Dalam upacara adat tadi, carano berfungsi untuk mencairkan kebekuan sa’at upacara adat itu akan dimulai. Disediakan carano, sebelum kato dimulai, sabalum karajo dikakok (dikerjakan), adat duduak siriah mayiriah, adat carano bapalegakan (dilegakan).
Karenanya di Minangkabau ada pidato adat khusus yang disebut pidato sirih pinang biasanya untuk menyambut kedatangan tamu termasuk penganten pria atau pidato adat sekapur sirih pembuka bicara dalam upacara adat Minang.
Carano dalam fungsi upacara adat mamanggia (memanggil) penganten laki-laki dan upacara adat manta sirih, carano menjadi vital dan penentuan bentuk penghormatan dalam upacara adat itu.
Dalam pejamuan pesta perkawinan seperti dalam upacara maantakan (mangantarkan) sirih, keluar sirih gadang sentabut yakni sirih lengkap dalam carano. Dicabik dan dikunyah serta diudut tembakau. Lalu pembicaran dimulai, diterangkan apa maksud maanta sirih (mengantarkan sirih) kepada karib dan sobat, lalu kaum pihak penganten yang akan kawin, basirih-sirihkan dan sirih-manyirih. Lamak sirih lega carano, lamak kato dilega bunyi (Idrus Hakimi Dt. Rajo Penghulu, 1978:12).
Fungsi carano sebagai syarat dalam upacara mamanggia (memanggil marapulai) adalah simbol kemuliaan marapulai (manten lelaki). Ia akan basumando (bersemenda, bertamu) ke rumah mamak yang beradat, maka hak dan kehormatannya sepanjang adat untuk dijemput oleh pihak mamak-rumah (saudara laki-laki ibu mertua) dengan carano.
Isi carano berupa sirih langkok (lengkap), di dalamnya tersimpan sebuah pesan kaum keluarga anak daro (penganten wanita) kepada kaum keluarga marapulai (penganten pria).
Pesan itu intinya, semua yang terbaik dimiliki pihak keluarga anak daro, dipersembahkan kepada pihak keluarga marapulai, diawali dari carano dan isinya satu persatu sirih langkok.
Sirih lengkap dimaksud adalah sejumlah sirih tersusun dilengkapi dengan bahan untuk memakan sirih, di antaranya berupa pinang, kapua (sadah), gambir dan tembakau. Sirihnya diidentifikasi dalam pateta petiti adat:
di lotong pada sirihnya, sirih tambalan kuku balam (tekukur), gagangnya berbatang putus, buahnya intan dengan podi (permata indah), bunga lada basaluak (melingkar) batang, buah diambil ketanaman, daun diambil ke gusuak (gosok) mandi.
Ada 4 sirih sekapur, berasal dari orang nan-4 fungsi keluarga anak daro dan ditujukan kepada orang nan-4 jinih fungsi dalam keluarga marapulai (baca Amir MS, 1999:31).
Pinang pada sirih lengkap diidentifikasi sebagai pinang batatak (dikupas) nan batuntun (bertuntun), bak dasun di belah dua, bak bawang dibelah empat, batangnya nan linggarayun, setahun tupai (bajing) mamanjatnya, jatuh ke bawah manjadi embun, bernama si Ambum Suri.
Sadah pada sirih lengkap diidentifikasi dari langkitang (siput) padang, dibasuh (dicuci) di air embun, di abu jo lingga Cina, ba kipeh (dikipas) dengan ambai-ambai, putih bagai benak balam (tekukur), dipalik (dicolek) dengan jari manis dan jari tengah, usah kausak (kurang) – makin penuh.
Gambir sirih langkok diidentifikasi buatan sari lamak, sapipie (secarik) jatuh ke sirih, membayang sampai ke muka, lamaknya tinggal di rangkuangan (kerongkongan) dan sarinya naik ke paroman (rupa wajah).
Tembakau sirih lengkap diidentifikasi seperti santo aluih (halus) si damai Aceh, bernama timbakau Jawa, saeto (sehasta) panjang julai leonya (panjang lipatannya) dan harumnya setahun pelayaran.
Sirih lengkap disertai bingkisan, isinya selain pakaian penganten, juga beras dalam gambut, duit (dulu coin 105), lilin – ambalau (perekat besi) simbol perekat kuatnya tali akad nikah, sapu tangan anak daro simbol kasih sayang, 4 batang rokok dari urang sumando dalam kaum keluarga anak daro dan ditujukan kepada orang nan-4 jinih (fungsi) dalam kaum keluarga marapulai. Dalam rokok 4 batang itu ada pesan komunikasi sambung rasa dan basa basi adat orang sumando manyumando dalam adat Minang.
Sebelum Christoper Columbus membawa bibit tembakau dari Amerika sampai di nusantara ini, sebelum kebiasaan merokok dikenal orang di negeri ini, nenek moyang Minang telah punya kebiasaan manyugih (megkonsumsi tembakau oleh perempuan Minang) dan memakan sirih – pinang. Sepertinya rokok dan sirih – pinang sudah merupakan alat komunikasi masyarakat Minang dalam berbasa basi. Komunikasi basa basi ini ditujukan kepada seluruh anggota kaum keluarga pihak marapulai, dengan mengolah sendiri sirih tersebut sesuai dengan selera masing-masing.
Carano dalam fungsinya sebagai perlengakapan syarat untuk memulai persidangan adat, diawali menyediakan carano untuk memolia (memuliakan) orang-orang nan gadang basa batuah (penghulu/ datuk atau ninik mamak lainnya) disertai rokok dalam gelas untuk mengasihi nan ketek (menyayangi yang kecil) misalnya dalam upacara adat seperti upacara baiyo-iyo (minum kopi malam, memperhitungkan event dan momentum helat perkawinan akan dilangsungkan). Muncul ungkapan: sebelum kata dimulai/ kok kerja kan dikakok (dipegang)/ sebelum pesan disampaikan/ sirih ke tangahkan tampek rokok/ muliakan nan gadang (besar) kasihi nan ketek (keci). Memulia yang besar (penghulu/ datuk atau ninik mamak) dengan cara menempatkan carano di depan mereka duduk dan airnya di gelas pakai tadah dan ditutup, mengasihi yang kecil (anak kapanakan dan undangan yang muda) dengan cara menempatkan rokok dalam gelas disertai air tanpa tadah dan tidak ditutup.
Kalau tidak ada carano atau kurang jumlah carano dan tidak merata di depan penghulu, maka timbul silang dan pertanyaan adat akan a lot: kok batalau paneh di rimbo (kok tidak merata cahaya di hutan).
Kalau tidak terjawab bisa susah pelaksana helat (silang nan bapangka karajo nan bapokok) bahkan bisa perundingan adat dihentikan.
Tapi kalau bijak menjawab, betenggang di nan sampik, dicukuikan ateh nan kurang, perundingan helat bisa dilanjutkan. Elastisitas adat ada, justru satu carano bisa diletakan di tengah orang banyak dalam karapatan adat, asal perundingan selesai.
Carano masih kuat fungsinya sampai sekarang sebagai perlengkapan adat Minang. Simbol nasib baik, kalau lagi mujur baselang (banyak) carano datang.
Simbol penghormatan terhadap orang-orang besar dan bertuah, yakni penghulu (datuk atau ninik mamak lainnya) di daerah inti Minang Luak nan-3 (Tanah Datar, Agama dan 50 Kota) atau raja (datuk atau ninik mamak lainnya) di daerah rantau Minangkabau (Pesisir Pantai Barat Sumatera, dari Natal sampai Mukomuko) atau Pesisir Pantai Timur Sumatera (Kuntu Kampar, Sabak) bahkan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia dan Alor di Malaka yang melaksanakan adat Datuk Perpatih nan Sabatang, dll.
Carano juga masih dominan tingkat keterpakaiannya sampai sekarang di dalam penyambutan tamu pada acara serimornial Sumatera Barat terutama untuk memuliakan preseance yang fungsi sosialnya lebih tinggi (tamu VIP). Demikian vitalnya carano dalam adat, Rajo Alam di Minangkabau pun disimbolkan sebagai carano
Halaman : 1 2