Sekitar tahun 1963, seorang pelajar Muhammadiyah yang tinggal di rumah kos di Kelurahan Balai-Balai, Kecamatan Padang Panjang Barat dekat Masjid Jihad bernama Soekarta Fuadin gundah melihat anak-anak di sekitar tempatnya tinggal.
Pemuda yang berasal dari Alahan Panjang, Solok itu ingin anak-anak di sekitar tempat tinggalnya tak hanya sibuk bermain, tetapi menjadi orang yang berilmu.
Karena hal itu, terlintaslah di pikiran Soekanta untuk mengajak mereka belajar di masjid seminggu sekali, di waktu Subuh. Soekarta berharap apa yang dia ketahui, maupun ilmu yang diperoleh dapat dikembangkan.
Singkat cerita, anak-anak yang awalnya sedikit, mengikuti didikan Subuh, lama-kelamaan menjadi banyak. Sejumlah pemuda dari berbagai kalangan dan pendidikan waktu itu bersama Soekarta membangun gerakan Didikan Subuh. Berbagai dukungan pun datang. Anak-anak itu bahkan diajari bermain drum band di siang harinya, sebagai penarik hati ke masjid.
“Waktu Didikan Subuh, kami diajari hafalan ayat Al Qur’an, Hadist, pidato, sajak/pantun. Ini sangat berkesan bagi kami. Didikan Subuh di sini memberikan motivasi kepada kami menjadi pribadi yang mencintai masjid, pribadi yang percaya diri. Di Masjid Jihad inilah Didikan Subuh itu pertama kali tercetus tahun 1963 silam,” kata H. Asrizal Aziz (65), yang mengikuti Didikan Subuh di Masjid Raya Jihad di tahun tersebut.
Dikatakan Pengurus Masjid Jihad itu, masjid-masjid di Padang Panjang akhirnya mengikuti Didikan Subuh yang diterapkan di Masjid Jihad. Hingga akhirnya Didikan Subuh menggema sampai ke berbagai daerah di Sumbar. “Didikan Subuh sempat terhenti tahun 1965 saat ada pergolakan. Didikan Subuh bangkit kembali di tahun 1967 sampai saat ini,” pungkasnya.