Surantih dalam Puisi | Indrian Koto

Redaksi
10 Jan 2022 13:51
Sastra 0 164
3 menit membaca

Perjumpaan

kami berfoto di teras rumah setengah kayu setengah setengah tembok
yang dibangun saudara ayah yang tak kupaham betul jalur silsilahnya
di belakang rumah, sungai besar menghantam batu
lubuk beriak di bawah jembatan kawat milik peladang dan kampung seberang.

nenek, masih dengan senyum yang sama saat bertahun lalu kutemui
kerabat ayah yang belum kupaham alur jalinnya
jalanan masih batu dan berlumpur ketika hujan
dalam rumbunan bukit barisan

perempuan yang kupanggil kakak dengan senyum pahit bercerita
anak tertuanya baru meninggal dari perantauan dan meninggalkan
seorang cucu untuknya
sementara bangku ini masih yang lama, angin yang sama, tikar yang sama
sejak kedatanganku terakhir kali

di kampung asal ayahku
di antara kerabat yang berhati hangat di musim hujan
kami bercakap tentang yang lampau tentang yang jauh
bahwa hampir tak ada yang berubah selain usia
bahwa mereka lebih hapal negeri tetangga
dibanding ibu kota negeri sendiri

kami berfoto bersama, yang tersisa
dari seluruh garis leluhur yang tak penting untuk diurai
tak akan ada potret keluarga yang lengkap
sebab kami telah menjelma dengan silsilah yang sama rumitnya

kami berfoto, sebagai kenangan yang tak selalu bisa diulang

Langgai, 2018

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *