Itulah gambaran hari pasar atau hari balai di kampung saya beserta kondisi pasarnya. “Gambaran” dipotret sekitar tahun 80-an, saat usia saya yang kelahiran 1975 berkisar 5-12 tahun. Lokasinya adalah Pasar Surantih yang terletak di kenagarian Surantih, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tepat di tepi jalan Padang-Bengkulu. Pasar diramaikan setiap hari Minggu, mulai pukul 7.30, puncak keramaian pukul 10-13, menurun hingga pukul 15, untuk akhirnya perlahan tutup setelah azar menjelang magrib.
Bagi sebagian pedagang, aktivitas mereka sudah mulai sehari sebelumnya, terutama pedagang keliling dengan jualan relatif besar, misal pedagang kain atau pedagang pengumpul. Malam sebelum hari balai mereka sudah stand by di pasar, bongkar muatan, membayar tukang angkut dan tentu, preman pasar.
Pasar memang tak hanya diramaikan pedagang dari sekitar kampung atau nagari terdekat, tapi tercatat dalam agenda pedagang keliling (pedagang babelok) dari berbagai tempat. Orang dari berbagai wilayah akan berkumpul seperti menghadap sabda raja. Meski kampung kami sejatinya kampung petani, untuk beberapa hasil bumi tetap ada yang didatangkan dari luar, misal bawang perai dari Solok, cabe kecil (disebut lado jarum-penjahit) dan kopi Nur dari Kerinci. Begitu pula sebaliknya, hasil bumi kami yang sudah berada di pihak pengumpul, juga akan dibawa ke pasar lain.
Di luar hari balai, ada hari alang. Pada hari itu, penjual dan pembeli hanya dari sekitar kampung saja, paling hanya satu los yang terisi dan waktunya pun pendek. Alang itu mungkin maksudnya elang, dalam bentuk lain kadang disebut garudo, dan ini merujuk pada gambaran kelengangan yang biasa tersampaikan tukang kaba dalam pagelaran Rabab Pasisie,”Kampung lengang-sunyi seperti dihala garudo tabang.” Untuk menggambarkan Namlea, Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer pernah menggunakan sebutan ini dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu—yang ia sebut penggambaran sepi khas Melayu.
Tapi bisa juga nuansa sepi itu dari elang benaran, gambaran tengah hari, sedang bapunta bayang-bayang, bakulin elang baputa-puta. Kami memang biasa menggambarkan pasar dari berbagai amsal. Misal yang lain, untuk menggambarkan pasar lengang biasa digunakan ungkapan,”Wah, pasar seluas kuda berlari.” Kalau kuda saja kencang berlari, dapat dibayangkan bagaimana sepinya, sebab jika pasar lagi ramai, jangankan kuda, bus yang melintas pun nyaris terhenti.
Sebaliknya, bila pasar ramai orang akan berkata,”Berdengung serupa puntalan lebah,” atau “Tak lolos badan ke dalam los.” Keramaian juga ditandai dengan sedikit cerita mistik,”Serasa ada orang bunian.” Itu makhluk halus yang tak kelihatan, tapi jika suasana hiruk-pikuk, konon pertanda ada orang bunian masuk pasar.
Ramai atau sepinya pasar menjadi standar atau ukuran keadaan hidup di kampung. Kalau pasar ramai, berarti sedang baik mata pencarian; dagang laju, jual beli lancar, jagung meupih di ladang-ladang. Biasanya suasana ramai itu akan tercapai bila hasil tani yang menjadi komoditi utama bagus harganya dan ikan di laut banyak mengena. Dulu komoditi utama itu bisa cengkeh, karet dan kopra, dan sekarang tentu sawit dan gambir. Apalagi sehabis musim tuai atau padi-padi serentak panen, wah, ramainya pasar betul-betul hanya disamai dengan Lebaran. Sasak bagudincik, jalan taimpik.
Untuk hasil laut yang dijadikan standar rujukan adalah ikan tangkapan bagan (kapal mesin ukuran medium). Jika bagan mengena, pasar akan berdenyut hidup; jika paceklik atau terang bulan (saat bagan tak melaut) pasar ikut tercekik. Tapi beruntung bahwa alat tangkap nelayan di daerah kami tak semata mengandalkan bagan. Ada kapal tunduah, payang, hingga pukat. Lumayan, tetap bisa menghidupkan pasar.
Prinsipnya, musim ikan atau tidak, musim panen atau menanam, mekanisme pasar tak boleh terganggu. Faktor penentu adalah harga-harga kebutuhan pokok yang terjangkau, hasil bumi atau hasil laut stabil dan harga komoditi utama tak dibuat jatuh oleh para toke. Jika satu atau semuanya tak bersahabat, alamat pasar akan terguncang. Di sini, “Indonesia bagian dari desa saya” ala Cak Nun dapat dilihat dan dirasakan dengan sangat nyata.