Konten ini menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi bandasapuluah.com. |
Piki Zet Julianda, S.HI Guru Dan Penulis Opini |
BANDASAPULUAH.COM – Di masa sekarang ini, hadirnya lembaga keuangan, baik konvensional maupun syari’ah, belum sepenuhnya mampu memberikan konsep bagi hasil yang optimal.
Ketika modal dipinjamkan oleh pemilik modal kepada kelompok atau individu, modal tersebut seharusnya dikelola dengan prinsip kehati-hatian sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kedua belah pihak.
Konsep koperasi bagi hasil merupakan solusi keuangan yang dikenal dengan istilah mudharabah dalam ekonomi syari’ah.
Pada hakikatnya, konsep ini sangat berdampak besar dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat yang adil.
Dasarnya, koperasi bagi hasil memakai prinsip dari anggota, oleh anggota, dan untuk semua masyarakat yang membutuhkan untuk mencapai kesejahteraan.
Dalam pandangan ekonomi syari’ah, praktek penetapan imbal hasil sebelum usaha dijalankan merupakan riba, yang sangat dilarang dalam agama Islam sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S Ar-Rum ayat 39:
وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
Artinya, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar berkembang pada harta orang lain, tidaklah berkembang dalam pandangan Allah. Adapun zakat yang kamu berikan dengan maksud memperoleh keridaan Allah, (berarti) merekalah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
Makna ayat di atas adalah ketika pemilik modal menentukan besarnya tambahan harta (uang) yang harus dikembalikan di awal akad muamalah, maka itu dikatakan riba.
Tidak seorang pun yang bisa menjamin berhasil atau tidaknya usaha yang dijalankan oleh peminjam modal.
Oleh karena itu, ketika sistem koperasi bagi hasil diterapkan dengan cara pembagian keuntungan atau kerugian setelah usaha dijalankan, hal ini lebih adil.
Misalnya, jika usaha berhasil, maka pembagian keuntungan baru bisa ditentukan sesuai kesepakatan. Contohnya, pemilik modal (koperasi bagi hasil) menggelontorkan dana sepuluh juta rupiah kepada peminjam yang akan mengelola perkebunan cabe merah.
Setelah panen terakhir, peminjam mendapatkan keuntungan bersih sebesar tiga juta rupiah setelah dikurangi modal awal dan seluruh biaya operasional serta gaji buruh.
Dari keuntungan tiga juta rupiah ini, kesepakatan dibuat oleh kedua belah pihak antara pemilik modal (koperasi bagi hasil) dan peminjam (individu), apakah pemilik modal mendapat 30% (900.000) dan 70% (2.100.000) didapat oleh peminjam dari keuntungan. Begitu juga sebaliknya, ketika terjadi kerugian, kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Kehadiran koperasi bagi hasil seperti konsep di atas sangat tidak mudah dilakukan karena dalam prinsip ekonomi konvensional, modal sekecil-kecilnya untuk keuntungan sebesar-besarnya.
Juga tidak bisa dipungkiri, biaya operasional dan gaji sumber daya manusia yang mengelola suatu lembaga berbadan hukum seperti koperasi bagi hasil muncul sebelum proses kegiatan usaha dijalankan.
Untuk solusi ini, penulis berpikir bahwa kehadiran koperasi bagi hasil yang berbadan hukum disarankan dikelola oleh perangkat pemerintahan nagari/desa secara khusus.
Sebab, penghasilan perangkat nagari/desa sudah ditetapkan setiap bulannya melalui peraturan bupati/wali kota pada daerah tersebut.
Koperasi bagi hasil yang sesuai dengan prinsip ekonomi syari’ah, permodalannya bisa didapat dari anggaran pendapatan dan belanja nagari/desa atau dari sumber zakat harta masyarakat yang dikelola oleh pemerintahan nagari/desa.
Prinsip kehati-hatian dan sosialisasi yang baik kepada anggota dan masyarakat agar tepat sasaran dalam pengelolaan dananya merupakan hal yang paling utama dalam konsep koperasi bagi hasil ini.
Pokok permasalahannya adalah apakah bisa diterapkan sistem pembagian risiko kerugian antara pemilik modal dan pengelola modal yang besarnya tergantung kesepakatan apabila usaha yang dijalankan gagal atau mengalami kerugian.
Permasalahan pembagian risiko kerugian antara pemilik modal dan pengelola modal dalam konsep koperasi bagi hasil merupakan hal yang sangat penting dirumuskan sebelum beroperasinya koperasi bagi hasil.
Keberhasilan sosialisasi kepada masyarakat sangat menentukan eksistensi koperasi bagi hasil ini di masa mendatang.
Tidak mudah membangun kepercayaan masyarakat dalam hal pengelolaan keuangan; butuh proses sosialisasi yang masif dari semua pihak yang terlibat dalam proses pendirian koperasi bagi hasil ini.
Perwujudan koperasi bagi hasil bisa diaplikasikan ke dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa/Nagari ataupun melalui swadaya masyarakat.
Jika dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa/Nagari, sumber permodalannya bisa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa/Nagari, dan jika dalam bentuk swadaya masyarakat, sumber permodalannya bisa dari zakat harta dan iuran anggota.
Untuk mencapai tujuan pendirian koperasi bagi hasil, diperlukan sosialisasi yang masif guna membina paradigma masyarakat umum dalam memahami konsep bagi hasil yang akan diterapkan.
Koperasi bagi hasil ini hanya memiliki satu tujuan: mensejahterakan masyarakat pada umumnya dengan menghindari sengketa ketika terjadi laba atau rugi pada suatu usaha yang dijalankan oleh peminjam.
Kehadiran koperasi bagi hasil merupakan solusi ekonomi nagari/desa di masa mendatang dalam menghadapi resesi ekonomi global. Aamiin, semoga!