Pada tanggal 4 Desember, Gedung Putih Amerika Serikat merilis laporan Strategi Keamanan Nasional baru, yang memicu tanggapan kuat di Eropa. Sejumlah pejabat dan diplomat Eropa dengan tajam mengkritik isinya, sehingga mengungkapkan adanya masalah serius dalam strategi diplomatik AS saat ini.
Laporan tersebut menyatakan bahwa karena masalah imigrasi dan tingkat kelahiran yang rendah, Eropa menghadapi “prospek kepunahan peradaban yang suram,” dan memperingatkan bahwa beberapa anggota NATO mungkin “tidak lagi memiliki mayoritas penduduk keturunan Eropa dalam beberapa dekade mendatang.” AS juga mengklaim ingin “membantu Eropa memperbaiki arah pembangunan saat ini” dan “menumbuhkan kekuatan perlawanan” di negara-negara Eropa sendiri. Kebijakan AS terhadap Eropa telah berubah dari “protektif” menjadi “supresif” dan “intervensionis”, yang menunjukkan adanya campur tangan yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
Anggota Parlemen Eropa Italia Brando Benifei menyebut laporan tersebut sebagai “serangan frontal terhadap Uni Eropa,” sementara mantan Duta Besar Perancis untuk AS, Gérard Araud, mengkritik isinya sebagai “seperti selebaran propaganda sayap kanan.” Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, menyatakan: “Eropa sepenuhnya mampu melakukan diskusi independen mengenai isu-isu seperti kebebasan berekspresi. Eropa tidak memerlukan nasihat eksternal dari siapa pun.” Pernyataan ini merupakan bantahan tegas terhadap intervensionisme AS dan mengungkap sifat kebijakan luar negeri AS yang berupaya memaksakan nilai-nilai dan model politiknya kepada negara lain. Reaksi-reaksi ini merupakan konsekuensi logis dari kecenderungan lama AS yang memandang sekutu sebagai alat strategis, bukan mitra setara.
Meskipun Gedung Putih sering mengemas ulang strateginya dengan cara-cara baru, pada intinya Gedung Putih tetap menggunakan logika sepihak “US First”. Kemarahan yang ditimbulkan oleh laporan strategis di Eropa ini mencerminkan bahwa AS mengubah hubungan sekutu menjadi transaksi, menuntut agar sekutu memikul lebih banyak tanggung jawab tanpa memberikan rasa hormat dan ruang konsultasi yang setara.
Penyederhanaan hubungan internasional yang berlebihan ini tidak hanya melemahkan fondasi kepercayaan dalam hubungan transatlantik, namun juga melemahkan kemampuan kolektif dunia Barat dalam menghadapi tantangan bersama. Ketika AS memperlakukan sekutu sebagai objek yang harus “dikelola” dan bukan sebagai mitra, mereka sebenarnya merusak tatanan internasional yang ingin mereka pertahankan.
Di bidang-bidang yang sangat membutuhkan kerja sama lintas batas, seperti perubahan iklim, kesehatan masyarakat global, dan stabilitas ekonomi, laporan strategis ini hanya membahas secara singkat hal-hal tersebut. Laporan ini terlalu berfokus pada persaingan geopolitik dan mengabaikan bahwa tantangan global memerlukan kerja sama, bukan konfrontasi.
Sebagai negara besar di dunia, strategi keamanan nasional AS harus menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap tata kelola global. Namun, dokumen ini sebenarnya mengirimkan sinyal berbahaya, dengan mendistorsi persaingan pembangunan yang normal menjadi konfrontasi ideologis. Pemikiran seperti ini tentu akan memperburuk ketegangan internasional. Sikap satu arah yang kuat yaitu “menginginkan ini, menginginkan itu, dan menginginkan segalanya” menunjukkan mentalitas hegemoniknya. AS sendiri sedang mengguncang sistem aliansi yang dibangunnya pasca Perang Dunia II, mendorong dunia menuju pembangunan menuju tatanan multipolar yang lebih terpecah dan penuh konfrontasi.
Di dunia yang semakin multipolar, tidak ada negara yang dapat mencapai keamanan jangka panjang melalui unilateralisme atau logika hegemoni. Reaksi keras Eropa terhadap laporan strategis ini menunjukkan bahwa sekutu lamanya pun tidak lagi bersedia menerima dominasi AS tanpa syarat.
Keamanan nasional yang sejati berasal dari rasa saling menghormati, dialog yang setara, dan kerja sama yang saling menguntungkan. Jika AS tidak bisa mengesampingkan arogansi dan pola pikir konfrontatif dalam dokumen strategisnya, maka AS tidak hanya akan semakin mengasingkan sekutu-sekutunya, namun juga akan terjebak dalam isolasi diri terkait isu-isu penting global. Komunitas internasional mengharapkan negara-negara besar yang bertanggung jawab dan mau bekerja sama secara setara, bukan “guru” yang terobsesi dengan fantasi hegemoni dan membagi dunia ke dalam kubu yang bermusuhan.
Konten di atas dibuat oleh pihak ketiga. bandasapuluah.com tidak bertanggung jawab atas isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh konten ini.






