Bayi kembar pemicu perang itu adalah bayi kembar namun berbeda jenis kelamin. Dunia kedokteran menyebutnya dengan bayi kembar tidak identik.
Sementara orang di Surantih menyebutnya sebagai anak sumbang.
Dalam perang ini, pisang menjadi amunisi. Panglima perangnya adalah Simuntu.
2. Lela Ampalu
Sesuai namanya, Lela Ampalu berasal dari Ampalu, Surantih. Kini Ampalu secara administratif berada di Nagari Gantiang Mudiak Selatan Surantih.
Lela Ampalu berasal kebiasaan seorang ibu yang meninabobokan anaknya di Ampalu.
Ia melelakan (mendendangkan) syair-syair indah agar anaknya cepat tertidur.
Sekarang, Lela Ampalu telah mengalami perkembangan. Lela Ampalu tidak saja untuk meninabobokan anak.
Mulanya Lela Ampalu hanya dinyanyikan oleh kaum ibu-ibu tanpa diiringi instrumen apapun.
Namun saat ini, Lela Ampalu telah diiringi instrumen Rabab Pasisia. Dan telah di tampilkan dalam seni pertunjukan Rabab Pasisia.
3. Tinju Langgai
Sesuai namanya Tinju Langgai berasal dari Langgai, Gantiang Mudiak Utara Surantih.
Tinju langgai merupakan kesempurnaan ilmu bela diri yang dipadukan dengan keputusan “silek langkah tigo”.
Cerita tentang kehebatan ilmu bela diri ini sangat melegenda. Ada yang menyebut, tinju langgai ini tak berbatas jarak. Meskipun lawan jauh, tidak akan sanggup menahannya.
Untuk menguasai ilmu ini dibutuhkan proses yang panjang. Ilmu ini tidak bisa didapatkan dengan cara instan.
Namun, hal ini menjadi kendala, ilmu ini sulit untuk terus diwarisi.
Istilah “habih langkah indak malangkah” juga menyebabkan ilmu ini jarang terwariskan kepada generasi berikutnya.
Ambang hilangnya ilmu tersebut, sudah terlihat dengan jarang adanya “sasaran” latihan silat di tiap kampung. Selain itu, ilmu ini terus terkungkung dalam ruang lingkup aliran tertentu
4. Badampiang
Badampiang sudah menjadi warisan budaya tak benda (WBTB) yang ditetapkan oleh Kemendikbud pada 2019 lalu.
Tradisi badampiang merupakan proses mendampingi pengantin pria (marapulai) ke rumah pengantin wanita (anak Daro).
Badampiang ialah dendang yang dilatunkan beramai-ramai dengan cara sahut menyahut.
Isi dendangnya adalah pantun nasehat yang melambangkan kesedihan bercampur bahagia dari keluarga (orang tua) yang melepas anak laki-lakinya memasuki kehidupan berumah tangga.
Badampiang dilakukan sepanjang perjalanan marapulai menuju rumah anak daro.
Saat perjalanan, dampiang akan terus dilantunkan hingga marapulai sampai di halaman rumah anak daro.
Tak jarang, ada yang menangis dalam proses ini. Meskipun, diselingi dengan pantun-pantun jenaka dari urang mudo yang bertujuan untuk menggoda marapulai yang akan memasuki hidup baru.
Klik untuk melanjutkan membaca halaman selanjutnya…
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya