RUU Kerajaan Pasal 5e menawarkan pengakuan kelembagaan dan Pasal 7 ayat 2e menawarkan tentang pendataan status disyaratkan “memiliki keraton/ istana”. Syarat keraton dan istana ini perlu penyamaan persepsi dengan pemaham kebhinnekaan, bukan penyeragaman. Artinya pasal tentang mesti punya istana ini bagian kebhinnekaan, bahwa bentuk kerajaan dan pimpinan raja itu tidak sama.
Kerajaan di nagari Minangkabau tidak sama dengan kerajaan di Nusantara lainnya. Tegasnya, Raja Kerajaan dan atau Sultan Kesultanan di Minangkabau, tidak sama dengan kerajaan-kerajaan lain di dunia, tentang penanda ada “istana”. Kalau raja-raja di dunia memiliki singgasana dan istana, maka raja-raja Minangkabau tidak punya Singgasana dan tidak punya istana secara fisik.
Raja/ Sultan dalam dalam menjalankan fungsinya untuk berperan sebagai pucuk adat dan pemerintahan adat hanya mempunyai “kedudukan dan Balai atau Balairung (tempat kerapatan/ balai persidangan musyawarah raja)”. Setinggi raja tidak duduk di singgasana istana, tetapi duduk bersila di Balirung (Balai Sidang) hanya untuk bermusyawarah dipimpin oleh nilai dasar hikmah dan nilai instrumental kebijaksanaan. Quorumnya perwakilan 4 kluster kerabat, produknya mencari mufakat (keputusan) untuk menjalankan perdamaian dan hukum adat.
Raja berfungsi sebagai pucuk adat sesuai kedudukannya “gandang basa batuah” (ditinggikan seranting, dibesarkan dan diberi tuah). Secara historis dalam prakteknya, fungsi raja ada dua bentuk: (1) rajo sebagai nomenklatur pimpinan Nagari beraja dan atau penamaan gelar adat dengan fungsi pucuk adat pada suku yang berbasis pada kampung dalam kawasan nagari, yang dalam tataran ini “rajo tidak mempunyai kerajaan; (2) rajo adalah posisinya sebagai pimpinan kerajaan (atau sultan di kesultanan) dan fungsinya tetap pucuak adat. Dalam tataran ini, rajo punya kerajaan dan memimpin pemerintahan adat di kerajaan itu.
Spesifik rajo-rajo di Minangkabau seperti tadi disebut:
- Raja tidak mempunyai singgasana, dibuktikan rajo tidak duduk di singgasana menjuntaikan kaki, seolah rakyat di bawah kaus kakinya,
- Karenanya kepada raja tidak ada kata persembahan “di bawah duli yang maha mulia” (rakyat di bawah telapak kaki raja), karena rakyat tidak boleh di Minang ditempatkan yang rendah di bawah kaus kaki raja,
- Yang ada pada rajo Minangkabau hanya kedudukan tidak ada Singgasana. Raja duduk sesuai dengan status sosialnya dalam struktur sosial adat (preseance protokol adat). Raja duduk bersila dalam dua cara berdemokrasi, pertama raja duduk sama rendah dalam tataran kelarasan bodi caniago. Kedua raja duduk bersila, boleh sedikit ditinggikan di atas anjung (pentas) balairung/ rumah gadang, atau ditinggikan dengan kasur atau bantal dalam tataran kelarasan koto piliang,
- Raja duduk bersila itu, telapak kakinya ke belakang, tak boleh rakyat (cucu kamanakan) di bawah telapak/ kaus kakinya,
- Setinggi-tinggi raja di Minang untuk mengambil mufakat (keputusan) dengan sistem musyawarah mirip dengan demokrasi “deliberatif” (norman: pisang sikalek hutan, integrasi antara dua kelarasan: koto piliang dan bodi caniago tadi. Proses rapat/ musyawarah, masalah diketengahkan, ditimbang-timbang, ditimbang di atas yang ada, dalam forum musyawarah itu, artinya raja tidak dengan sendiri menghitam memutihkan, tetap menurunkan kesepakatan hasil musyawarah untuk dilaksanakan masyarakat adat/ cucu kamanakan,
- Quorum musyawarah raja dan penghulu adalah sistem perwakilan yakni penghulu dari masing-masing suku dan sapiah balahan dalam 4 kluster kerabat,
- Mufakat (keputusan) diambil secara bulat (tandanya bulat segolong, pipiah/ picak selayang) tidak bulat bersanding seperti demokrasi ala barat “one man one vote”,
- Hasil mufakat itu diperintahkan rajo kepada rakyat (cucu kamanakan/ anak nagari ranah – rantau) untuk dijalankan, dan kalau ada kesepakatan adat itu bersentuhan dengan syara’, penghulu bermufti (minta fatwa kepada ulama) lalu diperintahkan untuk dilaksanakan,
- Pelaksanaan kesepakatan kerapatan dan fatwa ulama sebagai kebijakan dilakasanakan anak nagari/ rakyat: cucu kamanakan. Setelah cukup lama kebijakan dilaksanakan, maka diteliti oleh cadiak pandai untuk selanjut direvisi (advokasi) kalau kemungkinan ada kekeliruan hasil mufakat yang dilaksanakan itu dan atau kebijakan itu berdampak ada yang (merasa) dirugikan dan atau (merasa) diuntungkan.
Meski raja tidak memiliki Singgasana, kedudukan raja (pewaris) kuat, didukung 4 kluster kerabatnya di ranah dan rantau (non diaspora). Dahulu dan sekarang secara ideal dalam perinsip-perinsip adat, kekuatannya sama. Artinya kedudukan raja diakui. Meski ada organisasi adat di nagari seperti KAN yang tidak mengakui, secara fenomenal KAN hendak menjadi raja pula, tetapi itu tidak masalah, karena yang mengakui raja itu adalah 4 kluster kerabatanya. Artinya, legitimasi raja diberikan oleh 4 kluster kerabat matrilineal di ranah dan di rantau.
Pertanyaan penting sejak dahulu, apakah raja dan pemerintahan kerajaan tidak eksis lagi sejak kemerdekaan Indonesia (NKRI), apakah pemerintahan mengakui atau tidak. Di sinilah pentingnya ada UU Kerajaan yang sekarang RUU-nya sedah diusji sahih Komite 3 DPD RI.
Akui Kerajaan dengan Perinsip Kebhinnekaan
UU Kerajaan ini diharapkan memuat klausus dengan perinsip kebhinnekaan (kerajaan berbeda wujud dalam satu bangsa Indonesia). Artinya tidak perinsip keseragaman (harus seragam dan syarat yang sama), untuk mengukur membuat pengakuan kerajaan secara administrasi dengan syarat yang sama seperti RUU Pasal 7 ayat 2c, harus ada istana/ kraton. Justru dalam kasus ini lebih dari 200 raja dan atau kerajaan di Minangkabau tidak memakai perinsip istana/ keraton, tetapi memakai perinsip balairung (balai sidang adat) untuk menegakan perinsip musyawarah perwakilan yang dipimpin hikmah (nilai dasar) dan kebijasanaan (nilai instrumental) bagi penentuan kepastian arah dalam menyatukan perinsip pengambilan mufakat (keputusan) menyatukan kerajaan kerabat Minangkabau di Nusantara (dalam/ luar Indonesia). Kalau memakai perinsip penyeragaman syarat dalam mendapatkan pengakuan administrasi pemerintah seperti ada syarat istana itu, maka dikhawatirkan tak satu pun dari 200 lebih raja/ kerajaan kerabat di Miangkabau bakal tak diakui, justru sebalik adanya UU Kerajaan akan menjadi ancaman bagi kerajaan yang banyak itu. Setidaknya ada tidak ada UU Kerajaan, esksistensi dan wujud kerajaan-kerajaan itu dalam perspektif adat (kebudayaan), akan tetap ada, yang tidak ada dimungkinkan fasilitasi oleh pemerintah, karena tidak diakui secara administratif.
Artinya kedudukan raja/ kerajaan pada aspek pemerintahan NKRI, sudah tidak adalagi sejak Kemerdekaan RI, karena kekuasaan pemerintahan dan ulayat raja sudah diserahkan kepada pemerintahan NKRI meskipun tidak disertai kontrak sharing keuntungan yang jelas antara kerajaan/ kesultanan di Nusantara dan pemerintahan. Bahkan dulunya Kerajaan sekaligus menyerahkan aset tanah, air dan udara dalam wilayah kerajaan/ kesultanan untuk mendapat perlindungan kepada kedaulatan NKRI. Perlindungan dimaksud, bukan berarti pemerintah memiliki dan kerajaan melepaskan hak milik, tetapi perlindungan itu untuk dimanfaatkan sebesar-sebesarnya oleh negara bagi kesejahteraan rakyat seluruhnya. Perinsip ini sejalan dengan amanat (pembukaan) UU Dasar NRI 1945, NKRI melindungi segenap tanah tumpah, adalah untuk kesejateraan dan kemakmuran rakyat, termasuk anak cucu kamanakan (rakyat) di nagari / desa wilayah kerajaan di Nusantara tadi.
Maknanya, kedudukan raja/ kerajaan Minangkabau dari pespektif adat tetap kuat dalam masyarakat adat dan dalam perspektif pengakuan asal usul oleh 4 kluster kerabat ranah dan rantau tetap eksis. (Lihat juga Yulizal Yunus, Pengaruh Kepemimpinan Raja-raja di Minangkababau”, Makalah Seminar Antara Bangsa Kebudayaan dan Adat Minangkabau Negeri Kembar 50 Koto dan Negeri Sembilan, thema “Pegaruh Kepimpinan Adat Minangkabau di Alam Melayu”, 21 April 2022. Zoom: ATMA – UKM dan LKAAM 50 Kota).
Raja Minang, Amanat Keadilan Tuhan
Raja sebagai pucuk adat, masih tetap penting dalam pentadbiran aspek manajemen/ administrasi pelaksanaan adat disandi agama dan pemberian keadilan. Di Minangkabau pemberian keadilan penentu pemberian penghormatan dan penghargaan kepada Kerajaan/ Raja. Karenanya di Minang ada tagline dan atau theme line untuk raja, sebagai bagian unsur wacana text stempel raja-raja itu. Taglinenya itu adalah “al-watsiq bi ‘inayatillah al-‘azhim” (raja senantiasa di bawah pengawasan Allah Yang Maha Agung).
Dengan tagline raja Minangkabau itu yang diabadikan pada stempel raja itu, maka raja dalam memerintah secara adat diakui sampai sekarang, bahwa raja sumber keadilan dan sumber keindahan. Karenanya untuk pemberian keadilan, raja dalam pengambilan mufakat (keputusan) tidak bisa tanpa musyawarah. Justru disadari musyawarah itu adalah amanat syara’ (agama sebagai sandi adat Minang). Dilihat dari perinsip filosofi Minang, Syara’ Mangatakan Adat Memakai (SM-AM), sumber musyawarah itu diamanatkan sandi syara’ dan syara’ sebagai sandi adat, yakni “wa syawirhum fi l-amri/ bermusyawarahlan” dalam segala hal. Artinya raja tidak boleh membuat kebijakan semenan-mena apalagi tidak adil, di mana tidak adil itu dinyatakan sebagai berbuat zhalim. Raja sesuai taglinenya tadi biinayatillah (diawasi Allah), bagi raja menjadi sumber keadilan. Dalam prakteknya dulu, dituangkan dalam petiti adat: “Raja adil raja disembah/ raja zhalim raja disanggah”. Karenanya pula, raja sumber kebenaran. Raja mesti berjalan (memerintah) pada jalan (aturan) yang lurus (bajalan di nan luruih) dan berkata pada yang benar (bakato di nan bana), babuek adil (berbuat adil). Raja sumber keindahan sikap dan perilaku yang terpuji dan indah, karena yang mengajarkan Allah Yang Maha Indah (Jamil) dan “suka kepada yang indah” itu .
Sekarang, karena pengaruh fenomena populer yang senang serba siap saji dan pengaruh negatif globalisasi plus kemajuan informasi dan iptek canggih, maka kharisma (pewaris) raja tidak lagi seperti dahulu kuat wibawanya. Malah raja sekarang di kalangan awam (umum yang tak paham adat dan asal usul) sering meniadakan pewaris raja, dan kerajaan di Minangkabau disebut tidak ada. Bahkan pula kasus organisasi adat di nagari, hendak menjadi raja pula dan meniadakan raja dan kerajaan. Saya kira fenomena ini a-histori, tidak boleh dipegang, karena tidak mungkin meniadakan sejarah raja/ kerajaan yang di Minangkabau negeri 1000 raja ini, ada lebih dari 200 kerajaan/ raja dan memiliki kelembagaan, dokumen dan peninggalan yang banyak bahkan diakui dunia kebesarannya. (Bersambung ke-6)