Dahulu di zaman Orde Lama loyalitas orang masih kepada ideologi. Masyarakatpun terbagi-bagi berdasarkan ideologinya; Islam, Kapitalisme, Sosialisme. Dalam tataran politik praktis suara kelompok Islam diwakili oleh Partai Masyumi (plus Partai NU pasca pisah dari Masyumi, Perti dan lainnya), kelompok nasionalis oleh PNI, kelompok Komunis oleh PKI.
Memasuki zaman Orde Baru setelah kebijakan fusi partai-partai yang ada, partai-partai Nasionalis dilebur kedalam PDI, partai-partai Islam kedalam PPP, serta Golongan Karya. Loyalitas masyarakat beralih kepada partai. Masyarakat melihat dari partainya dulu, baru mekanisme internal partai yang akan menentukan wakil-wakil mereka yang akan duduk di pos-pos terkait.
Semenjak era reformasi, loyalitas tersebut bergeser lagi kepada sosok. Orang melihat siapa dulu individunya, tidak peduli dari partai mana. Oleh karena itu, muncul fenomena “kutu loncat”. Banyak politisi yang gonta-ganti partai tanpa ada beban ideologis. Karena toh realita era reformasi, batas dan beda partai nasionalis dengan partai Islam itu cuma tertinggal pada AD/ART atau platform partai saja. Dalam mekanisme kerja, nilai-nilai yang diperjuangkan, serta narasi yang dibangun sudah sulit dibedakan. Koalisi diantara mereka makin cair, berseteru di tingkat pusat bisa bersekutu di tingkat daerah. Termasuk kasus-kasus yang menimpa partai nasionalis seperti korupsi, perpecahan internal dan sebagainya juga menimpa partai Islam.
Istilah partai Islam dan partai bermassa Islam juga terasa nisbi. Memangnya partai-partai nasionalis murni massa mereka juga bukan mayoritas Islam? Dengan demikian, seyogyanya faktor ideologi sampai kapanpun jangan diabaikan begitu saja. Sebab benturan peradaban termasuk ideologi adalah suatu keniscayaan.
Otonomi daerah dari tahun 1999 ditambah praktik pilkada langsung mulai tahun 2004 pada satu sisi telah membuka peluang bagi siapapun ikut berpartisipasi, terutama putera daerah bersangkutan. Sejak keran itu dibuka, ramai orang berhasrat, minimal mendambakan dalam hati, moga-moga kelak dia jadi Bupati, Walikota, atau Gubernur. Seolah Bupati atau Walikota semacam puncak karir idaman bagi mereka.
Salah satu residu dari praktik di atas yaitu bermunculannya fenomena politik dinasti. Politik dinasti adalah praktik kekuasaan politik yang diupayakan beredar diantara orang yang masih memilihi hubungan keluarga. Hubungan keluarga itu bisa berupa Suami-Isteri, Ayah-Anak, Kakak-Adik, Mertua-Menantu, Paman/Bibi-Kemenakan.
Benih politik dinasti tersebut sebenarnya sudah bersemai lama dalam sejarah peradaban manusia. Dari dahulu di banyak tempat dan kebudayaan berlangsung patrimonialistik; mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis daripada meritokrasi. Kini bisa kita istilahkan dengan neo-patrimonialistik, lantaran unsur-unsur lama tapi dikemas dengan strategi baru melalui politik prosedural.
Dalam beberapa contoh kasus unik politik dinasti yang menarik buat kita telaah misalnya, pertama: Isteri Pertama dan Istri Muda Bupati Kediri sama-sama maju bersaing pilkada 2010 lalu guna melanjutkan estafeta suaminya sebagai petahana. Kedua, Hj. Anna Sophanah yang menjadi Bupati Indramayu setelah dua periode suaminya Dr. Irianto (Kang Yance) selaku Bupati. Anna akhirnya mundur dua tahun sebelum masa pemerintahannya berakhir karena alasan keluarga. Ketiga, Atty Suharti menjadi Walikota Cimahi menggantikan Walikota sebelumnya yang tidak lain ialah suaminya sendiri Itoc Tochija. Malang keduanya ditangkap bersama karena kasus korupsi.
Peralihan kekuasaan kepada lingkar dalam keluarga atau pelibatan keluarga dalam area kekuasaan tidak selamanya buruk, selama mereka memang memiliki kemampuan dan integritas. Kemudian telah melalui cara-cara yang sah dan wajar.
Sekarang bagaimana dengan Pessel? Bupati Pessel H. Hendrajoni, M.H sebagai petahana akan maju kembali di periode kedua. Rasanya hanya keajaiban bila dia tidak maju. Sementara isterinya Lisda Hendrajoni sudah terlebih dahulu memastikan status sebagai anggota DPR RI. Bahwa Lisda telah mencoba berbuat dan memberi sesuatu bagi rakyat Pessel itu merupakan fakta. Namun, antara Lisda dengan rakyat Pessel, sesungguhnya siapa yang lebih banyak memberi siapa pula lebih banyak menerima manfaat, itu masih tanda tanya?
Selaku Bupati petahana, H. Hendrajoni, M.H bukan sekedar kemungkinan besar maju, bahkan punya kans untuk menang pilkada. Andai itu terjadi, maka akan berpeluang muncul panorama politik baru di Pessel (belum ada sebelumnya) dengan ejawantah dilema fungsi dan peran sebagai isteri Bupati sekaligus anggota DPR RI.
Betul bahwa politik adalah seni kesempatan, politik juga siasat. Akan tetapi tidak elok semua kesempatan perlu diambil dan semua seakan bisa disiasati. Kekhawatiran beralasan kita, bila dilema tersebut naik kelas menjadi conflict of interest, lalu berujung pada tragedi. Siapa berani menjamin problema yang menimpa Anna Sophana, Atty Suharti, atau sejawat mereka di daerah lain tidak akan terjadi di Pessel? Alhasil, semuanya kembali kepada rakyat Pessel sendiri menyikapi.
Andre Husnari