Luka Sebelum Sarjana

Redaksi
24 Jan 2020 23:58
Sastra 0 18
3 menit membaca

 
        Seorang yang lembut hatinya lagi sederhana. Anak seorang  pekerja keras. Sekarang sedang menyusun skripsinya. Namanya Aziva Zulkarnain. Ditengah kesibukannya dengan gelar sarjana sains Indonesia jurusan fisika, menyempatkan diri untuk membantu bisnis orangtuanya dibidang pertanian. Hari ini,ulang tahunnya ke 20. Terbilang muda, karena terlalu cepat menginjakkan kaki di bangku sekolah. Keluarganya berencana memberinya kejutan. Orangtua dan adiknya berkunjung ke kota padang tempatnya mengais ilmu. Mereka dengan senang hati menyewa mobil suapaya bisa sama sama merasakan hari yang penting itu. Lalu siapa sangka? Ditengah perjalanan menuju padang hujan sangat lebat, jalanan begitu licin hingga mobil yang mereka tumpangi terpeleset ke jurang. Tak ada yang selamat, kecuali adik kecilnya yang berumur 4 tahun mengalami koma dan pendarahan dikepala.

       Tiba-tiba saja hatinya merasa buruk. Detak jantungnya seakan telah menyampaikan kabar itu. Sesaat sebelum seorang lelaki menelponnya.
“Assalammualaikum. Iya om?”. Tanyanya kepada seorang diseberang telpon.

 kamu dimana?”.
“ Saya lagi dikampus om, mau acc judul skripsi”
“Pulangnya jam berapa?”
 “Ada apa om? Kok om nanyanya begitu?”
“ Saya mau minta tolong temenin kerumah sakit, bisa ngga?”
“ Siapa yang sakit om? Iya bisa om”
“ Saya jemput sekarang” tutttt tutttt tuttt. Seseorang menutup telponnya cepat.

       Mobil BMW silver telah meluncur tepat didepannya. Lalu dia masuk kedalam mobil. Om nya hanya diam, lalu bergerak cepat. Sesampainya dirumah sakit, mereka menaiki tangga. Masuk keruangan yang penuh dengan bau darah segar.

“ kenapa kesini om?” tanyanya gusar.
Samudera dipelupuk mata adit seakan menjelaskan segalanya. Matanya kian sembab dan merah, lagi lagi dia menangis melihat keponakannya.

“Mak dan Ayah sudah tidak akan jumpa kita lagi, Adik bungsumu di UGD”

       Ternyata hidup tidaklah selalu indah. Daun pohon tidak selamanya hijau. Begitu pun ranting kayu, sekuat apapun akan patah. Apa sudah cukup? Belum. Sekarang hari-harinya dirumah sakit, menunggu kabar baik adiknya yang belum juga bisa melihatnya. Dia harus berjuang siang dan malam membiayai dan merawat adiknya. Mempersiapkan diri untuk ujian skripsi. lingkaran hitam dibawah matanya bertambah parah. Melihat orang dari kejauhan pun mulai susah. Hari ini, ujian skripsinya, dia menitipkan adiknya pada Omnya. Dia menaiki angkot, sendirian sambil membawa tas dan map biru ditangannya. Rasanya tak lagi berdaya, namun dia berusaha tersenyum meski bibirnya sudah kaku. Ditengah perjalanan, telponnya berdering. Mendapatkan kabar bahwa adik yang ditunggunya berminggu-minggu tidaklah bisa menemani hari-harinya. Lagi dan lagi luka itu begitu nyata. Sepahit itu kah? Apa tidak bisa memilih? Hatinya tak  mampu menahan. Tanpa terasa gemetar tubuhnya menjatuhkan sebutir demi sebutir air di pelupuk matanya. Hilang pelipur lara. Dia benar benar sendiri untuk hari yang panjang. Bahkan untuk gelar sarjananya.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *