BANDASAPULUAH.COM – Kabupaten Pesisir Selatan adalah salah satu daerah di Sumatera Barat yang memiliki sejarah panjang, mencerminkan dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terus berkembang dari masa ke masa.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Pesisir Selatan yang sekarang berlaku seharusnya merepresentasikan sejarah yang lebih komprehensif, tidak hanya berdasarkan aspek administratif, tetapi juga peristiwa-peristiwa besar yang telah membentuk identitas daerah ini.
Hari Jadi Kabupaten (HJK) Pesisir Selatan yang diperingati setiap 15 April berdasarkan Perda Pessel Nomor 2 Tahun 1995 sudah selayaknya ditinjau ulang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Daftar Isi
Sejarah panjang daerah ini, yang jauh lebih tua dari tahun 1948, seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan tanggal peringatan yang lebih mencerminkan identitas dan perjalanan Pesisir Selatan.
Penetapan 15 April 1948 sebagai HJK didasarkan pada pembentukan Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK). Namun, sejarah mencatat bahwa daerah ini telah memiliki peran penting jauh sebelum itu.
Penetapan tanggal 15 April 1948 sebagai Hari Jadi Kabupaten Pesisir Selatan seolah menggambarkan bahwa daerah ini baru terbentuk pada masa itu, seakan-akan tidak memiliki akar sejarah yang kuat sebelum kemerdekaan Indonesia.
Padahal, Pesisir Selatan telah lama menjadi bagian dari peradaban yang kaya, dengan jejak historis yang erat terkait dengan kerajaan-kerajaan lokal, perdagangan maritim, dan peran strategis dalam perjuangan kemerdekaan.
Dengan menempatkan titik awal sejarahnya pada 1948, Pesisir Selatan terkesan sebagai daerah yang tertinggal atau bahkan “tersisih” dari perkembangan daerah lain di Sumatera Barat.
Pandangan ini bukan hanya mengaburkan realitas sejarah, tetapi juga berpotensi mengurangi kebanggaan masyarakat terhadap warisan leluhur mereka yang telah lama berkontribusi dalam peradaban Nusantara.
Sebagaimana diketahui, berbagai peristiwa besar telah terjadi di wilayah ini, termasuk perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi perdagangan asing yang dimulai sejak abad ke-17.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada lima peristiwa sejarah besar yang mencerminkan jati diri Pesisir Selatan dan bisa menjadi opsi penetapan HJK Pesisir Selatan.
9 Agustus 1621
Peristiwa penting yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 1621 adalah pernyataan penolakan tegas para pembesar kawasan Pantai Barat Sumatera (wilayah Pesisir Selatan sekarang) terhadap kekuatan asing dalam monopoli perdagangan emas, lada dan rempah lainnya.
Dari sejarah ini melahirkan profil nasionalis Sultan Adil yang sangat tegas menolak kekuatan asing (Belanda dan Inggiris).
Ketika itu dua pelabuhan berfungsi penting, pertama pelabuhan Samudrapura Indrapura disebut pelabuhan lada terbesar dan embarkasi haji, dan kedua pelabuhan Pulau Cingkuk disebut pelabuhan emas.
Kedua pelabuhan penting di kawasan Pantai Barat Sumatera ini menjadi sentra percaturan kekuatan asing dalam ekonomi perdagangan, politik dan sosial budaya lainnya.
Justru wilayah sepanjang pantai (Pesisir Selatan sekarang ini) pernah makmur berkat laut.
Pelabuhannya dapat menghidupkan dunia maritim yang menyejahterakan (baca M.B. Spalding (1899: 1, dalam Gusti Asnan, 2000: 6, lihat pula O. M. Munnick, 1912: 339, baca M. Joustra, 1923: 23-24). Warisan nilai sejarah ini dapat menjadi motives (pendorong) bagi Pesisir Selatan kembali menghidupkan kejayaan maritim yang pernah diraihnya sejak abad ke-17 itu.
7 Juni 1663
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 7 Juni 1663 adalah Perang Bayang yang sering disebut perang seabad (100 tahun). Diawali perlawanan rakyat dengan semangat nasionalis yang kuat menolak kehadiran Belanda yang membuat loji VOC pertama tahun 1662 di Pulau Cingkuk untuk kawasan (wilayah Sumatera Barat sekarang). Sekaligus menjadikan Pulau Cingkuk sebagai Residentieplaatsen (tempat kedudukan residen) setelah mendirikan loji VOC itu di sana.
Perang Bayang ini sekaligus memperkuat strategi lanjutan Sandiwara Batangkapas (1662) yang membidani Perjanjian Painan (Painan Contract, 6 Juli 1663), yang intinya tidak membuat aman Belanda dalam monopoli dagang dan praktektek kolonialisme. Mirip strategi “Nerve System” (sistim pengahancuran urat nadi). Belanda seperti hancur ditusuk dari dalam, bahkan tajua tagak-tagak (tertipu di siang bolong) dalam penerapan kebijakan dagang emas, lada dan rempah lainnya di Pantai Barat Sumatera.
Di era Groewenegen Gubernur Muda Belanda, mengambil kebijakan, memberikan kredit lunak menganjurkan bertanam lada dan melarang menanam kapas. Oleh orang Bayang kredit diambil, Belanda “dikerjain”, jangankan lada yang ditanam, malah lada yang sudah ditebas (ditebang) dan kredit dialihkan bertanam kapas yang tadi dilarang Belanda.
Apa kejadiannya, lada yang ditunggu Belanda tak datang-datang, malah kapas yang muncul di pasar dagang, berakibat buruk, tekstil Belanda numpuk di Pulau Cingkuk. Kredit menunggak, ditagih: tinggi gunung seribu janji, memang lidah tidak bertulang. Fenomena ini semakin memicu api Perang Bayang, yang sering juga disebut Perang Kapas dan atau Perang Lada.
Perang Bayang ini meletus di Bayang, diperkuat basis surau Syekh Buyung Muda Puluik-puluik, kemudian meluas ke seluruh kawasan daerah pantai barat. Lebih dahsyat perlawanan di Salido dan Batangkapas sampai ke selatan.
Disebut salah seorang pimpinan grilianya (bolak balik dari Salido, Pulau Cingkuk, Bayang, Sungai Pagu, Batangkapas lainnya) Sidi Naro yang oleh Belanda dicap sebagai Rajo Rampok (makamnya di pasar lama Batangkapas, Pasar Kuok, di samping Kantor KAN sekarang, dan ada juga yang menyebut tidak jauh dari Pulau Kareta, Pantai Carocok Painan sekarang).
Klik selanjutnya untuk melanjutkan membaca…
Penulis : Dr Yulizal Yunus Dt Rajo Bagindo dan Afrizal
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya