Sentra wilayah kempemimpinan raja Minangkabau ada dua bentuk. Dalam RUU Kerajaan Ps 5d sentra Kebudayaan Kerajaan dan penentuan ruang lingkup pelestarian kebudayaan kerajaan, penting memperhatikan kebhinnekaan kerajaan-kerajaan federasi kerabat Minangkabau. Wilayah kepemimpinan raja dan kerajaan di Minangkabau, di anataranya ada bentuk yang disebut Kerajaan dan ada bentuk yang disebut Kesultanan. Yang berbentuk kerajaan seperti Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Sitiung, Kerajaan Padang Laweh, Kerajaan Pulau Punjung serta 3 kerajaan perempuan yakni Kerajaan Koto Besar, Kerajaan Sungai Dareh (Tiang Panjang/ VIP Rajo Pagaruyung) dan Kerajaan Sungai Kambuik di Dharmasraya sekarang.
Yang berbentuk “kesultanan” adalah seperti Kesultanan Minangkabau Darulqarar di Pagaruyung (disingkat Kesultanan Pagaruyung, 1403 M), adalah hasil likwidasi dan integrasi keraja lama (Kerajaan Bungo Setangkai dan Kerajaan Dusun Tuo) dengan Kerajaan Swarnabhumi Dharmasraya (berdiri abad ke-4 M. Kerajaan Swarnabhumi ini meruapak cikal bakal Kerajaan Sriwijaya sekaligus pelanjutnya setelah abad ke-12 (lihat Tambo Sriwijaya). Juga ada Kesultanan Inderapura, berasal dari Kerajaan Inderapura dan Kerajaan Airpura (berdiri abad ke-4 SM di nagari asal Airpura) berlokasi di wilayah Inderapura di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat sekarang.
Sedangkan wilayah kepemimpinan raja yang tidak berbentuk kerajaan, masih tetap disebut nagari. Nagari-nagari itu, beraja-raja. Spesifiknya, di satu nagari pun, ada dua tiga dan rajo. Seperti di Nagari Koto XI Tarusan, di satu nagari itu terdapat beberapa raja di antaranya, Raja Teratak, Raja Siguntur, Raja Kerajaan Sungai Nyalo, Kerajaan Tarusan lainnya.
Beda di Pasaman, di satu nagari satu raja dengan sebutan berbeda, di antaranya di Nagari Kinali tidak disebut raja/ kerajaan tetapi dalam Tambonya tetap disebut Nagari, pimpinannya disebut “Yang DiPertuan Kinali”. Di Nagari Padang Nunang, juga disebut pimpinannya Yang DiPertuan. Di Nagari Parik Batu pimpinannya disebut Daulat Parik Batu. Di Nagari Kumpulan pimpinannya disebut Bagindo Kali. Di Nagari Talu pimpinannya disebut Tunaku Bosa Kebuntaran Talu lainnya. Sedangkan yang disebut rajo di Pasaman itu di antaranya rajo Nagari Sasak rajo nagari Air Bangis, rajo nagari Katigan lainnya. Nagari beraja-raja dan Nagari penghulu, dulu itu dilihat dari perspektif tata kelola pemerintahan adat nagari beraja dan rajo kerajaan dan atau rajo dengan sebutan lainnya yang berbda tadi, dipandang hebat bagaikan sebuah republik, sehingga kolonial menyebut nagari (544 Nagari) sebagai kliene republiken (republik kecil). Nagari beraja-raja itu semua merupakan rajo dan kerajaan federasasi kerabat, yang payungnya adalah inbuk yakni di Pagaruyung.
Penyebutan nama wilayah rajo dan atau sultan itu sampai sekarang tidak berubah. Yakni kerajaan tetap kerajaan, kesultanan tetap kesultanan dan nagari itu tetap nagari. Juga sebutan rajonya tidak berubah. Kalau berubah akan dipandang sebagai mengacaukan tatanan adat Minangkabau. Demikian pula Sultan tetap sultan (sutan) walai disebut lengkapnya pada raja sekarang Sultan M Farid Thaib Tuanku Abdul Fattah sebagai Daulat Yang DiPertuan Rajo Alam Minangkabau Pagaruyuang (ganti rajo sebelumnya, Sultan Muhammad Taufiq Thaib yang mangkat sebelumnya). Demikian pula tetap pada nomenklatur sebutan rajo dan wilayahnya seperti “Yang DiPertuan”, “Daulat”, “Tuanku Bosa/ Kebuntaran”, “Bagindo Kali”, “Raja/ Kerajaan”,“Sultan/ Kesultanan” dan sebagainya.
Kesultanan Pagaruyung Darulqarar berpangkal dari Kerajaan Minangkabau berdiri abad ke-14 (1347). Nekihat wilyah kerajaan kerabat yang dipayungi sudah menempati posisi imperium. Apalagi karena melanjutkan Swarnabhumi dinyatakan sebagai pelanjut Sriwijaya setelah runtuh abad ke-12 dan dipindahkan ke Dharmasraya. Swarnabhumi berdiri di rantau hilir Minangkabau Dharmasraya, Jambi dan Palembang, Ibu Kota di Muara Jambi. Ketika berdiri Sriwijaya di Daerah Palembang rajanya yang bernama Sri Indrawarman sudah memeluk Islam. Sriwijaya berdiri abad ke-7, sejarah kolonial menyebut menundukan kerajaan Swarnabhumi di Dahramasraya yang ibu kotanya di Jambi itu.
Sesungguhnya Sriwijaya tidak menaklukan, tetapi mengintegrasikannya, karena swarnabhumi adalah kerabat matrilineal di rantau hilir Minangkabau lama yakni Dharmasraya, Jambi termasuk Pelembang.
Dalam Tambo Sriwijaya disebut ketika Sriwijaya lemah sejak serangan Raja Cola dari India sejak 1017 (-1025) dan tak bangkit. Bandar utama Sriwijaya lumpuh. Diminta Tribuana kakek Dara Jingga Minangkabau, yang dipandang insinyut hebat untuk membuka bandar baru di Tumasek (Singapura sekarang) juga Sriwijaya tak tertolong. Ketika Sriwijaya runtuh semua perlengkapan istanan dan mahkota raja dipindahkan ke Dharmasraya, membuktikan Swarnabhumi Dahramasraya adalah kerajaan kerabat. Sejak itu Dharmasraya melanjutkan Sriwijaya memayungi semua kerajaan kerabat/ 15 kerabat di Asia. Tahun 1347 dipimpin Adityawarman (nama lengkap Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa, turunan traveling perkawinan politik memperkuat hubungan diplomatik raja Minang – Jawa: ibu Dara Jigga dari Minangkabau, ayah Adwayawarman ialah dari majapahit.
Kerajaan Swarnabhumi di Dharmasraya tadi dilikwidasi dan dibawa pindah Adityawarman ke Saruaso, diganti nama menjadi Malayapura (Lihat Yulizal Yunus, Saruaso: Sejarah Malayapura, Juga Punya Menhir Seksi Kubang Landai, artikel www.fikir.id, 5 Juni 2023). Kerajaan lama itu adalah Kerajaan Pasumayam di Pariyangan, plus dua mekaran Pasumayam itu yakni Kerajaan Bunga Setangkai di Sungai Tarab/ Kerlarasan Koto Piliang Datuk Katumanggungan dan Kerajaan Dusun Tuo Limo Kaum/ Kelarasan Bodi Caniago Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Kerajaan Malayapura kemudian menjadi Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung dipimpin Adityawarman (memerintah 1347–1375 M), akhirnya menjadi Kesultanan Pagaruyung Darulqarar tahun 1403 M dipimpin cucu kamanakan Adityawarman (Sutan Bakilap Alam). Dasar pemerintahan adat di kesultanan menjadikan Undang Adat Minangkabau (UAM) berisi 15 pasal 90 ayat (disebut Asbir Dt. Rajo Mangkuto, 2012) sebagai dasar konstitusional kesultanan Pagaruyung Darulqarar. Wujud UAM itu adalah ABS-SBK (Adat Basandi Syara’ – Sayara’ Basandi Kitabullah, hasil perjanjian/ sumpah satia Bukit Marapalam di Puncak Pato Mei 1403 diprakarsai tokoh adat dan Islam Sultan Bakilap Alam/ Pagaruyung dan Datuk Bandaro Putiah/ Sungai Tarab, keduanya ulama tamatan Barus). Artinya ABS – SBK, bukan adagium, bukan istilah, tetapi adalah sumpah sati (sumpah setia, sumpah sakti) yang kemudian menjadi filosofi MHA di Minangkabau. Bersambung ke-3