Jakarta, Bandasapuluah.com – Pemerintah menganggap bambu sangat penting untuk dikembangkan ke arah ekonomi kerakyatan dengan sentuhan teknologi agar nilai tambah bambu semakin baik. Hal ini lantaran 10 persen jenis bambu di dunia berada di Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh Deputi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud dalam focus group discussion Strategi Nasional Pengembangan Bambu Terintegrasi, Selasa (4/5) yang diselenggarakan secara virtual.
Musdhalifah mengatakan, dari 1620 jenis bambu yang ada di dunia yang berasal dari 80 negara, 176 spesies diantaranya ada di Indonesia.
“Bahkan sekitar 105 jenis bambu yang ada di Indonesia merupakan tanaman endemik. Di antara bambu yang tumbuh di Indonesia, 50 persen merupakan bambu endemik dan setengah dari jumlah tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat,” ungkap Musdhalifah.
Ia memaparkan, Indonesia diperkirakan memiliki 1 juta hektar lebih tanaman bambu, namun, hanya 25.000 hektar yang telah dikelola dalam bentuk hutan/kebun bambu. Sementara sisanya tumbuh secara sporadis.
“Bambu memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk dimanfaatkan dengan baik. Tumbuhan ini pun mudah dikembangkan dan mempunyai daur hidup yang relatif cepat,” paparnya.
Dikatakan, bambu merupakan tumbuhan yang diharapkan dapat dijadikan sebagai substitusi bahan baku kayu komersial. Bambu memiliki keunggulan tersendiri dibanding kayu karena bambu mudah dikembangkan dibanding kayu, ulet, elastisitas yang tinggi, mudah dibentuk dan harganya relatif murah dibanding kayu.
“Karena kayu komersial semakin tahun produksinya makin menurun dan harganya yang relatif mahal. Bambu bisa menjadi substitusi bahan baku kayu komersial,” katanya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang diwakili oleh Musdhalifah meminta agar perkebunan bambu dan industri bambu dapat didorong untuk dikembangkan serta disinergikan dengan program kementerian atau lembaga lainnya untuk membentuk model pengelolaan dan pemanfaatan bambu berbasis industri rakyat terpadu.
Program ini diharapkan juga dapat menjadi satu sistem agribisnis bambu berbasis kerakyatan yang mencakup subsistem saprodi, subsistem pasca panen/pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem kelembagaan/ jasa pendukung yang mencakup pembiayaan, litbang, dan lain-lain.
“Kita kenal Saung Udjo dengan angklungnya yang sudah mendunia, ada juga kerajinan gitar dari bambu yang sudah menembus pasar Eropa. Selain itu ada gerakan 1000 desa bambu yang diinisiasi oleh Yayasan Bambu Lestari, The International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dengan potensi yang besar dari bambu tersebut, jika tidak tergarap dengan baik, maka potensi hanya akan sekedar potensi saja,” tutur Musdhalifah.
Bambu merupakan tanaman yang sekali ditanam yang dapat dipanen seumur hidup karena bertunas terus-menerus. Dalam kesempatan tersebut, Musdhalifah mengharapkan KLHK dapat memprogramkan pengembangan bambu dalam kawasan hutan dalam Perhutanan Sosial untuk daerah-daerah rawan longsor dan banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mengonservasi lahan kritis. Industri bambu yang berkembang pesat bahkan beroientasi ekspor perlu dukungan perkebunan bambu agar dapat berkelanjutan. Kelembagaan, budaya lokal, konservasi lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat menjadi bagian penting untuk mewujudkan hal tersebut.
“Ayo kita bersinergi agar bambu mampu memberikan manfaat ekonomi secara luas dalam menyongsong kebangkitan bambu Indonesia. Korporasi petani memerlukan komitmen dari semua pihak terkait. Perlu sinergi dan kolaborasi Pemerintah, swasta dan petani itu sendiri untuk memajukan sektor pertanian/perkebunan khususnya bambu dalam memberikan kontribusi pada perekonomian masyarakat dan negara. Serumpun bambu, sejuta makna, sejuta manfaat, sejuta karya, sejuta pesona, yang akan mengguncang dunia,” pungkas Musdhalifah.