AA Navis, Sang “Satire Ulung”

Redaksi
31 Jan 2020 10:43
Tokoh 0 38
4 menit membaca
Haji Ali Akbar Navis adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia  dilahirkan di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 17 November 1924.

Ia anak pertama dalam keluarganya. Ayah A.A.  Navis berasal dari Koto Anau, sebuah kampung dekat Gunung Talang, Kabupaten Solok. Nenek moyang ibunya berasal dari Jawa dan menetap di Bengkulu. Ayah dan ibu A.A. Navis bertemu di Padang Panjang. Jadi, A.A. Navis adalah turunan dari dua suku bangsa yang merantau ke berbagai daerah dan akhirnya menetap di Padang Panjang.

Semasa kecil, A.A. Navis tinggal bersama kakek dan mande tuo, kakak ibunya. Mereka tinggal di Kampung Jawa, Padang Panjang. Dimasa kanak-kanak itu , A.A Navis suka sekali main sepak bola. Badannya yang kecil dan kerempeng tak menghalangi keinginannya untuk bermain bersama teman. Dia bermain karena suka, bukan untuk prestasi. Kemampuannya bermain sepak bola tidak terlalu menonjol.

A.A. Navis  lebih dikenal sebagai seorang pengarang karya satra ketimbang seorang pejuang kemerdekaan, anggota DPRD, dosen, dan penulis buku ilmu pengetahuan. Dalam menulis, ia telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antalogi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Melalui kemampuannya dalam mengarang, seperti cerita pendek, cerita anak, dan novel yang ditulis, ia memperoleh berbagai penghargaan baik di tingkat nasional maupun internasional. Seperti cerpennya yang fenomenal, Robohnya Surau Kami, terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah, (1955). Bahkan Beberapa karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, Jerman, Prancis, dan Jepang.

Semasa hidup, karena karangan yang ia tuliskan, ia telah mengunjungi berbagai negara dibelahan dunia seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Prancis, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, hingga Arab Saudi. Dalam menulis karya sastra, A.A Navis memiliki banyak penggemar salah satunya adalah Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Ketika Pak Navis sakit dan harus menjalani operasi, Gus Dur yang saat itu menjadi presiden, menjenguknya ke rumah sakit. Begitu tingginya penghormatan presiden terhadap pengarang ini.

Selain menulis karya sastra, Pak Navis juga menulis buku tentang kebudayaan, pendidikan, dan sejarah. Bukunya tentang adat dan kebudayaan Minangkabau dikenal secara luas. Hampir setiap orang yang belajar tentang kebudayaan Minangkabau memanfaatkan buku ini. Buku itu berjudul “Alam Terkembang Jadi Guru”.

Selain menulis buku ” Alam Takambang Jadi Guru”, Pak Navis juga menulis buku tentang sekolah dan pendiri perguruan INS Kayutanam, Sumatra Barat. INS Kayutanam adalah sekolah tempat Pak Navis belajar. Buku itu layaknya penghormatan dan ungkapan terima kasih Pak Navis kepada guru dan sekolahnya. Guru di sekolah itu telah mendidiknya menjadi orang yang tekun dan bersemangat untuk belajar sepanjang hidupnya.

A.A. Navis meninggal dunia di Padang,  22 Maret 2002 di umur 78 tahun. Diketahui A.A. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak bisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Berbasari Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.

Semasa hidup, ia adalah sastrawan yang digelari sebagai “pencemooh nomor wahid” atau “satiris ulung” itu tentu saja berkorelasi dengan gaya penulisan dan penggambaran karakter tokoh-tokoh yang kritis terhadap berbagai persoalan kehidupan dalam karya-karyanya. Dikutip dari Wikipedia.com ,A.A Navis telah menghasilkan beberapa karya yang amat terkenal seperti Robohnya Surau Kami (1955), Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (1970), Dermaga Empat Sekoci (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (editor, 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), Jodoh (1998).

Sebelum dikebumikan sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademikus, dan masyarakat umum melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya; Ketua Pengurus Pusat Muhamadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin, serta penyair Rusli Marzuki Saria.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *