Pasar Surantih termasuk paling ramai di kawasan bekas Bandar Sepuluh. Hari balainya kejatuhan sampur pada hari Minggu atau Ahad, dan orang kampung biasa menyebut hari Akad. Pasar ramai, bukan kebetulan Minggu tanggal merah dan kami libur sekolah sehingga benar-benar terasa seperti hari raya, namun lebih karena pasar ini punya “mudiknya” sendiri.
Ya, dalam amatan saya sekarang (ini juga saya amsal pada kota-kota kecil, sebagaimana pernah saya tulis dalam cerpen “Kota Kecil Penyanggah Kota Kecil”), sebuah pasar bisa ramai jika ia memiliki “mudik” yang banyak dan potensial. Yakni, kampung-kampung di wilayah yang jauh, di kaki dan lambung bukit, dan dalam konteks Surantih, kampung-kampung di sepanjang bantaran dan hulu Sungai (Batang) Surantih. Dari Koto nan Tigo, Sianok, Kayu Gadang, Kapalo Banda, Ampalu, Kayu Aro, Batubalah hingga Langgai; dari Lubuk Batu, Sariak, Lampanjang, Sialang, Gunung Malelo sampai Salo Bukik. Ini tak terhitung kampung-kampung sepanjang jalan raya mulai Lansano, Taratak, Alai, Ampingparak dan seterusnya.
Pasar yang tidak punya “mudik” atau “mudik”-nya kecil saja biasanya tak bertahan lama, atau tetap bertahan tapi tak terlalu ramai. Misalnya, di Taratak dulu ada Pasar Kamis, tapi kemudian tutup karena Taratak tak punya “mudik-hulu”. Sementara Pasar Rabaa (Rabu) Taluak atau Pasar Rabu Ampingparak masih berjalan tapi tak terlalu ramai.
Tak kalah ramainya Pasar Batangkapas tiap Senin karena wilayahnya luas ke gunung dan pantai. Pasar Kambang tiap Sabtu, sama dengan Pasar Surantih, punya wilayah paling luas, dan karena itu di bagian “mudiknya” ada satu pasar lagi yakni Pasar Kamis Kotobaru. Juga Pasar Balai Selasa, sampai-sampai kota kecamatannya, Ranah Pesisir, bernama Balaiselasa.
Setiap kawasan punya pasar dan hari balainya sendiri, dan itu membentang di sepanjang hampir 200 km Kabupaten Pesisir Selatan. Tentu titik pasar melebihi angka tujuh, atau melebihi jumlah hari dalam sepekan, dan karenanya mau tak mau ada hari balai yang jatuh bersamaan. Tak apa, karena lokasinya berjauhan.
Dalam situs pesisirselatankab.go.id yang diakses tanggal 27 Mei 2020 pkl. 10.00, ada 13 daftar pasar tradisional di Pesisir Selatan. Yaitu: Pasar Tarusan, Pasar Baruang-Baruang Balantai, Pasar Asamkumbang, Pasar Inpres Painan, Pasar Kuok Batangkapas, Pasar Surantih, Pasar Baru Kambang, Pasar Balai Selasa, Pasar Simpang Lagan, Pasar Punggasan, Pasar Lalang Airpura, Pasar Raya Tapan dan Pasar Pagi Lunang.
Saya tidak tahu mengapa hanya 13 pasar yang “terdaftar”. Seingat saya ada banyak pasar tak tercatat seperti Pasar Sinayan Lumpo, Pasar Rabu Taluak, Pasar Ampingparak dan Pasar Kamis Kotobaru. Saya malah mendapat informasi lebih lengkap tentang pasar di Pesisir Selatan melalui media online, Sumbarfokus.com yang diakses dalam waktu hampir bersamaan. Di situ disebutkan bahwa ternyata di Kabupaten Pesisir Selatan ada 50 pasar! Rinciannya, 11 pasar kecamatan, 3 pasar serikat dan 36 pasar nagari.
Saya terhenyak. Rasanya serba salah. Jumlah 13 rasanya terlalu sedikit, 50 kok banyak bener! Tapi jika kenyataannya memang ada 50 pasar (jumlah yang tak pernah saya bayangkan), alangkah menggembirakan. Jika semuanya masih berdenyut hidup, itu potensi luar biasa yang dapat dikelola dan “dikumandangkan”. Pasar tradisional bukan hanya pusat jual-beli, juga pengumpulan komoditi, pusat ekonomi rakyat, pelestarian produk dan kuliner lawas, bahkan bisa untuk wisata. Karena itu, saya membayangkan ada koperasi pasar yang tata kelolanya bisa dirumuskan para pemangku balai.
Setali tiga uang, Bupati Pesisir Selatan, Hendrajoni juga menyatakan pembangunan pasar salah satu prioritas kepemimpinannya. Sebab menurutnya pasar merupakan lokasi perputaran uang, mampu menciptakan lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya. Ia bahkan mengalokasikan anggaran untuk membangun satu unit pasar setiap tahun (pesisirselatankab.go.id, 31 Januari 2018).
Sejauh mana realisasi “prioritas” itu, saya tak tahu. Saya malah tertarik menyusuri 50 titik pasar, sekaligus ingin tahu pengertian kategori pasar kecamatan, pasar serikat dan pasar nagari. Tapi Sumbarfokus tak menjelaskannya; sesuatu yang seharusnya bisa terjelaskan dalam situs resmi kabupaten—tapi absen.
Sumbarfokus juga melaporkan anggaran dana pasar tahun 2019 sebesar 24,7 miliar yang berasal dari kabupaten dan pusat. Dana itu dialokasikan untuk membangun 11 pasar: Pasar Batangkapas, Pasar Cupak, Pasar Kambang, Pasar Mandeh, Pasar Lumpo, Pasar Sungai Sirah Silaut, Pasar Tapan, Pasar Indrapura, Pasar Muarasakai, Pasar Balaiselasa dan Pasar Labuan. “Rata-rata menghabiskan 5 miliar,” kata Kepala Bidang Perdagangan, Koperasi, UMKM dan Industri Kabupaten Pesisir Selatan, Hendro Kurniawan.
Baiklah kalau begitu.
Halaman: