Harimau Itu Bakamula: Tahu Salah – Benar
Harimau tak semena-mena dengan manusia. Binatang yang malu melihat manusia. Faktanya disebut orang peladang: Harimau tidak berani memandang kening – wajah orang. Bila melihat orang ia menekur. Tapi kalau terusik dan marah, bisa ia mengambil jalan salah dan menjadi salah. Karena saking marahnya, dapat saja menerkam orang yang mengusiknya.
Harimau, kalau mau menerkan orang, biasa kata orang Minang dari tengkuk. Yang ditangkapnya yang mengusiknya, “telompat mulut” alias takbur, apalagi kata orang tua punya pusar di tengkuk. Ia pun tak berni menerkam dari depan seperti menerkam binatang buruannya, karena tak berani menatap wajah manusia. Tetapi bila ia menagkap binatang ternak apalagi orang, ia tahu salah.
Kalau harimau Bila harimau sudah melakukan kesalahan dan bersalah, biasanya prilaku harimau sportif. Ada dua bentuk sportifitasnya. Pertama ia langsung menyerahkan diri. Kedua tidak mengelak dipanggil oleh Tunganai dengan “mailaukannya” (dipanggil dalam upacara bailau memanggil harimau). Ia sportif menyerahkan diri, karena ia tahu salah. Karenanya orang Minang tahu benar, satu-satunya hewan predator buas, hanya harimau-lah yang punya instink ”bakamula” (artinya tahu salah – benar).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Harimau bakamula. Parnah pengalaman saya sendiri. Saat pulang sekolah kelas IV SD. Menyusul nenek ke ladang Batu Joang. Sekitar 3 km. Sendirian. Begitu sampai di Ladang, orang yang baru menyusul ke ladang, berkhabar. Tidak lama saya terdorong ke ladang, di belakang saya, harimau menangkap lembu. Persis di jalan yang saya lalui tadi. Berarti saya kucing-kucingan dengan Harimau. Ternyata harimau bakamula, Tahu yang salah benar. Saya selamat, karena kenyamanannya tidak terusik
Karenanya spirit keyakinan Minang tahu alam di samping tahu Tuhan, “tidakkan harimau memakan manusia, kalau…”. Apa “kalaunya” ? Kalau, kenyamanannya tidak terusik dengan mencari-carinya ‘takbur”. Kalau habitat (rumah alamnya hutan) tidak terganggu! Sarangnya “gua” tak dirampas dan istananya “hutan” tetap lestari tak digundul (deforestasi) yang membuat kenyamanannya terusik. Kalau terganggu dan terusik…, itu tadi, harimau akan marah dan “ngamuk” , istilah rang kampung “harimau manggarang” (mengganas).
Jaga Hutan dan Harimau: Amanat Nilai Minang
Sebab itu pula, orang Minang dibekali nilai karakter budaya “Adat basandi Syara’ (adat ber-sandi Islam)” kemauan konservasi hutan rumahnya si raja hutan. Jangankan akan menggundul hutan lebat sembarangan, rimba di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) di hulu saja, tidak boleh ditebang di Minang.
Hutan DAS tak boleh ditebang itu, jauhnya sebatas “sapahimbauan” (sejauh terdengar suara teriakan). Larangan itu semua, bagian nilai kecerdasan Minang (Minang genius) dalam konservasi alam. Kata orang modern hutan paru-paru dunia dan manusia, sumber mata air, sekaligus kawasan konservasi Harimau Sumatera beristana di hutan.
Harimau Disahabati, Sejak Membuat Nagari
Bayangkan dulu nenek moyang membuat nagari. Mereka mulai dengan mencari lahan baru untu membuat Nagari. Dimulai dari mencari kawasan tahap awal membuat taratak, dusun, korong/ kampuang sentra suku, sampai tahap berikutnya kampung promosi menjadi nagari, setelah cukup penduduknya punya 4 suku).
Mereka nenek moyang mencari lokasi baru untuk membuat nagari baru, melewati tantangan alam yang ekstra keras. Masuk hutan ke luar hutan. Mendaki gunung yang tinggi, menuruni lurah yang dalam, menempuh semak belukar, rimba dan hutan belantara yang angker, menelusuri batang air, menghadang jeram menyeramkan, merenangi danau dan laut lainnya. Tidak terbayangkan binatang besar dan predator buas, yang ada di situ, setiap saat mengancam, tetapi semua binatang besar predator buas itu berhasil disahabati dan menjadi sahabat mereka.
Di jalur darat, tidak pernah terlintas di benak mereka, takut harimau. Justru di darat harimau, menjadi teman mereka. Bersahabat, malah jadi kenderaan darat dan bagaikan tank tempur dalam senjata strategis. Bahkan tak jarang pula banyak orang hebat di kampung, memelihara harimau. Pernah Saya (dkk) ceritakan dalam Buku Himpunan Cerita Rakyat Sumatera Barat, Judul “Ibu Yang Menyusukan Anaknya di Bulan”, editor, Zelfeni Wimra – Wimo, diterbitkan Dinas Parsenibud Sumbar, 2010. Adalah cerita tentang “Harimau Panjang Sembilan Inyiak Jangguik” (ed. Zelfeni Wimra, 2010:85). Juga ada cerita Harimau Panjang Sembilan lainnya di Taluk.
Di Koto Panjang, Taluk Batang Kapas, orang Tua turun temurun sampai ke ayek Haji Kadiran – Ayek Angku Gadang memilihara Harimau Panjang Sembilan, Harimau Panjang Tujuh dan Harimau Singkek. Harimau dipelihara lepas, disahabati dan setia “menangkal ancaman” musuh datang dari luar yang masuk tak diundang ke nagari seperti pencuri dan penjahat lainnya.
Demikian, selain harimau disahabati, juga binatang lainnya di jalur perairan jadi sahabat. Mereka bersahabat dengan buaya dan di laut bersahabat dengan ikan lumba-lumba dan ikan hiu. Hiduplah cerita, di perairan ada cerita “buaya putih dagu(ak)” yang tidur di bawah rumah gadang inyiak penghulu dan raja seperti di rumah gadang Rajo Putiah di Solok Selatan dijaga Puti Intan Jori. Demikian juga di lautan Lumba-lumba dan Hiu menjadi sahabat sekaligus kenderaan di laluan perairang sebagai kapal dan kapal perang.
Juga binatang di udara, seperti burung. Bagi nenek moyang menjadi sahabat sekaligus menjadi pesawat udara bahkan menjadi pesawat tempur. Fenomena ini terdapat pada bagian storyteller “Burung Garudo Kepala Tujuh”, seperti yang melegenda di Mandeh Resort. Ceritanya, mengisahkan “Persiteruan Malin Dewa dengan Raja Portugis disebut “Rajo Sipatoka”. Dengan Burung Garuda Berkepala Tujuh Malin Dewa dapat mengalahkan Rajo Sipatoka (Raja Portugis) itu.
Jadi Hama Pun, Harimau Tak Boleh Dibunuh
Karenanya, dalam nilai adat Minang dahulu, harimau tak boleh dibunuh, meski harimau itu sudah menjadi hama. Ia “menggarang” (ngamuk) menangkap ternak dan mengancam orang yang mengusiknya. Justru, harimau dipelihara untuk mengalahkan hama babi. Artinya harimau menjadi hama tenak, malah oleh orang Minang dulu semakin disahabati dan dihargai. Mereka terus melakukan konservasi habitat dan rumah kenyamanannya “hutan”.
Orang tua Minang berkata, jangankan membunuh harimau, membunuh binatang kecil saja tidak boleh, meskipun sudah menjadi hama. Misal hama tikus dan hama babi lainnya, diajarkan oleh orang Minang tidak melukai dan tidak meracuni untuk membunuh. Karena dalam keyakinan adat bersandi syara’ (Islam) Minang, membunuh seekor semut saja mengurangi “keseimbangan alam” ciptaan Tuhan ini. Dalam pandangan falsafah alam – kosmologi ATJG di Minang:
Melahirkan perinsip pandangan masyarakat Minang bahwa alam itu sakral dan memiliki keseimbangan, mesti dijaga keselarasannya. Harimau sebagai bagian alam hewani buas, yang terkadang seperti manusia juga. Ia dapat melakukan kesalahan dan “mengganas” menimbulkan ketakutan dan kewaspadaan, namun sejatinya ia juga makhluk Allah SWT yang sama pentingnya dengan manusia itu sendiri bagi keseimbangan dan keselarasan alam. Karenanya, kalau manusia mendapat perlindungan, kenapa harimau tidak. Karenanya pula harimau tak boleh dilukai dan dibunuh di Minangkabau, setiap saat penting mendapat perlindungan dari ancaman alam.
Jangankan harimau dibunuh, tikus sekalipun sebagai hama, tak boleh dibunuh. Penanggulanginya dengan ramah, tidak boleh disakiti, diburu dan diusir paksa, apalagi diracuni untuk membunuh. Oleh orang tua, hama tikus itu disuruh pergi secara halus dengan menyebut panggilan kehormatan tikus itu sebagai “puti” (putri). Oiii… puti, menjauhlah dari sawah kami!
Juga demikian hama babi, tidak diusir paksa, tetapi disuruh pergi dengan santun bila masuk padi sawah, dengan menyebut panggilan kehormatannya “orang elok”. Oi… orang elok, pergilah ke hutan belantara sana, jangan dimakan padi kami, kami hanya cari sakit hidup (cari makan)! Ternyata komunikasi petani tua-tua Minang dengan hama tikus dan hama babi termasuk harimau, interaksinya sangat “nyambung” (komunikatif) berkat rahmat Allah SWT.
Saya menyaksikan nenek benama “Nenek Tikar” memondok di sawah dalam kawasan pusako “Sawah Tanjung”, Tanjung Kandis, Taluk Batangkapas. Untuk mengetahui hama babi masuk ke kawasan sawahnya tengah malam, sore hari ia memasang “Palakuik” (teknologi tradisional untuk penanda hama babi masuk). Begitu “bingke” (pesawat pelakuik terlepas otomatis dan menarik talinya saat disenggol babi, maka terdengar dentuman ke dinding pondok sawah), menandai babi telah masuk ke sawah. Biasanya babi itu tak langsung masuk. Mereka mengetahui situasi sekeliling terlebih dahulu. Saat itu nenek keluar pondok dan langsung berkomunikasi dengan hama babi (juga di situasi lain hama tikus). Nenek secara santun berkomunikasi. Menyuruh pergi hama babi itu, seperti kalimat santun ditunjukan tadi.
Ternyata dengan rahmat Allah, komunikasi nenek dengan hama babi itu komunikatif. Bahasanya menggerakkan hati hama babi dan atau hama tikus lainnya. Lalu serta merta hama menghindar dan tidak jadi mengganggu sawah ladangnya. Karenanya sawah ladang nenek menjadi aman, tak dimakan hama tikus dan hama babi. Bagian kearifan lokal dalam pemberantasan hama tidak mesti menyakiti hama apalagi membunuh. Back to nature, berkomunikasi dengan alam.
Beda dengan pemilik sawah sebelah, mereka sering “carut marut” dan mengajak berkelahi babi yang masuk ke sawahnya. Babi tua yang sudah berbulu putih itu mengerti dan menanti sang petani meski membawa golok. Ia menghentakan ekornya ke batang enau, menanti tak gentar. Malah petaninya kemudian ketakutan jadinya dan mundur. Malamnya pada kejadian itu semua padi sawahnya selesai dan lumat, dimakan babi yang tadi diajak berkelahi.
Harimau Penunjuk Arah di Hutan
Nenek moyang dahulu, berkomunikasi dengan binatang. Dengan harimau berkomunikasi bagaikan sahabat. Memanggil dan menyuruhnya pergi dengan santun dengan menyebut panggilan kehormatannya “inyiak”. Sesat dalam hutan, boleh minta bantu mengantarkan ke jalan yang biasa ditempuh pulang ke rumah.
Ayah saya Muhammad Yunus bin Taraan, sebelum jadi PNS di Taluk dikenal sebagai pehutan nomor satu. Putih, tinggi, kekar dan kuat. Kerjanya “menggesk” (istilah menebang dan mengarit kayu) secara tradisional, sebatang kayu saja, tidak habis 6 bulan. Karena kuatnya, ia pernah diculik APRI untuk menyandang Markoni, waktu menyerang Kayu Aro Lautan Api. Suatu kali waktu ia menggesek di hutan, kemalam. Pulang, sesat di jalan. Semua terasa buntu. Ia dan temannya memanggil Inyik. Di nagarinya itu ada Harimau Panjang-9 dan panjang-5 dan Harimau Singkek. Inyiak datang, ditandai ranting-ranting berdetik-detik, bunyi ranting patah. Diikutinya, sampai ke jalan biasa pulang dan selamat.
Ayah saya Muhammad Yunus bin Taraan, sebelum jadi PNS di Taluk dikenal sebagai pehutan nomor satu. Putih, tinggi, kekar dan kuat. Kerjanya “menggesk” (istilah menebang dan mengarit kayu) secara tradisional, sebatang kayu saja, tidak habis 6 bulan. Karena kuatnya, ia pernah diculik APRI untuk menyandang Markoni, waktu menyerang Kayu Aro Lautan Api. Suatu kali waktu ia menggesek di hutan, kemalam. Pulang, sesat di jalan. Semua terasa buntu. Ia dan temannya memanggil Inyik. Di nagarinya itu ada Harimau Panjang-9 dan panjang-5 dan Harimau Singkek. Inyiak datang, ditandai ranting-ranting berdetik-detik, bunyi ranting patah. Diikutinya, sampai ke jalan biasa pulang dan selamat.
Mereka terutama “pehutan” Minang dahulu, tak mesti takut harimau. Justru mereka berupaya mengerti bahasa alam dan membaca tanda dengan arif, termasuk paham bahasa harimau dan binatang buas lainnya. Artinya, harimau disahabati dan saling memahami. Meskipun situasi meresahkan, harimau sedang “mengganas” menangkap ternak, mereka punya cara tidak mengatasinya. Harimau bukan dicari, diburu untuk membunuhnya. Kalau tidak datang dengan sendirinya “menyerahkan diri”, di lain kesempatan harimau itu diundang dengan cara “bailau memanggil harimau” yang bersalah menangkap harimau itu.
Artinya mereka cukup berkomunikasi dan berdialog baik menyuruh harimau itu datang atau mengusirnya dengan santun. Kalau menyuruh menghindar, karena khawatir terus mengganggu atau menjadi hama ternak, maka mereka mengatakan dengan pembahasaan begini: Oooiiii inyiak, menghindarlah dari ladang dan kampung kami, kami tidak mengganggu, kami hanya mencari sakit hidup (kebutuhan hidup). Menghindarlah! Biasanya harimau yang berjarak dekat, memberi respon, ia mengaum dan pergi.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya






