Patriotisme Minangkabau seolah-olah hancur setelah adanya gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ( PRRI). Konflik yang terjadi karena pengaruh tuntutan untuk pemberlakuan otonomi lebih luas itu merubah bayangan awal akan Sumatera Barat pada umumnya dan Minangkabau khususnya.
Dalam Buku “Sengketa Tiada Putus” karya Jeffrey Hadler, dikatakan bahwa, pasca-PRRI banyak orang Minangkabau meninggalkan kampung halamannya untuk merantau dan tidak kembali lagi ke kampung halamannya.
Gerakan yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 itu, membuat orang Minangkabau memasuki masa “Rantau Cino” yang permanen. Masa dimana orang Minangkabau merantau tak kembali lagi, melupakan identitas ke-Minang-an mereka. Memberi nama-nama Jawa kepada anak-anak mereka dan mengeluh bahwa di kampung halaman di Sumatra Barat “yang Minang pergi, yang tinggal Kabau”.
Gerakan yang dikeluarkannya Ultimatum dari ” Dewan Perjuangan” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein itu mengakibatkan banyak Orang Minang menyembunyikan etnisitas mereka, menyesuaikan diri dengan kehidupan jauh dari dataran tinggi nenek moyang dan ingatan-ingatan yang menyedihkan.
Ditambah lagi pada masa orde baru, Masa lalu itu memalukan, menghantui, dan berbahaya, disederhanakan dalam buku-buku teks ke dalam periode periode kolonialisme suram, revolusi jaya, Orde Lama penindas, dan akhirnya Orde Baru pembebas.
Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow