Tan Malaka didalam buku “Aksi Massa” mengatakan, bahwa Budi Utomo adalah sebuah partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia.
Organisasi yang didirikan pada tahun 1908 itu diibaratkan oleh Tan Malaka seperti seekor binatang pemalas, ia merana sombong karena umurnya panjang. Dikatakannya dari dulu sampai sekarang, kaum Budi Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang kolot,wayang dan gamelan yang merana, semua basil “kebudayaan perbudakan” ditambah dan digembar-gemborkan oleh mereka siang malam.
Di luar hal-hal gaib tersebut, menurut Tan Malaka hal yang paling banter yang dibicarakan hanya soal-soal yang tak berbahaya. Tan Malaka berpandangan di dalam Kongres Budi Utomo yang berkali-kali itu, hanya membicarakan tentang kebudayaan dan seni Jawa . Soal yang penting, yaitu mengenai kehidupan rakyat di Jawa, jangan dikata lagi di seluruh
Indonesia tak pernah disentuh, apalagi diperbincangkan.
Selain itu, Tan Malaka berpandangan, Panjangnya umur Budi Utomo sebagian besard dari “mantera-mantera” pemimpinnya, dari hasil “main mata” dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman seperjuangannya.
Budi Utomo,tulis Tan, tidak menumbuhkan cita-cita “kebangsaan Indonesia”. Fantasi akan “Jawa-Raya”, yakni bayangan hidup Hindu atau setengah Hindu terhadap bangsa sejati, langsung atau tidak, menyebabkan timbulnya keinginan akan Sumatera Raya, Pasundan Raya atau Ambon Raya dan lain-lain. Budi Utomo yang mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum. Perbuatan Budi Utomo menimbulkan kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan persaudaraan dan kerja sama antara penduduk di seluruh
Indonesia (bukan antara penjajah satu terhadap Iainnya).
Dengan jalan sedemikian, lanjutnya, Budi Utomo menimbulkan gerakan ke daerah
yang bila perlu (misalnya Budi Utomo kuat), dengan mudah dapat dipergunakan imperialisme Belanda. Dengan keadaan
seperti ini, keinginan “luhur” yang satu dapat diadu dengan yang lain, yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.