BANDASAPULUAH.COM – Menjadi datuak atau pangulu di Minangkabau bukanlah perkara seremonial belaka. Di tengah kehidupan masyarakat Minangkabau yang kental dengan adat dan agama, keberadaan seorang datuak atau pangulu memegang peranan sentral memimpin kaum dan nagari.
Ini adalah posisi adat yang mengemban amanah besar, penuh tanggung jawab dan tuntutan moral tinggi. Ia bukan sekadar pemimpin simbolik, tetapi pemikul tanggung jawab yang luar biasa besar terhadap kaum, suku, nagari, bahkan terhadap tatanan sosial dan religius masyarakat.
Ia adalah pemimpin kaum, penjaga marwah suku, pelindung anak kemenakan, pelindung sako pusako salingka kaum: kehormatan gelar dan tanah ulayat
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menjadi seorang datuak tidaklah mudah. Ia menjadi tempat bertanya, tempat mengadu, sekaligus penentu jalan terbaik bagi persoalan yang mendera anak kemenakan.
Mulai dari persoalan tanah ulayat, warisan, sengketa rumah gadang, perselisihan keluarga, hingga urusan agama dan hukum adat—semuanya berada di bawah tanggung jawabnya. Jika ia lalai atau abai dalam menjalankan amanah itu, maka ancaman sumpah adat menantinya.
Tak heran, banyak niniak mamak enggan menerima gelar datuak. Sebab, sejak zaman dahulu, sumpah yang menyertai pengangkatan datuak begitu berat. Satu frasa dalam sumpah itu bahkan menggambarkan betapa besarnya konsekuensi jika seorang datuak lalai terhadap amanahnya:
“Diateh indak bapucuak, dibawah indak baurek, ditangah-tangah digiriak kumbang, dikutuk Al-Qur’an 30 Juz.” Artinya, “ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah digerogoti kumbang, dikutuk Al-Qur’an 30 Juz.”
Ini adalah bentuk kutukan adat yang diyakini akan memakan datuak yang mengingkari tanggung jawabnya
Mengapa Beban Itu Berat?
Fenomena hari ini cukup memprihatinkan. Dalam banyak prosesi pengangkatan datuak, frasa sakral tersebut ada usulan untuk dihilangkan atas permintaan calon datuak. Ada ketakutan terhadap beban sumpah yang dianggap terlalu berat dan menakutkan.
Ungkapan Minang “baban barek singguluang batu” (beban berat beralas batu) menggambarkan betapa beratnya amanah seorang datuak. Bukan hanya soal mengatur administrasi adat atau memimpin rapat kaum. Tapi menyangkut marwah, keselamatan, serta masa depan generasi dalam kaumnya.
Tokoh adat Minangkabau, Dr. Yulizal Yunus, menjelaskan bahwa sumpah sakral penghulu tersebut berasal dari inti Sumpah Sati Bukik Marapalam termuat dalam Undang Adat Minangkabau (UAM) 1403. Artinya, sumpah ini bukanlah produk adat rekaan belakangan, tetapi telah melalui proses pemikiran panjang dari para leluhur Minangkabau.
Tapi produk yang otoritas membuat dan merubahnya adalah Tungku Tigo Sajarangan dan atau Rajo Tigo Selo (Cati Nan Tigo) lainnya di nagari berpenghulu dan nagari barajo/ kerajaan.
Menurut Yulizal, frasa “ka ateh indak ba pucuak” mengisyaratkan akibat melanggar janji atau sumpah yang sudah diucapkan dan mengabaikan ajaran syara’/ Islam, artinya “putus hubungan dengan Tuhan” (ka ateh tak bapucuak). “Ka bawah indak baurek” adalah sumpah menggambarkan akibat pelanggaran adat, memutus hubungan tali rahim sainduak/ mamutuih ranji/ maaliah suku, artinya melanggar adat bagi yang diminta-minta gelar datuk dan tak memakai baju awak sanksinya punah (ka bawah tak baurek).
Sementara “di tangah-tangah digiriak kumbang”, gambaran akibat melanggar sumpah dan mengabaikan adat – syara’, datuk berpotensi merusak kaumnya, merusak nagarinya dan merusak negara.
Ketiga prasa sumpah ini bagian dari pelaksanaan hukum adat: Tali Tigo Sapilin (Hukum Syara’, hukum adat dan hukum negara).
Jika frasa ini dihilangkan, menurut penulis, maka hilang pula ruh dan wibawa dari jabatan datuak itu sendiri.
Fenomena Kekinian: Sumpah Diperlonggar?
Realitas kekinian menunjukkan bahwa tidak semua calon datuak siap dengan beban berat tersebut. Banyak niniak mamak menolak untuk diangkat menjadi datuak karena takut termakan sumpah. Bahkan, saat pengambilan sumpah, kini sering terjadi permintaan untuk menghapus atau mengganti frasa tersebut. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan lunturnya wibawa adat.
Padahal, menurut hemat penulis, sumpah itulah yang menjadi penjaga moral dan integritas seorang datuak. Sumpah yang membuat jabatan datuak tidak bisa dipermainkan. Ia bukanlah status sosial biasa, tetapi amanah suci dari kaum, masyarakat, dan Tuhan.
Jika frasa tersebut diubah atau dihapus, maka bukan hanya nilai simbolik yang hilang, tapi juga bisa menimbulkan asumsi buruk—bahwa sejak awal ada keraguan, bahkan ketidaksiapan dalam memikul tanggung jawab besar itu.
Penulis meyakini, jika sumpah itu dijalankan sesuai kesepakatan kaum dan dijalani dengan semampunya, maka tidak ada yang perlu ditakutkan. Justru sumpah itulah yang menjadi benteng moral agar seorang datuak tidak menyalahgunakan kedudukannya.
Datuak Tidak Sendiri
Perlu dipahami pula, seorang datuak tidak bekerja sendiri. Ia didampingi oleh perangkat adat seperti panungkek, manti, malin, dan dubalang. Semua bekerja dalam sistem adat yang kolektif dan gotong-royong. Jadi, beban itu bisa dipikul bersama, bukan seorang diri.
Dengan struktur ini, seorang datuak sebenarnya dimudahkan dalam menjalankan amanah, asalkan ia berniat tulus dan mengutamakan kepentingan kaum di atas segalanya.
Mengangkat Martabat, Bukan Menjatuhkan
Frasa “dikutuk Al-Qur’an 30 Juz” memang terdengar keras. Tapi itulah bentuk tanggung jawab yang sesungguhnya. Justru sumpah itu mengangkat martabat seorang datuak di tengah masyarakat. Ia bukan hanya pemimpin adat, tetapi juga simbol keadilan, kesalehan, dan ketegasan.
Maka, jika sumpah itu dihilangkan demi “meringankan beban”, yang hilang bukan hanya satu kalimat, tapi juga nilai, wibawa, dan kepercayaan masyarakat terhadap adat itu sendiri.






