Saat ini, hampir semua putra-i terbaik Pesisir Selatan berkesempatan menjadi bupati di Kabupaten Pesisir Selatan. Namun, dizaman Orde Lama ataupun orde baru kesempatan itu tidak seterbuka sekarang bagi orang asli Pesisir Selatan. Pengaruh pusat begitu kental terasa dan proses demokrasi tidak sebagaimana kita rasakan saat ini. Bupati Pesisir Selatan pertama dari putra daerah Pessel adalah Mohammad Zaini Zen. Siapakah Mohammad Zaini Zen itu?
Mohammad Zaini Zen lahir pada 21 Desember 1923 di Bangko, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Ia anak ketiga dari Pasangan dr. Mohammad Zen dan Siti Darsiah.
Sebagai anak seorang dokter, Zaini Zen kecil harus menjalani hidup dengan berpindah-pindah. Hingga tahun 1931, ia dibesarkan di dua tempat, yakni; Muaro Tebu, Bangko dan Sawahlunto. Selepas itu ia harus ke kampung halamannya di Painan. Dikarenakan ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan ketika membawa korban kecelakaan tambang di Ombilin menuju Padang.
Menginjak usia 12 tahun, ia kembali berpindah tempat tinggal. Kali ini, ia bertempat tinggal di ibukota Jakarta. Dulu daerah yang ditinggali Zaini Zen itu bernama Jalan Kenanga sekarang daerah itu lebih dikenal dengan Jalan Senen Raya. Rumah ini merupakan rumah keluarga Moh. Zen ketika bersekolah di STOVIA dulu.
Di Jakarta, Zaini Zen dikirim untuk melanjutkan pendidikannya. Ia bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah menengah pertama pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Sekolah itu berada di jalan Kwini Jakarta sekarang dan hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah mereka di Jalan Kenanga.
Setelah tamat dari MULO, Zaini Zen pergi merantau ke Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau Riau. Ia ikut dengan pamannya Moh. Zen, saudara dari ibu Zaini Zen, Siti Darsiah. Pamannya ini memiliki kesamaan nama dengan ayahnya, Moh. Zen.
Melalui sebuah surat yang pernah dikirimkan kepada ibunya di Painan, diketahui Zaini Zen bekerja dengan upah f100 atau lebih perbulan. Surat itu tertanggal 16 Maret 1942. Saat itu, Jepang telah menduduki Indonesia. Surat itu bercerita tentang kepahitan hidup ibu dan saudaranya saat rumahnya disita oleh Jepang.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Zaini Zen masih bertahan di Tembilahan. Sebagai seorang yang tamatan MULO, ia memiliki kesempatan untuk menjadi tentara Giguyun atau Tentara Peta. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Ia mendaftarkan diri sebagai tentara Giguyun atau Tentara Peta. Ketika diterima, ia mendapatkan pangkat sebagai Letnan.
Setelah Jepang bertekuk lutut pada Sekutu,