Dalam ingatan samar saya, bila menyebut bentangan titik pasar dari Tarusan hingga Tapan (utara-selatan), muncul beberapa nama balai. Itu karena saya punya persinggungan langsung maupun tak langsung dengannya, sekalipun tak mungkin mengalahkan persinggungan mendalam saya dengan Pasar Surantih.
Pasar Tarusan misalnya, saya ingat karena rangkaian pasar besar terakhir bila saya berangkat dari kampung ke Kota Padang. Bus akan melambat di sana. Pasar ini anggun dengan bangunan bagonjongnya, pelatarannya luas dan lumayan tertata, seolah menunjukkan ia sudah dekat dengan kota. Sementara Pasarbaru Bayang saya ingat karena letaknya agak ke dalam, sehingga tak pernah menimbulkan macet; dari pasar itulah orang-orang sepanjang hiliran Batang Bayang berkumpul, kalau tak salah, tiap Sabtu.
Bahkan ada pasar yang sudah lama tutup, tapi tetap terbuka dalam hati saya. Itulah Balai Lamo Salido. Balai ini ditutup sejak ada Pasar Inpres Painan yang buka tiap hari—atau lebih awal lagi. Los-los, toko dan warung makan masih berdiri. Waktu saya sekolah di SMAN 1 Painan dan kost di Salido, Balai Lamo jadi tempat mangkal malam mingguan. Para pedagang kacang goreng berderet di pinutu losnya diterangi lampu minyak tanah yang diberi plastik warna-warni penghalang angin. Unik, rasanya ingin melihatnya lagi.
Pasar Batangkapas yang terkenal dengan kue panukuik-nya, saya kunjungi untuk dua kepentingan sekaligus; belanja dan “urusan kantor”. Yang saya maksud adalah kantor pos atau kantor camat, sebab dulu kampung saya masuk Kecamatan Batangkapas sehingga urusan administrasif atau berkirim surat kami harus ke kota kecamatan. Kebetulan hari balai Batangkapas hari Senin, hari yang pas untuk urusan formal.
Kemudian Pasar Taluk tiap Rabu, tak mungkin saya lupa. Letaknya dekat dari SMPN Taluk tempat saya bersekolah. Saat pulang atau keluar main, kami ke situ sekedar membeli bika dan cuci mata. Kalau ada uang lebih, bolehlah masuk ke kedai martabak, sebagaimana sering dilakukan Si Jon, kawan kami yang banyak uang jajannya. Tapi saya dan Armen Syafni, cukup puas mengudap bika Taluk yang terkenal itu. Pasar ini sebenarnya punya “mudik” juga: Koto Panjang, Koto Kaduduak dan Koto Kandis. Tapi mudik-nya tak terlalu luas, jadi keramaiannya juga terbatas. Selain itu, pasar ini tempat menjual alat-alat pertanian dan obat-obatan tanaman. Ibu saya, waktu tinggal di ladang Pendakian, menjadikan Pasar Taluk sebagai hari balainya.
Sampai di mana kekuatan dan denyut pasar-pasar itu sekarang, sudah lama tak saya rasakan langsung. Akan tetapi, jika sesekali pulang kampung, sempat juga saya bertemu dengan hari yang dulu dinanti-nanti. Suasananya tentu sudah beda. Rasa haru dan takjub mulai mereda dan jinak. Justru muncul pikiran, kenapa pasar-pasar itu tak berubah?
Fisiknya begitu saja. Beberapa pasar memang sudah ditata sebagaimana pasar rakyat di Jawa. Pasar Tarusan, Pasar Kambang dan Pasar Balaiselasa saya lihat sudah menggunakan bangunan besar. Namun sebagian besar masih merana. Lokasi sempit, tanpa penataan, los tua, pelataran becek, dan yang paling mengganggu adalah tumpukan sampah, kambing bahkan sapi bebas melenggang pada hari alang, kotorannya berleak-leak di pelataran (adakah petugas kebersihan?).
Pasar Surantih, pasar kebanggaan yang telah menciptakan dunia ajaib di masa kecil saya, tak luput dari kesedihan. Los tak bertambah dan menua, bangunan tinggal dibiarkan terlantar, misalnya bekas kantor Polsek Sutera. Sampah berserak di mana-mana, menggunung di tengah pasar (adakah tong sampah?), dan jika hari balai macetnya parah.
Satu-satunya “terobosan” adalah mengalihkan arus lalu-lintas ke jalan belakang, hal yang hanya mungkin sementara. Sebab jalan belakang itu kecil dan aspalnya tak sekuat jalan utama. Harus segera dipikirkan solusinya. Saya sempat dengar rencana pemindahan pasar ke Padang Api-Api (bekas pasar lama). Alih-alih berlangsung, malahan terdengar pasar sekarang akan dibuatkan bangunan baru. Ada anggapan warga menolak pasar dipindahkan. Itu asumsi. Jika dibicarakan baik-baik dengan warga dan pihak terkait pasti bisa. Ketahuilah, pasar yang sekarang dulu juga pernah di Koto Panjang yang hari balainya Selasa, kemudian pindah ke Kayu Gadang dengan balai Hari Sabtu (lihat Almasri Syamsi & Riri Fahlen, 2007: 82). Sumbarfokus menulis bahwa ada anggaran sebesar 2,8 miliar untuk membangun Pasar Surantih. Pasar akan dibuat dua tingkat, bagian bawah untuk berjual-beli, bagian atas untuk shelter evakuasi tsunami (semoga tak terjadi).
Hal yang banyak berubah adalah bertumbuhnya toko-toko di sekitar Pasar Surantih. Dulu toko bisa dihitung dengan jari. Studio Foto Kia, toko emas Haji Syamsi, toko Bang Iril-Bidan Eva dan toko kain Katik Tabuang, itu antara lain yang mencolok. Sekarang toko berderet dari jembatan sampai ke Sungai Sirah dan perbatasan Alai. Semua menyediakan barang-barang mulai sembako hingga peralatan elektronik. Di satu sisi menggembirakan karena orang punya “pasar”-nya sendiri, tanpa harus berdesakan di tempat becek. Tapi di sisi lain, pasar tradisional dengan tradisi tawar-menawar boleh jadi akan terdesak.
Inikah zaman yang ditandai lirih tembang Jawa,”Pasar hilang kumandange?”
Dalam falsafah Jawa, pasar merupakan tempat menandai denyut kehidupan. Pertanda denyut itu ada ialah terbukanya tawar-menawar, dialog antara pembeli dan penjual, dan itu bukan hanya bernilai transaksi, juga interaksi. Kumandange suara-suara tak perlu amplikasi gembar-gembor, namun dari laku keseharian. Dan ketika banyak pasar tradisional di Jawa bergeser menjadi sekedar tempat transaksi, sekaligus ia pun senyap, hilang kumandang. Apalagi ia dibombardir oleh pasar-pasar modern bernama toko berjejaring besar, swalayan dan mall. Kumandange itu perlahan surut padam.
Tradisi hari balai dan pasarnya, boleh dikatakan khas Nusantara. Tradisi merayakan pasar berdasarkan kalender masing-masing ada di mana-mana. Karenanya banyak nama tempat di negeri kita merujuk nama pekan atau pasar, sebut saja Peken Senin, Pasar Tanah Merah, Pasar Sinayan, Pasar Seluma, atau Denpasar (pura di utara pasar).
Di Jawa tradisi pasar termasuk kompleks. Pasar biasa dibuka di bawah kerindangan pohon beringin dengan hari pasaran berdasarkan penanggalan Jawa. Pada hari itu bukan hanya tingkat keramaian mencapai puncak, juga ada penjualan khusus, mulai bibit tanaman, burung, perkakas sampai hewan. Pada pasaran Kliwon, datanglah ke Pasar Bantul, itu hari baik buat mencari bibit tanaman. Saya sering disarankan tetangga untuk datang pada pasaran Kliwon mencari bibit mangga, sawo dan rambutan buat ditanam di pekarangan. Katanya, bibitnya unggul, terpilih dan juga berkah.
Pasar Kotagede dirayakan pada pasaran Legi. Tiap hari Legi, banyak dijual perkakas rumah tangga dari besi, tanaman hias dan obat herbal. Pasar Tlagareja, Gamping, hari pasarannya Wage dengan jualan khusus aneka burung. Pasar Godean pasarannya Pon, Sleman Pahing, dan seterusnya. (Diatami Muftiarini, Warga Jogja, 12 Juni 2017).
Alhasil, banyak orang punya persentuhan emosional dengan pasar tradisional. Ahmad Muhli Junaidi yang tinggal di Sumenep Madura, di akun facebook-nya memosting tentang “Pasar Kalapayan, Nasibmu Kini” (25 Mei 2020). Menurutnya, sebelum jalan penghubung Desa Montorna, Labbang Barat dan Sanah Tengah beraspal, Pasar Kalapayan sangat ramai. Hari pasarannya Senin dan Kemis. Muhli punya kenangan indah dengannya.
“Jika aku pergi ke rumah nenek di kampung Tareta Sanah Tengah, dan bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, pasti mampir di sini beli cendol atau rujak. Urusan rujak, aku tak usah bayar sebab nenekku, Nyai Marhami jualan rujak di pasar ini,” tulisnya.
Tapi apa yang terjadi? Setelah semua serba mudah—jalan diaspal, kedai belanja ada di mana-mana—pasar ini terancam mati. Para pedagang enggan datang karena pasar dibiarkan merana. Muhli menyarankan agar pasar ini dibangun permanen, dan ketiga desa di sekitarnya harus saling memiliki, dalam arti bertanggung jawab mengembalikan gema kumandang-nya. Apalagi Pasar Kalapayan notabene “berjasa” sejak zaman kolonial.
Masih dari Madura, M. Faizi dalam sebuah postingan di akun facebook-nya (sayang saya cari lagi tak ketemu) pernah mendaftar pasar di jalan lintas Madura, lengkap dengan hari pasarannya. Dengan itu ia “memperlantas” kita untuk “waspada”. Hindari jalur itu pada hari pasaran atau cari jalan alternatif jika tak ingin terjebak macet, pesannya, seperti sering terjadi di Pasar Tanah Merah, Bangkalan.
Di Minangkabau, pasar dirujuk sama pentingnya dengan gelanggang, lapau atau surau. Centeng di masa lalu bertempat di pasar, mereka yang menarik ongkos dan upeti dari pedagang, baik resmi maupun tak resmi. Bagi yang resmi ditunjuk langsung dan yang tidak beroperasi dalam siklus tahu sama tahu. Di kampung saya dulu ada pensiunan militer yang dikenal dengan namanya serem, Antu Pasa (Hantu Pasar), sebab setelah pensiun ia mendapat mandat mangkal di pasar jadi kepala “keamanan”.
“Urang bagak” (preman) dan “urang siak” (santri) bertemu di pasar dalam uji nyali. Pertarungan tak terelakkan, seperti bertemunya golongan hitam dan golongan putih. Ini digambarkan Gus tf Sakai dalam cerpen, “Pakiah dari Pariangan” (2011).
Bagaimana pasar berkembang, bisa dilihat uraian Meri Erawati, dkk. Dalam makalah untuk Seminar Internasional Pantai Barat Sumatra 19-20 November 2013 di Universitas Andalas. Ia mengkisahkan awal-mula pasar di Padang. Semula pasar terkonsentrasi di tepi Sungai (batang) Arau (pelabuhan), kemudian bergeser ke “pedalaman”. Tapi saya lebih pas menyebutnya bergeser ke “pusat” kota. Inilah yang terjadi ketika Goan Hoat dan Lie Say membangun pasar Goan Hoat dan Pasar Jawa di kawasan dekat Balaikota—yang dikenal sebagai Pasar Raya sekarang.
Mungkin karena di perkotaan (Padang kota penting abad ke-19) kepemilikan pasar diserahkan kepada pihak swasta. Paruh kedua abad ke-19, sebuah kongsi atau kelompok pedagang Cina membuka pasar yang kedua di wilayah pemukiman mereka, Kampung Cina. Setelah tempat itu terbakar mereka membuka lagi pasar baru, Pasar Tanah Kongsi.
Sementara itu, perusahaan Badu Ata & Co (dulu guru kami sering mencontohkan nama orang dengan sebutan “Badu Atai”) membuka pasarnya yang kedua di Belakang Tangsi ke arah utara, namun dilalap api juga pada tahun 1882. Segera setelah itu Gho Lam San membuka pasar baru berdekatan dengan bekas pasar terbakar milik Badu Ata & Co. Lie Say membangun pasar untuk kedua kalinya di Kampung Jawa.
Nah, ada empat pasar besar sekarang, saling bersaing: Pasar Gadang, Tanah Kongsi, Belakang Tangsi dan Kampung Jawa. Mula-mula pasar Gho Lam San di Belakang Tangsi maju pesat mengalahkan Pasar Gadang. Kemudian Pasar Gho Lam San diungguli oleh Pasar Kampung Jawa milik Lie Saay. Setelah Pasar Belakang Tangsi terbakar dua kali, daya saing Gho Lam San jadi berkurang. Kemudian dia menjual pasar itu kepada Goan Hoat. Yang menarik, Pasar Goan Hoat tekenal dengan “pasar miskin” karena menjual barang-barang murah. (Meri Erawati, Ahmad Nurhuda, Zulkifli Aziz, 2013).
Pasar di luar kota tentu memiliki riwayat dan dinamikanya sendiri. Kita ambil contoh Pasar Surantih yang bisa jadi representasi pasar lain. Almasri Syamsi dan Riri Fahlen dalam buku Alam Sati Nagari Surantih (Sejarah Asal Usul, Adat Istiadat dan Monografi Nagari Surantih) (2007), menjelaskan bahwa Nagari Surantih pernah menata wilayahnya dengan menempatkan pusat pemerintahan dan pasar sama pentingnya.
Pusat pemerintahan dibangun di Timbulun dan pasar di Padang Api-api, kini disebut Pasar Lamo. Kegiatan pasar lama berlangsung hingga tahun 1903, lalu dipindahkan ke lokasi sekarang. Pemindahan pasar dilakukan setelah Jalan Lintas Padang-Sungai Penuh selesai dibangun oleh VOC. Selain pasar tersebut, terdapat pula pasar pendamping, yakni: Pasar Lubuk Angik di Gunung Malelo, Pasar Balai Selasa di Koto Panjang dan Pasar Balai Satu di Kayu Gadang (Syamsi & Fahlen, 2007: 82).
Bagaimana suasana di Pasar Surantih dulu, dapat dilihat dari moda transportasi yang digunakan dalam aktivitas pasar. Menurut Syamsi & Fahlen (2007), untuk barang dagang dari “luar daerah” seperti Painan dan Padang menggunakan kapal—saya duga kapal juga membawa komoditi kami ke kedua kota itu. Bukan kebetulan lokasi Pasar Lamo Surantih di Padang Api-Api, di samping lokasinya luas-datar, juga persis di tepi muara. Ini memudahkan kapal menurunkan dan memuat barang. Sementara pedagang babelok (pedagang keliling) membawa dagangan mereka dengan padati atau padati lega (pedati yang diberi atap seperti rumah). Yang berjalan kaki mengunakan ogak, yakni bakul panjang yang disandang di punggung dan diberi tali penyanggah ke kepala. Apakah ada melibatkan kuda, Syamsi tak menyinggungnya.
Masyarakat Ganting Mudik, lanjut Syamsi, membawa hasil bumi dengan rakit bambu. Saya duga, ini berlaku juga bagi kampung-kampung lain di sepanjang aliran batang Surantih, terutama untuk komoditi khusus seperti karet atau hasil ladang. Buktinya, sampai tahun 90-an, masih sering dijumpai penjual bambu yang menggalah langsung bambu-bambunya dalam bentuk ikatan rakit dari kampung hulu, Langgai. Mereka berjualan di bawah jembatan panjang, sepekan menjelang Lebaran karena bambu itu akan digunakan warga untuk tradisi malamang (memasak beras ketan). Tentang ini saya pernah menulisnya dalam cerpen “Bambu-Bambu Menghilir” (2019).
Jika perkembangan sejumlah pasar di Kota Padang melibatkan pihak swasta terutama pengusaha Cina, Pasar Surantih, menurut Syamsi & Fahlen juga melibatkan pengusaha Cina. Namun sampai di mana keterlibatan tersebut, apakah semacam pemborong yang bekerjasama dengan VOC, atau memiliki sendiri pasar itu sebagaimana Goan Hoat, kita tak mendapat gambaran. Yang jelas di Surantih dulu banyak orang Cina, makam mereka masih dapat ditemukan di Alai.
Nah, mumpung menyebut Goan Hoat, saya jadi ingat Pasar Kambang sekarang. Sebagai penutup mari kita tengok pasar lain di Bandarsepuluh.
Pasar Kambang disebut Pasar Miskin. Bahkan kini menjadi nama kampung di sana. Dulu saya bertanya-tanya kenapa kok ada pasar miskin? Bertahun-tahun kemudian saya tahu bahwa pasar miskin justru menunjukkan pasar yang ramai. Ini merujuk Pasar Goan Hoat di Kota Padang yang dinamai “pasar miskin” karena menjual barang-barang murah.
Tapi saya belum tahu kenapa Pasar Batangkapas disebut Pasar Kuok. Secara harfiah “kuok” artinya kurap, tapi bisa juga menguap. Atau ada makna lain yang belum terungkap? Ini sekaligus keyakinan saya tentang banyaknya hal-hal menarik dari khazanah pasar tradisional kita—di mana saja berada—yang belum diketahui publik. Untuk itulah antara lain, kita menghormati pasar tradisional, di mana yang lama dikekalkan dan yang baru dialirkan. Di tengah ancaman rakusnya “pasar-pasar raksasa”, seharusnya kita menjaga eksistensi pasar tradisional sebagai pusaka dan suaka kolektif. Mari merayakan hari balai dan mencintai kumandangnya.