Cara pakainya adalah mulai dari bergerak ke mana akan dituju, do’a tersebut dibaca tiga kali, kaki dihantamkan ke bumi sekedarnya, dan mulai melangkahkan kaki kanan, tidak boleh menoleh lagi ke kiri dan ke kanan, pandangan lurus ke depan, atau ke mana akan dituju.
Cara lainnya, pegang perut yang sakit itu, usap-usap dengan pelan-pelan sampai tiga kali dengan harapan galang-galang (cacing gelang) itu bisa berkumpul pada tempat semula.
Saudah, salah seorang dukun beranak dan dukun obat padi mempunyai kiat pula dalam pemakaian jampi-jampinya, agar pada masyarakat yang menjadi harapan panen berlimpah, yakni sebelum menanam benihnya terlebih dahulu harus dibaca do’a sebagai berikut:
“…do’a aso ka aso Allah
duo kuaso bumi
sahari jumat
sahari sabtu
Adam jadi
pangkat mahligai pintu narako
pintu sarugo Muhammad jadi
jadipun padi
sahari hujan padiku jadi
sahari guruah padiku jadi
sahari angin padiku jadi
makbullah do’a sapuluah
Muhammad jadi
gurunpun makbul
dek akupun tajam
tajam barakat la ilaha illallah…”
Dalam mengobat padi di awal proses pembenihan (penyemaian benih), menurut cara Saudah didahului dengan membakar kemenyan, setelah membaca jampi-jampi di atas, dilanjutkan tahlil, kemudian baru benih-benih itu disemai.
Setelah padi mulai menguning, dilakukan lagi pengobatan kembali dengan cara mengambil beberapa helai daun kelapa muda dibikin janur sederhana di atas daun kelapa ini ditulisi potongan ayat al-Qur’an di antaranya sebagai berikut:
“…wama ramaita idza ramaita, walakinnallaha ramaa
engkau syetan tidak akan mampu melempar hanya Allah yang bisa melempar…”
Daun kelapa itu diikatkan ke sepotong tongkat kayu dan ditancapkan pada keempat sudut ladang atau sawah.
Tangka (penangkal) yang seperti di atas dianggap belum sempurna kalau belum dilengkapi dengan obat-obatan (ramu-ramuan). Bahan ramuannya adalah pasir bercampur batu-batu dihaluskan, kunyit bolai, jangau, cirit (karat) besi, tareh di darat (daging kayu tuo yang keras terletak di darat), tareh di air, sitawa, sidingin, sikarau, sikumpai.
Ramuan ini direndamkan dalam air kemudian ditawai (dimantra) dengan bacaan sebagai berikut:
“Bismillahirrahmanirahim
assalamu’alaikum
hai hatu jumbalang tanah
hantu bumi jumbalang bumi
hantu laut jumbalang laut
hantu ayo jumbalang ayo
hantu gunung jumbalang gunung
sang hima di atas bumi
sang jayo di petala bumi
patalo kalo rajo di bumi
syekh putiah rajo di langit
mambang sakti rajo di rimbo
makabualah aku mandoakan
tawa tatau
dek aku mukabua dek gurupun tajam
tajam
karano barakat la ilaha illallah”
Setelah ramuan-ramuan ditawai dengan mantra di atas, maka ramuan tersebut disiramkan kepada padi yang telah menguning itu.
Penyiraman hanya dilakukan satu kali, namun dianggap telah mengenai seluruh sawah.
Dengan demikian, diharapkan padi yang sudah menguning itu selamat sampai dipanen, yang menurut kepercayaan mereka tidak akan diganggu hama/ binatang dan penyakit lainnya.
Kalau pada sudah waktunya padi dituai, maka dalam menuai dibaca do’a berikut:
“Surek sirajo baselo
batang sirajo badiri
daun sirajo mangilap
kulik si rajo mancayo
isi si rajo manganuah
nur cahayo namonyo kulik
nur illallah namonya isi
anak dayang putih daimah
anak dayang putih patimah
pulanglah engkau ke nagari aku
nan dek balam nan dek pipik
nan dek samuik salimbado
nan dibaok tabiang aruik
nan dibaok aie dalam
pulanglah engkau sariku
engkau nan badaun rumbio
nan barantiang labek
pulanglah kanansariku kembali
maimbau urang jan sahuti
urang pai jan turuti
pulangkah engkau kanansariku
kaampek suduik sawahku
makabuakanlah aku maimbau
samangaik padiku…”
Sirin, juga salah seorang dukun terkenal di nagari Lagan biasa menghadapi musuh dengan berani (tanpa gentar sedikitpun).
Untuk menghadapi musuh ia menggunakan jampi-jampi dengan bacaan sebagai berikut:
“Qul kato Allah
Ana kato Muhammad
seperti kato Bagindo Rasulullah
air nua hati rangkungan aku
Ya bani saribani
paku runduak paku urano
paku erang rang galahan
tunduak sakalian urano
aku surang mengalahkan”.
Do’a tersebut adakalanya dibaca sebelum berangkat dari rumah atau sedang dalam perjalanan. Membacanya dalam keadaan jari yang sepuluh tersusun didekatkan ke muka, lalu menghadap ke arah yang dituju. Do’a ini tidak ada memakai ramuan, tetapi membacanya dengan makrifat yang dalam. Kalau sudah diperoleh do’a ini, maka tidak boleh melangkahi tali kuda yang sedang terpaut atau tali kuda yang sedang berjalan, sebab akan menghilangkan kekuatan magiknya.
Menurut Bataruddin yang juga berprofesi sebagai dukun di Lagan, jampi-jampi juga digunakan untuk mengobati sekaligus menangkal bisa gigitan, binatang yang berbisa, pidareh, panjauh harimau (menjauhkan harimau) dan juga untuk gayuang. Do’a digigit binatang yang berbisa atau disengat ular, maka dibaca shalawat tiga kali sambil menggaruk-garuk kuduak (tengkuk).
Jika digigit atau disengat binatang yang berbisa kiawai/ tabuan/ lebah atau serangga penyengat sejenisnya, dapat dibaca shalawat tiga kali sambil menggaruk-garuk ujung tulang (tulang sulbi). Untuk pidareh do’anya adalah:
“Nagolong nago tagolong
nago mandawik di gunuang
marapuak marapak nago lalu
aku memakai pidareh Bagindo Ali
kabua barakat la ilaha illallah huuu”.
Do’a ini dibaca waktu berhadapan dengan lawan. Daya tangkalnya kuat dan sekaligus dapat membangkitkan semangat berani.
Do’a untuk panjauah harimau atau menolak harimau jampi-jampi sebagai berikut:
“Hak kato Allah
Inna kato Muhammad
nanti kato Adam
huuu Allah. Hak Ali liwaa
halilintar
Ali batujuah badunsanak
malompek engkau seperti kilek
basorak engkau seperti guruah dan patuih
Huuu Allah”.
Cara memakainya adalah, do’a ini dibaca sewaktu akan memasuki hutan. Jika bertemu dengan harimau, do’a ini dibaca dengan lantang.
Gayuang adalah semacam santet langsung untuk memukul lawan dengan tangan. Jampi-jampinya sebagai berikut:
“Acaraniang
kalau dilipat namonyo jari aku tibo dijangek rangkah
tibo di tulang patah tigo
aku malapeh baliang-baliang ka hulu jantuang si Anu
kabua barakat la ilaha illallah”.
Cara menggayuang itu dengan melepaskan pukulan (tinju) di waktu nafas lawan sedang naik (lawan sedang menarik nafas).
Ratdi yang juga berprofesi dukun di Desa Lagan mengatakan bentuk-bentuk lain dari jampi-jampi ini adalah pampan (jampi untuk menahan buang air besar seseorang), gabaji, basitapak kudo (jampi melimaukan/ memandikan motor), bagan (alat penangkap ikan), tawa ramuan dan lain-lain.
Pampan (menahan buang air besar seseorang) ramuannya adalah;
(a) air satu botol ditutup dan diletakkan dalam sebuah peti dan dikunci,
(b) kapur sirih yang diambil di rumah orang marando (janda) dalam satu rumah itu,
(c) lidi sapu sebanyak tiga buah.
Cara memakainya; kapur sirih dioleskan ditunggak tuo (tiang rumah), di kapalo janjang (anak tangga teratas), kemudian dibaca do’a sebagai berikut:
“Kun kata Allah
payakun kato Muhammad
hak kato Jibril
do’aku di maso Ali
di Aminah
saoklah pintu Khadijah
peganglah kunci di ‘Aisyah
peganglah rantai di Maimunah
bakotek ayam dalam talua
maka tabukaklah paraj
kunci
kabek si Anu
had”.
Jampi Gabaji yang membuat orang bercerai atau tidak mau bertemu, ramuannya sipadeh padi (jahe), merica, dasun tongg (bawang putih yang tunggal). Cara memakainya, sipadeh padi dan merica dikunyah sampai halus ditempat yang sunyi, tidak memakai pakaian sedikitpun (telanjang bulat) waktu matahari terbit dengan makrifat seperti matahari memancar, bercerai si Anu dengan si Anu dengan daya do’anya sebagai berikut:
“Bismillahirahmanirahim
Hai nyiak Sianggeni
kabaji aku tidak pakai ramuan
ramuannyo di awan tongga
namo si Anu
si Anu anggak
aku malapeh kato sianggeni
Hai bali katuban darah
jihin bali si bujang hitam
jagolah engkau dalam batang tubuah si Anu
bacarailah si Anu dengan si Anu…”
Selanjutnya untuk basi tapak kudo, kata Ratdi ramuannya adalah: a) basi tapak kudo (besi tapal kuda) yang didapat dijalanan, b) sitawa, sidingin, andang bareh, limau kapeh, limau puruik, limau lunggo, limau kunci, kalau bisa orang yang hamil pertama yang mengambil limau tersebut. Dibaca ayat dalam surat Nuh ayat 21, kemudian dibaca surat Ikhlas 7 kali.
Waktu memakainya, badan harus bersih dari hadast (yakni dalam keadaaan berwuduk) dan shalat di atas mobil dua rakaat. Baru disuruh mobil itu berjalan, kemudian dipukul mobil itu sebanyak tiga kali.
Jampi-jampi untuk peningkatan produksi ikan laut dipasang kepada alat penangkap ikan seperti bagan. Ramuannya; sitawa, sidingin, sikumpai, junjung balik piladang patin, pucuak pisang kumbai, bungo panggie, daun aka cinto-cinto, rantiang padi, semuanya ini dicincang halus. Cara memakainya, di atas bagan itu ditanya orang yang punya bagan itu misalnya tentang kayu bahan bagan, setelah mendapat jawabannya, barulah mulai mengobatinya dan dijampi. Do’anya adalah:
“Hai marantiah hitam madang karimun/ bangunlah engkau/ aku tahu dari samulo engkau jadi/ bismillahirrahmanirrahim/ namo kulit engkau alhamdulillah/ namo dagiang engkau lailaha illallah/ namo ampadu engkau/ akan dibaok paelok lenggang/ papanjang lompek/ pagadang suok khairullah/ engkau yang tagak di haluan/ elok baso nan baiak budi/ tolong japuikkan mulo ambo/ engkau dimakan kutuak api narako salamonyo/ jikok lai engkau japuikan malu ambo/ badunsanak kia dari alam dunia sampai kakubua”.
Do’a tersebut diberi tawa ramuan yaitu:
“lailaha illahah tigo kali/ minkum dengan Allah/ azab banamo azab Allah/ kalu si akut lalu/ Allah tadiri/ Muhammad terhenti/ nan biso tawa/ nan paneh dingin/ nan tajam tumpu/ nan sakik sehat/ akan mangatokan kato Allah jo Muhammad/ kabua barakat la ilaha illallah…”
Malus Katik, yang juga salah seorang dukun di desa ini mengatakan, jampi lain yaitu manueh rumah (malimaukan rumah). Malimaukan rumah ini ada beberapa cara. Hal ini melihat kepada rumahnya, apakah rumah batu atau rumah kayu.
Untuk rumah batu ramuannya adalah sitawa, sidingin, sikumpai, randang bareh, daun silaguri, darah ayam. Cara pakainya semua ramuan itu ditumis halus-halus, kemudian diambil darah ayam sekedarnya dan diaduk sampai rata kemudian dido’akan. Do’a rumah batu ini adalah sebagai berikut:
“Bismillahirahmanirrahim/ sijapun namonya bumi/ dusalam namonyo langik/ hai sahabat yang enam belas/ ketahuilah kami siang dan malam/ patang dan pagi/ kami bagantuang kapado ayat nan indak putuih/ Abu Bakar/ Umar/ Usman/ dan Ali/ nan angek minta dingin/ nan biso minta tawa/ nan tajam minta tumpu/ nan gagah minta tunduak/ barakat la ilaha illallah”.
Kemudian semua ramuan tadi disebarkan ke seluruh tanah dan kayu yang dipakai untuk rumah tersebut. Untuk rumah kayu. Caranya, waktu akan memotong kayu yang pertama harus dibaca:
“Bismillahirrahmanirrahim/ Hai bumi/ langit/ tumpuik rantai/ aku akan memotong kayu anak cucu nabi Adam/ bukan aku yang mamotong/ Allah jo Muhammad yang mamotong/ iyo Bagindo Rasulullah/ la haula wala quata illa billah”.
Memotong dan mencari tonggak tua, caranya adalah semua tonggak yang akan dipakai, dipukul terlebih dahulu, dan dipedomani bunyinya, mana bunyi yang keras di antara tonggak itu, itu yang dijadikan tonggak tua, baru kemudian dido’akan dengan membaca shalawat kepada Nabi dan membaca tasbih, serbuk atau ban yang pertama dari tonggak tua ini diambil sedikit untuk menjadi sandi (diletakkan di sendi) rumah agar rumah bisa bertahan.
Tonggak tua itu harus ada benang curano (hitam, putih dan merah) diikat pada tonggak dipahami sebagai penghuni rumah. Setelah pemotongan ini selesai, situkang yang dituakan itu, harus mendapat jatah nasi kunyit, panggang ayam dan uang sekadarnya, semuanya itu dibawa pulang oleh situkang jampi, sebagai jampi memotong kayu tukang.
*
Terlepas dari sarat atau tidak dengan nilai tauhid, corak mistik atau sastra mantra, jampi-jampi Lagan ini begitu mengakar dalam budaya dan kehidupan masyarakatnya. Awal mula sejarah berkembangnyanya praktek jampi-jampi ini sukar diketahui, namun besar kemungkinan hal ini merupakan sisa-sisa kepercayaan nenek moyang yang masih kental dalam kehidupan masyarakat. Kepercayaan tersebut telah bercampur aduk dengan ajaran Islam dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi penerus selanjutnya.
Faktornya kata Bakri mengutip pendapat Dt. Bagindo Sulaiman antara lain, karena kurang utuhnya (kaffah) kepercayaan terhadap ajaran Islam dan juga terhadap diri sendiri, sehingga mereka mengadukan kesulitan-kesulitan hidupnya kepada orang-orang yang mungkin untuk menanggulanginya atau kekuatan lain yang bisa melindunginya. Agaknya sisi inilah yang menghadapkan “jampi-jampi, tangkal-tangkalan, dan guna-guna dengan perbuatan syirik, mengikut HR. Ahmad, Ibn Majjah, Ibn Hibban, Abu Daud, seperti juga yang dikutip penulis buku ini dalam menjelaskan eksistensi jampi-jampi.
Jampi yang bercorak sinkretis ini seperti mengesankan di dalamnya ada pengaruh kepercayaan Hindu, Budah dan Islam. Namun seperti juga disebut buku ini meliput sumber/ informannya, jampi-jampi di dalamnya sulit ditentukan mana yang nilai Hindu dan mana yang Budha. Yang jelas materi jampi-jampi itu mengandung unsur kepercayaan terhadap benda-benda mati atau hidup di alam nyata dan metapisik yang mempunyai kekuatan magik luar biasa.