Merindukan Lebaran di Kampung Halaman
Sebagai perantau, mudik lebaran merupakan momen paling puitik dalam diri saya. Sejak meninggalkan kampung halaman di Lansano, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, mudik lebaran adalah masa yang paling mendebarkan. Momen itu bisa dihitung dengan sebelah jari. Karena tidak terjadi setiap tahun, itu pula yang membuat pulang kampung selalu menakjubkan.
Setelah 14 tahun saya tinggal di Yogyakarta, telah menikah dan memiliki anak, keinginan untuk mudik saat lebaran tetaplah tidak bisa hilang. Apalagi istri dan anak pertama saya, selalu mengingat kampung saya dengan sangat baik, dan berharap bisa mengunjungi lebih sering. Apa daya, dalam kesulitan ekonomi, justru itu pula nikmatnya jadi perantau: banyak mengenang, selalu merindukan, dan menumpuk banyak impian.
Pulang di saat lebaran memang jauh lebih syahdu dari kepulangan di bulan-bulan biasa. Para perantau berkumpul, kampung ramai, jalanan padat, teman jauh-dekat saling berbagi kabar dan pengalaman. Riuh, ramai, sebagaimana kue-kue buatan sendiri disajikan. Manis, layaknya sirup yang menjadi hidangan di mana-mana. Yang lebih menyenangkan, tradisi ramadhan dan lebaran tetap bertahan di tengah semaraknya perkembangan masa.
Jika pulang kampung menjelang lebaran, baik ketika masih sendiri maupun setelah berkeluarga, saya berusaha setidaknya sudah berada seminggu sebelum takbir berkumandang. Tarawih di masjid, menikmati jajanan di malam hari, terutama makanan masa kecil adalah pengalaman yang paling menyenangkan. Tak lupa, acara lelang kue, tradisi yang bertahan puluhan tahun di masjid kami, yang diadakan dua-tiga hari menjelang ramadan adalah momen seru bagi para perantau dan pemuda setempat. Semua orang berlomba membeli singgang ayam dan kue beking yang dimasak warga dengan harga yang paling tinggi. Saling bersaing, tapi suasana menjadi lebih guyub. Hasil penjualan akan disumbangkan ke mesjid.
Melamang dan membikin kue lebaran adalah tradisi yang masih terus bertahan dengan caranya. Mengantar lemang di har terakhr ramadhan, dilanjutkan pada hari lebaran, nyaris tak bisa saya temukan di tanah rantau. Malam takbiran, kegembiaan anak-anak, sulit didapatkan di tempat mana pun selain di kampung sendiri. Itu pula sebabnya mengapa para perantau menjadi lebih sedih di momen-momen semacam ini.
Momen menakjubkan lainnya adalah di hari pertama lebaran. Setelah shalat ied, tradisi basalam tetaplah menakjubkan bagi orang dewasa. Mengunjungi dan dikunjungi. Dalam kehidupan sehari-hari, kedekatan semacam ini tumbuh dengan cara yang biasa. Tapi di hari lebaran ia tampl sangat berbeda. Anak-anak yang lebh gembira. Semua orang dewasa diajak kembali ke masalalunya.
Saya kira, sampai kapan pun, lebaran di kampung halaman tetaplah bagian yang paling menyenangkan. Sesulit apa pun kondisi kita. Pulang kampung, bersilaturahmi, berkumpul bersama warga di tempat-tempat wisata, meski macet, tetaplah sebuah perayaan. Peristiwa yang tidak selalu hadir di tiap waktu dan di tempat mana pun saya berada.
Indrian Koto, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 19 Februari 1983; adalah seorang sastrawan dan penyair Indonesia
Follow WhatsApp Channel Bandasapuluah.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow