Perempuan selalu saja menjadi hal yang unik untuk dibicarakan. Terlebih lagi Di MinangKabau perempuan sangat di istimewakan berbeda dengan suku-suku lainnya di Indonesia. Sistem kekeluargaan di MinangKabau dihitung dari pihak perempuan(keluarga ibu) kita mengenalnya dengan istilah Matrilineal.
Dalam hal ini segala bentuk warisan diturunkan kepada pihak perempuan. Jika seorang lelaki Minang menikah, ia pindah ke rumah keluarga istrinya, bukan sebaliknya. Hal ini membuat posisi perempuan terasa istimewa betul, bukan hanya “pengikut” lelaki seperti di kebanyakan suku lain. Meskipun di Minangkabau menganut sistem keluarga matrilineal, akan tetapi sistem kekuasaannya bukanlah matriarkat, di mana perempuan memegang kendali.
Seperti kebanyakan suku lainnya, MinangKabau adalah masyarakat yang patriarkad. Posisi lelaki tetap menjadi poin penting dalam mengambil segala keputusan. Dalam suku Minang ada beberapa sebutan untuk lelaki berdasarkan perannya masing-masing. Mamak atau paman menjadi pemimpin dalam wilayah rumah tangga saparuik (satu perut, satu ibu). Datuak ialah pemimpin dalam wilayah kaumnya, yang terhitung satu nenek. Penghulu menjadi pemimpin suku (satu nenek moyang), sedangkan wali nagari adalah pemegang kekuasaan formal di nagari.
Pada masyarakat Minangkabau, wanita dikelompokkan kedalam empat tingkatan dimana tingkatan ini dikelompokkan berdasarkan ciri fisik, kematangan emosional, dan perannya di dalam masyarakat. Yang pertama adalah batino, seorang wanita yang baru lahir sampai dia menempuh masa kanak-kanak sampai sebelum akil balig.
Urutan yang kedua adalah gadih, yaitu wanita dari masa akil balig sampai masa sebelum menikah. Wanita pada urutan ketiga adalah padusi, yaitu wanita yang sudah bersuami.
Dan yang terakhir adalah parampuan, yaitu wanita yang sudah memiliki usia lanjut yang dimulai ketika dia sudah menjadi nenek dalam sebuah keluarga.
Sedangkan berdasarkan status sosialnya, sebagai seorang ibu, maka wanita disebut juga dengan mande, ande atau mandeh. Sedangkan yang dituakan diantara mereka dan ditunjuk dengan mekanisme adat, disebut juga dengan Bundo Kanduang.
Peran perempuan MinangKabau telah diatur sedemikian rupa dalam perspektif adat. Perempuan akan menjadi “Bundo Kanduang” di masa mendatang.
Bundo Kanduang adalah perkumpulan perempuan-perempuan yang paling tua pada suatu kaum. Bundo Kanduang menunjukkan posisi mulia perempuan Minangkabau dalam tatanan adat masyarakatnya. Bundo Kanduang juga merupakan penerima atau pewaris dari pusako tinggi. Tak hanya itu, Bundo Kanduang juga berperan menjaga keberlangsungan keturunan juga sebagai lambang moralitas dari masyarakatnya.
Di Minang juga ada istilah yang menyebutkan bahwa perempuan Minang merupakan limpapeh rumah gadang atau tiang utama pemegang kunci harta pusaka keluarga. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya sebagai penerus keturunan saja, Hal ini sangat sejalan dengan pernyataan bahwa perempuan Minangkabau merupakan limpapeh rumah gadang atau tiang utama dan juga sebagai kunci harta pusaka keluarga. Jika ditafsirkan perempuan Minang adalah seorang ibu.
Dialah maha guru sang anak sejak dari rahim, maka ia wajib menjadi contoh figur yang baik dalam membentuk karakter anak-anak yang dilahirkannya. Hal itu sejalan dengan falsafah Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Berdasarkan falsafah tersebut, bagi orang Minang menghormati perempuan berarti telah menjalankan perintah agama.
Dalam Islam perempuan sangat dihormati, perempuan adalah ibu yang melahirkan kita, generasi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Berdasarkan pernyataan tersebut jelaslah bahwasanya peranan perempuan di Minangkabau sangat penting bagi keturunannya. Hal ini dari zaman nenek moyang sudah diajarkan kepada perempuan Minang melalui adat istiadat sehari-hari yang sesuai dengan isi alquran dan Hadist.
Pada dasarnya seorang perempuan yang buruk hatinya serta perangainya akan melahirkan seorang anak yang akan mudah menjadi buruk pula. Namun sebaliknya perempuan yang berwatak baik akan melahirkan keturunan yang baik pula.