. Leman masih penasaran dengan Saril yang tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan urusannya, dia mengulik-ngulik hansip dengan berapa pertanyaan.
Awalnya hansip bersikap tertutup, lama kelamaan Leman berhasil memancing hansip dengan candaan santai.
“Jadi kamu tidak akrab dengan anak tadi,” Leman hanya menggeleng meniru gaya hansip.
“hanya kenal pak, tidak akrab”
“satu kampus?”
“tidak, tapi kuliah masih di kota yang sama. Sering bertemu di organisasi mahasiswa desa ini kalau sedang rapat di kota”
“mengurus surat yang sama bukan?” kembali Leman hanya mengangguk. Hansip menceritakan latar keluarga Saril, ternyata dia anak kepala kampung. Itu setara dengan RW kalau di kota. Tapi kenapa dia juga mengurus surat kurang keterangan kurang mampu, hansip hanya tertawa mendengar Leman.
“Banyak orang yang kurang mampu di desa ini, tapi mereka kaya” Leman termenung mendengar pernyataan hansip, sambil mengisap batang rokok yang entah keberapa dia berpikir hebat. Mencari makna perkataan hansip, hansip hanya menyela dengan sindiran mahasiswa sekarang banyak yang tidak belajar kata tersirat.
“Mungkin saja pria tadi kurang mampu jujur pada dirinya, kalau sebenarnya secara harta dia mampu untuk membiayai pendidikan.” Setelah perkataan itu hansip bersegera membuang puntung rokoknya dan kembali mematung di samping pintu balai desa.
Dari gerbang balai desa terlihat sekumpulan orang berbaju seragam berjalan santai sambil tertawa kecil, berlalu masuk ruangan balai desa. Hansip menggelengkan kepala diikuti monyong mulut ke dalam ruangan, sepertinya dia memberi isyarat sudah waktunya Leman masuk dan mengikuti alur yang sudah dia lihat di dinding balai desa.
Tapi Leman masih tertegun sambil menghisap sisa rokok yang sudah di bakar, dia masih terpikir perbincangan dengan hansip tadi. Dia berpikir Saril adalah pria yang tidak mampu jujur kepada dirinya sendiri, memang banyak orang seperti itu di desa ini. Ketika banyak bantuan datang, untuk keluarga kurang mampu. Maka mereka akan datang mengemis dengan baju yang bersih, ada juga ibu-ibu yang datang dengan perhiasan emas yang mencolok. Mereka akan menghinakan diri mereka di depan petugas pendataan, lebih hina dari orang yang miskin harta sekalipun.
“sepertinya mereka itu memang miskin secara nurani,” begitu pikir Leman. Dia membuang puntung rokok kedalam tong sampah, mulai mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk menjalankan alur yang tergambar di dinding balai desa. Sepertinya akan banyak rintangan yang ditemui nanti, beranjak dari meja yang satu ke meja yang lain. Tapi bagi Leman hanya ini pilihan terbaik untuk memperlancar pendidikan, apapun resiko yang ditemui harus di nikmati dan dijalani. Langkah leman gontai berjalan ke dalam ruangan balai desa, harapan masih berada pada kelancaran urusan surat keterangan kurang mampu. Walaupun sebenarnya dalam hati, Leman masih belum menemukan jawaban apakah dia orang golongan keluarga mampu, kurang mampu, atau justru tidak mampu.
Penulis. Rori Maidi Rusji. Lahir di Muaro Paiti Kab. Limapuluh kota, sekarang aktif bersama komunitas mampir dongeng padang. Dapat ditemui di instagram @roriaroka dan FB. Rori Aroka Roesdji.