Bandasapuluah.com – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Sidang Penetepan Warisan Budaya Tak Benda pada 13-16 Agustus 2021 silam menetapkan Tari Benten dari Pesisir Selatan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional dari 52 seni budaya yang diusul menjadi WBTB dari 16 kabupaten/kota di Sumbar kala itu. Selain Tari Benten, juga ada 6 seni langka lainnya dari Pesisir Selatan yang ditetapkan sebagai WBTB Nasional, yakninya Biola (Babiola, Barabab), Tari Sikambang Manih, Tari Kain, Anak Balam, Badampiang dan Patang Balimau.
Tari Benten bakal dipertunjukkan oleh Pusat Kebudayaan Minangkabau (PKM) bekerjasama dengan Nan Jombang Dance Company dalam event PKM-17 Edisi III yang direncanakan dihelat pada Jumat (17/12/2021) mendatang. Pertunjukan seni tradisional langka di Sumatera Barat (Sumbar) ini disponsori Anggota DPD RI Alirman Sori dan Koreografer Tari dari Sumbar Ery Mefri.
Menurut Ery Mefri, Tari Benten merupakan pengembangan dari Tari Rantak Kudo. Kata pemilik Nan Jombang Dance Company itu, Tari Rantak Kudo yang asli telah lenyap, sulit mencari daerah yang masih memelihara tarian asli itu di Kabupaten Pesisir Selatan.
Situasional keberadaan seni tradisional langka Tari Rantak Kudo itu dibenarkan Pimpinan Sanggar Puti Gubalo Intan, Junaidi Chan. Katanya, Tari Rantak Kudo itu tidak lagi dikembangkan karena sulit mencari yang aslinya, justru yang dikembangkan adalah Tari Benten.
Rantak Kudo Asli
Tari Rantak Kudo yang kemudian dikembangkan menjadi Tari Benten ini, aslinya terdapat di Rawang, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Disebut Rantak Kudo, karena gerakannya bunyi kutipak ladam kuda menghentak-hentak. Hentakannya bisa didengar dan setidaknya dirasakan dari jarak jauh lokasi pementasan.
Tari Rantak Kudo ini disakralkan kerana esensi lagu dialogis dalam scan mengantarkan rasa cinta dengan doa-doa sakral kepada Yang Maha Agung. Nyanyian doa-doa yang mengiringi tarian sakral Rantak Kudo di Rawang Kerinci, tembangan syairnya disebut “asuh” dan penyanyinya disebut “pengasuh”. Pengasuh ini dominan dari Tanjung Rawang di DAS Batang Merao yang bermuara ke Danau Kerinci.
Karenanya, Tari Rantak Kudo khusus di Kerinci itu, dihormati dan dihargai. Dihadirkan pada setiap perayaan seni budaya masyarakat terutama pada perayaan hasil panen padi di Kerinci, juga di Pesisir Selatan, terutama di Indrapura.
Kalau Indrapura disebutkan sebagai Kesultanan Islam berfungsi rajo ibadat, tapan Basa 4 Balai Rajo Adat dan Lunang dengan fungsi Rajo Batin (Rajo Alam), yang Pelabuhan Lada Samudrapuranya di Muara Sakai dulu, pernah diceritakan menjadi embarkasi Haji abad ke-11, maka tak dapat dipungkiri suasana budayanya menaruh nilai-nilai Islam yang Sakral.
Sultan Mara Baqi pernah memerintahkan Sutan Abdullah Al-Karim tahun 1849 untuk menulis tangan (manuskrip) Al-Qur’an dengan illuminasi Minangkabau (Kolektor St. Alamsyah, lihat Yulizal Yunus-2012). Objek budaya tradisional dan seni memiliki nilai-nilai yang sakral dimungkinkan seperti Tari Rantak Kudo yang dikonversi menjadi Tari Benten ini.
Tari Rantak Kudo ini, masa pertunjukannnya setelah panen, yakni merayakan hasil panen raya, kadang berlangsung berhari. Ketika penen tidak berhasil dan atau terjadi musim kemarau, Tari Rantak Kudo tetap ditampilkan untuk mengantarkan doa-doa kepada Allah SWT. Terasa benar, kehadiran Tari Rantak Kudo ini untuk maksud tujuan, memotivasi peningkatan pertanian, padi menjadi, jaguang maupiah, masyarakat gembira dan makmur.
Sekaligus menyatakan rasa syukur alhamdulillah masyarakat gembira masa hujan yang menyuburkan dan atau masa kemarau yang mesti dihadapi dengan penuh optimis berujung meraih keberkatan (berkah). Karena itu, Tari Rentak Kudo di samping termasuk objek seni pemajuan kebudayaan, juga dapat diklasifikasi dengan objek adat dan objek ritual.
Tari Rantak Kudo sebagai seni, ritual dan adat, dalam pertunjukannya diiringi musik. Tifa musik gendang digunakan untuk mengiringi tembang syairnya disebut “asuh” di Keinci tadi, namun sedikit berbeda dengan Tari Rentak di Minang, yang diekspresikan instrumen musik minus syair. Kekuatannya terletak pada “rantak” (rentak – merentak) dipatri langkah tigo gerakan silat yang diekspresikan penari wanita dan pria. Lebih terasa ritual ketika dibakarkan kemenyan, membuat penari semakin khidmat, bahkan ada sampai kesurupan.
Dilansir dari Wikipedia, Tari Rantak Kudo ini dipentaskan dalam acara adat resepsi pernikahan adat Kerinci. Tembangan syair pantunnya bersahut-sahutan: Tigeo dili, empoak tanoh rawoa. Tigeo mudik, empoak tanoh rawoa (Tiga di Hilir, Empat dengan Tanah Rawang.Tiga di Mudik, Empat dengan Tanah Rawang), seperti juga diceritakan Didi (2021).
Kisah dalam lirik syair tembangan tadi, mengisahkan nenek moyang dulu di suku Kerinci, masa pemerintahan para Depati (Adipati) Tanah Hamparan Rawang merupakan pusat pemerintahan, pusat kota dan kebudayaan kala itu, yaitu dalam lingkup Depati 8 helai kainterutama berpusat di Hiang (Depati Atur Bumi), tidak termasuk di Recong Talang – “durian takuak rajo” sapiah Pagaruyung.
Menurut Didi (2021), Tanah Hamparan Rawang merupakan tempat duduk bersama (pertemuan penting dalam adat Kerinci) boleh disebut pusat sejarah lahirnya Tari Rantak Kudo. Pencetus kreasi Tari Rantak Kudo itu, disebut-sebut Ruwai.
Halaman Selanjutnya: Berasimilasi Tari Benten
Halaman : 1 2 Selanjutnya