Rabab Pasisia

Redaksi
2 Mei 2020 03:57
Sastra 0 17
3 menit membaca
sultan indra

Ilustrasi Rabab Paisisia ( Bandasapuluah/ Riri Tri Utami )


“Pasisia Salatan Hebat!” Katanya. 

“Hebat dalam bidang kelambatan!” Kata saya. 

Lalu, bapak itu ngomel di balik meja yang basah. Lidah dasinya menjilati api yang membakar lahan danj mengeringkan bibir-bibir sungai dengan proyek galian C.

Baca juga: Bus dan Lapau Nasi 


Suatu ketika, sebuah kampung hanyut ke hulu. Disesap penderitaan, satu persatu jerit kesakitan menjadi pesona sepanjang pantai tak bertuan. 

Sultan merantau. Orang-orang bermata sipit dikandangkan di Balai Selasa, beberapa orang lainnya di PT. Incasi Raya memperkosa tubuh sawit yang terlanjur tua. Semenjak Indropuro sampai Lunang Silaut, minyak-minyak berceceran pengganti peluh rapuh. Mandeh Rubiah sujud di atas sajadah tikar pandan dan menjalin pucuk doa ke tangga langit. Hamparan sawah kehilangan jenjang di betis-betis bukit dan bidang di dada Linggo kelihatan tulang kehancuran. 

Baca juga: Membeli Beras, Bentuk Parasaian Hidup


Banda Sapuluah mengemas kisah itu dalam rabab sepanjang malam. Lakonnya hijrah dengan kaki serawah berhisbal ke Painan; dataran rawang yang menelan seringai tawa lalu pura-pura pucat menatap bulan. 

Air Haji, kehilangan mata air; bukan zam-zam dari Arab. Penghulu menjualnya dengan derigen usang dan sebagian batunya menjadi penguat pondasi saku-saku. 

Sirangkak nan Badangkang, berjalan mundur; surut dari kemajuan zaman. Ombak membawanya dalam ayunan tanpa pesona. 

Baca juga: Dendang Membara Pirin Bana


Buayo Putiah Daguak, kehilangan taring menjaga rawa dari serbuan bangunan jalan, bermenung sendiri menopang dagu memperhatikan dipan tempatnya tidur beraspal panas. 

Durian ditakuak Rajo berbuah simalakam tengah malam, bunganya runtuh ke dalam deposit keuangan nagari yang kritis, musim krisis tiba dan ladang-ladang kehilangan akar tempat bergantung. 

Persis di tugu Adipura, ada kelaparan yang kian merajalela. Air mata terjaring dalam pukat kisah lalu, di jemur sepanjang pantai pesisir menjadi sisik-sisik kehilangan kilap. 

Baca juga: Jambau Terakhir


Ini kisah dari sebatang rabab malam yang menggugurkan segala bentuk tanda-tanya. Pesisir kehilangan tuah sebagai lauik sati dentuman dabua ombak pasisia tidak lagi sebagai penanda negeri bijak, entah dalam bahagia terlebih di tengah bencana. 

Orang rantau raun sabalik membawa ota di lepau-lepau media sosial, meng-copy kaba si orang lalu yang entah berkepala sebagai kampanye terselubung. 

Sebuah Cerpen: Angin Kenangan


Pesisir Selatan, seribu jembatan ditutupi slogan sejuta pesona. Tidak lagi mampu menjadi jembatan hati di negerinya sendiri namun, sebagai rantau bagi kisah pencari jati diri. 

Siapakah Sultan yang tak kembali? 
Adakah Sultan kembali menitah negeri yang terlanjur memanen hutang sejarah kekayaan berlimpah ruah? 

Sebuah Cerpen: Samsul dan Samsir


Agaknya, ungkapan  lauik sati rantau batuah hanyalah sebagai dendang sitawa sidingin dalam perhelatan pendekar-pendekar yang memburu kompetisi sekali 5 tahun belaka. Bukan untuk panyilau tapian mandi dan mambaok parubahan untuak kasajahteraan. 

Sulthan Indra, penulis kelahiran 1982, asal Air Haji, Pesisir Selatan, Sumbar. Beberapa tulisan puisinya pernah mengisi media-media masa dan aktif memberi pelatihan kepenulisan di beberapa wilayah baik Sumbar maupun di luar Sumbar.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *