Semasa saya di kampung, hari raya berlangsung tiap pekan. Setiap hari itu tiba, ibu-ibu atau amak-amak, bibi-bibi dan saudara perempuan kami, akan mengenakan baju berbeda dengan kesehariannya. Baju terbaik dari almari, menguarkan kapur barus. Mereka akan naik sepeda gayung atau menyetop bendi lalu menghilir ke pusat keramaian yang terbentang sejak pagi hingga menjelang petang, di sana, di seberang jembatan panjang Batang Surantih. Bapak-bapak boleh agak santai bekerja, atau ikut menghilir masuk ke pusat keramaian itu. Dan kami, anak-anak—saya beserta kawan-kawan seusia—akan menjadi pihak paling berbahagia, saya rasa, kebahagiaan maksimal yang pernah dialami seorang anak yang lahir di kampung kami tercinta.
Tentu, karena sepulangnya ibu nanti, kami dibawakan makanan kesukaan: lamang tapai, godok, kue mangkuak, lupis, es cincau atau martabak horas. Tak lupa mainan: balon berbunyi (talambuang oek), mobilan plastik, kapal kanso, boneka Unyil dan bagi saya sendiri paling asyik adalah gambar umbul dan komik-komik: Superman, Sunan Kalijaga, Si Buta dan Jaka Sembung hingga azab kubur. Kadang ibu membeli poster artis, digulung dibawa pulang, ditempel diam-diam di dinding. Dalam sekejap muncullah Satria Bergitar, Menggapai Matahari, Rici Ricardo atau Dina Mariana di rumah kami. Semua indah belaka.
Sesekali, sehabis terima rapor tanpa angka merah, tanda kasih, kami diajak ibu ikut bersamanya, debarnya serasa akan ke kota. Naik bendi, duduk di belakang atau muka sama saja; riang gembira, berselisih orang bersilih. Kami akan diajak berfoto sepetik dua petik di Studio Foto Kia, dan jika rezeki berlebih, ibu singgah di Toko Emas Haji Syamsi membeli segram-dua gram kalung atau cincin, meski jika paceklik, jangankan emas simpanan, subang sebelah di telinga adik pun ibu gusah.
“Hari raya” apakah itu? Itulah hari balai atau hari pekan. Yaitu hari ketika suatu tempat di masing-masing kawasan (yang terdiri dari sejumlah nagari) diramaikan dengan aktivitas transaksi, jual beli. Hari “ramai”-nya berdasarkan kesepakatan dan ketetapan bersama. Orang kampung menyebut tempat itu pasa (pasar) atau balai. Dan hari ramai itu disebut hari balai atau hari pekan. Bagi petani itu hari berjual hasil bumi. Mereka akan membawa hasil panen. Sayur-mayur, segala buah dan rempah. Mulai cabe, jagung, pisang, cengkeh, pinang, sampai jengkol dan petai.
Semua diserahkan kepada pengumpul yang akan mengecernya kembali, baik langsung di pasar itu juga, atau dibawanya berkeliling ke pasar lain. Tak jarang petani membuka lapak menjual hasil buminya sendiri. Begitu pula nelayan, peternak, penjual jasa, lalu tentu saja yang paling banyak pedagang, dan akhirnya inilah hari yang melibatkan semua orang. Pasar penuh aneka barang dan pedagang. Mulai baju beludru yang lagi trend, kutang berenda, baju tiga seribu, tukang tambal gigi, tukang arloji, penjual sirih-pinang, tembakau, rokok daun nipah, minyak sunu badak atau batu lunak, semua ada.
Secara fisik, pasar berupa tanah lapang di sebuah lokasi, ditandai los untuk berjualan. Sebelah-menyebelah ada deretan kios milik rumah-rumah sekitar. Tapi karena jumlah los terbatas sementara jumlah pedagang dan penjual jasa banyak, maka jumlah terpal yang diikatkan ke ujung bambu atau pohon jauh lebih banyak, mengepung los-los. Selalu, bukan jarang, aktivitas meluber ke jalan raya, orang di Jawa menyebutnya pasar tumpah, tapi kami tak menyebutnya apa-apa, bahkan kemacetan pun tak terpikirkan.
Nah, berjejerlah pedagang semangka menggeletakkan dagangannya di pinggir jalan, bertandan-tandan pisang di sebelahnya, penjual sandal di sebelah lagi, dan seterusnya. Dekat situ ada penjahit sepatu, penjual es kukur dan martabak horas, gerobak sate dan lontong pical. Di bagian lain ada tenda penjual obat seperti tenda pemain sirkus. Tukang obat dengan pengeras suara dikerumuni orang, terpikat janji bakal ada ular berkepala dua muncul dari dalam peti besinya. Ketika tak keluar juga, orang-orang tetap saja datang mengelilinginya sebab tahu adat permainan. Mereka hanya ingin melihat atraksi para pembantu tukang obat yang main akrobat, diiringi si tukang obat yang terus berakrobat kata-kata menyebut segala penyakit: jalawik, antu balau, panu, kurap, nambi, tukak basi, bengek, bisul, dan seterusnya. Seru.
Seseorang berkata,”Mereka tipu kita dengan janji-janji manis akan datangnya ular berkepala dua; kita tipu pula mereka dengan menonton dan mendengar cerita mereka.”
“Iya, tak ada ruginya. Bahkan jika kita beli sebotol pensilin minyak yang dijualnya,” jawab seseorang.
“Tentu. Pemain akrobatnya cantik-cantik!”
Bertahun-tahun kemudian, saya seperti menemukan adegan itu kembali dalam cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti.
Sementara di jalan, sepeda dayung, sedikit “honda” (baca: motor), kuda-bendi, mikrolet tambang balai, berdesak-desak, dan makin dramatis ketika bus atau truk minta jalan. Pelan-pelan. Biasanya pemuda kampung sengaja menyentuh dinding bus dengan ujung jari, kadang melongokkan kepala ke pintunya yang terbuka, seolah dengan itu semangatnya untuk segera pergi merantau ikut terbawa.