Alasan Orang Minangkabau Merantau
Pemicu setiap bangsa untuk merantau memang beragam. Kecuali karena alasan untuk bertualang, maka alasannya merantau dikarenakan ketidaknyamanan terhadap kondisi sosial dan politik.
Sebut saja orang Cina yang pergi merantau untuk meninggalkan kampung halamannya yang disebabkan oleh beragam konflik yang terjadi disana selama ribuan tahun dalam 22 dinasti. Sedangkan orang Minangkabau merantau bisa dikatakan akibat dari sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat.
Dalam sistem Matrilineal, Laki-laki yang tidak memiliki sawah dan ladang , maka akan “terpaksa” berprofesi sebagai buruh tani , tukang, pengangguran bahkan orang suruhan dalam nagari. Pekerjaan seperti itu rentan memicu dendam sosial dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Seringkali dihina dan dizalimi, karena nasib sebagai seorang dhufa yang “berkuli” di sawah dan ladang orang. Dan merantau merupakan skenario satu-satunya untuk merubah nasib.
Jadi merantau adalah sebuah keterpaksaan kondisional, harus pergi meninggalkan ranah dan “tapian”, meskipun “di rumah paguno balun”. Boleh jadi, perpisahan meninggalkan kampung halaman itu amat berat dan tak diingini, karena entah kapan bisa bertemu kembali. Akan tetapi, di setiap langkah perantauannya, yang selalu dipaterikan dalam hati adalah tekad kuat “Mambangkik Batang Tarandam”, untuk mengangkat status sosial orang tuanya di kampung.
Seperti yang terjadi oleh orang Pariaman ditahun 70an. Pertanda sukses seorang anak Piaman di rantau, diketahui dari berangsur-angsur tampaknya pondasi rumah di kampung, berikutnya sekamar-dua kamar terbangun, selanjutnya bangunan tanpa dapur muncul, meskipun bertahun tidak ditempati. Tanda sukses itu muncul di kampung, meskipun di rantau, si anak pontang panting mencari makan dan berpakaian lusuh setiap hari.
Meskipun demikian, merantau sebagai salah satu dampak dari budaya matrilineal, perlu dimaknai sebagai pengejawantahan filosofi “alam takambang jadi guru”, yang perspektifnya “revolusi cara berfikir dan bertindak”.
Orang Minangkabau memaknai filosofi ” Alam Takambang Jadi Guru” sebagai menangkap dan meng-arifi nilai-nilai budaya yang berkembang di setiap negeri yang dikunjungi dan ditempati, termasuk mencermati karakter dan budaya perantau bangsa lain yang dijumpai di perantauan. Perantauan adalah medan berat dalam perspektif “struggle for life”, sehingga keberanian, keuletan, kejujuran, berfikir cerdas-bekerja keras, serta tak membiarkan setiap kesempatan lepas dan prinsip waktu adalah uang, menjadi resep untuk meraih sukses di perantauan.
Merantau yang dimulai di usia belia, tampaknya menjadi langkah penting untuk memaksimalkan kesuksesan. Barangkali, kemampuan memaknai “alam takambang manjadi guru” itu lebih kuat di usia belia. Sebut saja Imam A. Khatib Al-Mingkabauwi yang merantau di usia 11 tahun, begitu juga dengan Agus Salim yang mulai merantau di usia 14 tahun. Selain itu sukses orang sekampung di perantauan, memicu keberanian kawan-kawan dan keluarga dekatnya untuk merantau ke negeri lain.
Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow