Beban Berat Seorang Datuak, Jika Melanggar Dikutuk Al-Qur’an 30 Juz

Jumat, 25 Juli 2025 - 20:20 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

BANDASAPULUAH.COM – Menjadi datuak atau pangulu di Minangkabau bukanlah perkara seremonial belaka. Di tengah kehidupan masyarakat Minangkabau yang kental dengan adat dan agama, keberadaan seorang datuak atau pangulu memegang peranan sentral memimpin kaum dan nagari.

Ini adalah posisi adat yang mengemban amanah besar, penuh tanggung jawab dan tuntutan moral tinggi. Ia bukan sekadar pemimpin simbolik, tetapi pemikul tanggung jawab yang luar biasa besar terhadap kaum, suku, nagari, bahkan terhadap tatanan sosial dan religius masyarakat.

Ia adalah pemimpin kaum, penjaga marwah suku, pelindung anak kemenakan, pelindung sako pusako salingka kaum: kehormatan gelar dan tanah ulayat

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menjadi seorang datuak tidaklah mudah. Ia menjadi tempat bertanya, tempat mengadu, sekaligus penentu jalan terbaik bagi persoalan yang mendera anak kemenakan.

Mulai dari persoalan tanah ulayat, warisan, sengketa rumah gadang, perselisihan keluarga, hingga urusan agama dan hukum adat—semuanya berada di bawah tanggung jawabnya. Jika ia lalai atau abai dalam menjalankan amanah itu, maka ancaman sumpah adat menantinya.

Tak heran, banyak niniak mamak enggan menerima gelar datuak. Sebab, sejak zaman dahulu, sumpah yang menyertai pengangkatan datuak begitu berat. Satu frasa dalam sumpah itu bahkan menggambarkan betapa besarnya konsekuensi jika seorang datuak lalai terhadap amanahnya:

“Diateh indak bapucuak, dibawah indak baurek, ditangah-tangah digiriak kumbang, dikutuk Al-Qur’an 30 Juz.” Artinya, “ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah digerogoti kumbang, dikutuk Al-Qur’an 30 Juz.”

Baca Juga :  Kerajaan dan Perspektif RUU Kerajaan (2): Rajo Berkerajaan dan Rajo di Nagari Berajo

Ini adalah bentuk kutukan adat yang diyakini akan memakan datuak yang mengingkari tanggung jawabnya

Mengapa Beban Itu Berat?

Fenomena hari ini cukup memprihatinkan. Dalam banyak prosesi pengangkatan datuak, frasa sakral tersebut ada usulan untuk dihilangkan atas permintaan calon datuak. Ada ketakutan terhadap beban sumpah yang dianggap terlalu berat dan menakutkan.

Ungkapan Minang “baban barek singguluang batu” (beban berat beralas batu) menggambarkan betapa beratnya amanah seorang datuak. Bukan hanya soal mengatur administrasi adat atau memimpin rapat kaum. Tapi menyangkut marwah, keselamatan, serta masa depan generasi dalam kaumnya.

Tokoh adat Minangkabau, Dr. Yulizal Yunus, menjelaskan bahwa sumpah sakral penghulu tersebut berasal dari inti Sumpah Sati Bukik Marapalam termuat dalam Undang Adat Minangkabau (UAM) 1403. Artinya, sumpah ini bukanlah produk adat rekaan belakangan, tetapi telah melalui proses pemikiran panjang dari para leluhur Minangkabau.

Tapi produk yang otoritas membuat dan merubahnya adalah Tungku Tigo Sajarangan dan atau Rajo Tigo Selo (Cati Nan Tigo) lainnya di nagari berpenghulu dan nagari barajo/ kerajaan.

Menurut Yulizal, frasa “ka ateh indak ba pucuak” mengisyaratkan akibat melanggar janji atau sumpah yang sudah diucapkan dan mengabaikan ajaran syara’/ Islam, artinya “putus hubungan dengan Tuhan” (ka ateh tak bapucuak). “Ka bawah indak baurek” adalah sumpah menggambarkan akibat pelanggaran adat, memutus hubungan tali rahim sainduak/ mamutuih ranji/ maaliah suku, artinya melanggar adat bagi yang diminta-minta gelar datuk dan tak memakai baju awak sanksinya punah (ka bawah tak baurek).

Baca Juga :  Kerajaan dan Perspektif RUU Kerajaan (6):Raja Minangkabau: Musyawarah Perwakilan

Sementara “di tangah-tangah digiriak kumbang”, gambaran akibat melanggar sumpah dan mengabaikan adat – syara’, datuk berpotensi merusak kaumnya, merusak nagarinya dan merusak negara.

Ketiga prasa sumpah ini bagian dari pelaksanaan hukum adat: Tali Tigo Sapilin (Hukum Syara’, hukum adat dan hukum negara).

Jika frasa ini dihilangkan, menurut penulis, maka hilang pula ruh dan wibawa dari jabatan datuak itu sendiri.

Fenomena Kekinian: Sumpah Diperlonggar?

Realitas kekinian menunjukkan bahwa tidak semua calon datuak siap dengan beban berat tersebut. Banyak niniak mamak menolak untuk diangkat menjadi datuak karena takut termakan sumpah. Bahkan, saat pengambilan sumpah, kini sering terjadi permintaan untuk menghapus atau mengganti frasa tersebut. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan lunturnya wibawa adat.

Padahal, menurut hemat penulis, sumpah itulah yang menjadi penjaga moral dan integritas seorang datuak. Sumpah yang membuat jabatan datuak tidak bisa dipermainkan. Ia bukanlah status sosial biasa, tetapi amanah suci dari kaum, masyarakat, dan Tuhan.

Baca Juga :  Rangkayo Minang Gelar Seminar Budaya, Bahas Tantangan Nilai dan Identitas Minangkabau Masa Kini

Jika frasa tersebut diubah atau dihapus, maka bukan hanya nilai simbolik yang hilang, tapi juga bisa menimbulkan asumsi buruk—bahwa sejak awal ada keraguan, bahkan ketidaksiapan dalam memikul tanggung jawab besar itu.

Penulis meyakini, jika sumpah itu dijalankan sesuai kesepakatan kaum dan dijalani dengan semampunya, maka tidak ada yang perlu ditakutkan. Justru sumpah itulah yang menjadi benteng moral agar seorang datuak tidak menyalahgunakan kedudukannya.

Datuak Tidak Sendiri

Perlu dipahami pula, seorang datuak tidak bekerja sendiri. Ia didampingi oleh perangkat adat seperti panungkek, manti, malin, dan dubalang. Semua bekerja dalam sistem adat yang kolektif dan gotong-royong. Jadi, beban itu bisa dipikul bersama, bukan seorang diri.

Dengan struktur ini, seorang datuak sebenarnya dimudahkan dalam menjalankan amanah, asalkan ia berniat tulus dan mengutamakan kepentingan kaum di atas segalanya.

Mengangkat Martabat, Bukan Menjatuhkan

Frasa “dikutuk Al-Qur’an 30 Juz” memang terdengar keras. Tapi itulah bentuk tanggung jawab yang sesungguhnya. Justru sumpah itu mengangkat martabat seorang datuak di tengah masyarakat. Ia bukan hanya pemimpin adat, tetapi juga simbol keadilan, kesalehan, dan ketegasan.

Maka, jika sumpah itu dihilangkan demi “meringankan beban”, yang hilang bukan hanya satu kalimat, tapi juga nilai, wibawa, dan kepercayaan masyarakat terhadap adat itu sendiri.

Follow WhatsApp Channel m.bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Pesisir Selatan Bukan Daerah Baru, Hari Jadi Kabupaten Mesti Diubah
Yulizal Yunus: Hendrajoni Dan Risnaldi Ibarahim Bawa Pesisir Selatan Cerdas, Maju Dan Adil
Dewa Yunani Mulai Menyerang Ranah Minang
Pasca Banjir Besar Maret 2024, Sektor Pertanian dan Peternakan di Lengayang Kian Terpuruk
Koperasi Bagi Hasil: Solusi Ekonomi Syari’ah untuk Kesejahteraan Masyarakat Nagari
Hendrajoni dan Rusma Yul Anwar Masih Gamang Menentukan Wakil, Akankah “Jomblo” Hingga Akhir?
Jangan Sampai Negeri Sejuta Pesona Menjadi Sejuta Narkoba
Pilkada Pessel 2024 Diprediksi Menjadi Pertarungan Sengit Antara Hendrajoni dan Rusma Yul Anwar

Berita Terkait

Jumat, 25 Juli 2025 - 20:20 WIB

Beban Berat Seorang Datuak, Jika Melanggar Dikutuk Al-Qur’an 30 Juz

Sabtu, 12 April 2025 - 12:06 WIB

Pesisir Selatan Bukan Daerah Baru, Hari Jadi Kabupaten Mesti Diubah

Jumat, 21 Februari 2025 - 08:15 WIB

Yulizal Yunus: Hendrajoni Dan Risnaldi Ibarahim Bawa Pesisir Selatan Cerdas, Maju Dan Adil

Jumat, 2 Agustus 2024 - 12:01 WIB

Dewa Yunani Mulai Menyerang Ranah Minang

Rabu, 31 Juli 2024 - 19:07 WIB

Pasca Banjir Besar Maret 2024, Sektor Pertanian dan Peternakan di Lengayang Kian Terpuruk

Berita Terbaru

AI UGM Pensiun Dini Usai Sebut Jokowi Bukan Alumni

Nasional

AI UGM Pensiun Dini Usai Sebut Jokowi Bukan Alumni

Sabtu, 6 Des 2025 - 16:21 WIB

Masalah Gigi Umum Ini Dapat Mengancam Otak Anda

Nasional

Masalah Gigi Umum Ini Dapat Mengancam Otak Anda

Sabtu, 6 Des 2025 - 16:00 WIB